MOJOK.CO – Yang kita pelajari di sekolah: Tokoh protagonis adalah orang baik. Yang seharusnya kita tahu: kebaikan tak selalu membuat seseorang jadi tokoh utama.
Pelajaran Bahasa Indonesia yang saya pelajari ketika SD banyak membuat saya oleng ketika di bangku kuliah mempelajari soal film. Anggapan bahwa tokoh protagonis adalah orang baik dan antagonis adalah orang jahat justru merupakan suatu kalimat yang terlalu klise yang anehnya terus tertanam di otak saya selama ini. Saya merasa mual karena dibohongi masa kecil dan literatur sekolah dasar yang mengatakan hal demikian. Pelajaran yang kita terima di sekolah memang tidak bisa dimaknai secara lugu karena di beberapa poin, teorinya terasa begitu menyesatkan.
Tokoh protagonis adalah tokoh utama dalam suatu cerita. Titik. Seharusnya penjelasan yang diterima anak SD dulu begitu. Tidak perlu membawa embel-embel kata sifat soal baik dan jahat, kalimat ini sudah bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan saat ujian.
Tokoh antagonis adalah tokoh yang berusaha menggagalkan tujuan tokoh utama. Ini juga amat cukup untuk membuat siswa-siswa memahami bahwa suatu cerita itu memang terbangun atas plot dan diakhiri dengan kesimpulan yang menunjukkan tercapai atau tidaknya tujuan si protagonis.
Memang, sebagian besar literatur anak-anak memperlihatkan tokoh protagonis sebagai orang baik. Ini dibuat untuk kepentingan mendidik moral. Supaya pembuat cerita tidak perlu membuat bangunan plot yang rumit, terciptalah tokoh antagonis jahat untuk menggambarkan sifat tercela yang di akhir cerita bakal dapat “pelajaran”. Dengan begitu, anak-anak melihat tokoh antagonis sebagai sosok yang ia benci dan dari sini pelajaran moral bisa dipetik: punyailah sifat terpuji agar beruntung, dan hindari sifat tercela agar tidak celaka.
Namun, tanpa menjelaskan tokoh protagonis adalah orang baik pun, saya tetap yakin siswa SD mengerti jika dijelaskan protagonis adalah tokoh utama. Sepanjang cerita berlangsung, tokoh utama adalah karakter yang paling banyak muncul dan diceritakan terus menerus. Kebanyakan, cerita anak juga menggunakan sudut pandang tokoh protagonis dalam penceritaan. Bukankah pelajaran Bahasa Indonesia anak SD nggak mungkin mengkaji film yang penceritaannya sejenis Pulp Fiction?
Sebenarnya sih, kita memang sulit dan cenderung tidak perlu memetakan mana tokoh protagonis dan mana tokoh antagonis jika kita benar-benar hanya menjadi penyimak. Namun, kajian ini penting jika kita ingin membangun sebuah cerita. Tokoh protagonis adalah tokoh utama, dan dalam beberapa penceritaan yang kompleks, ia bisa menyamar menjadi tokoh pemeran pembantu. Bahkan tidak sedikit tokoh protagonis dan antagonis yang diperankan oleh satu karakter yang sama. Lagi-lagi, keduanya juga tidak harus manusia dan tidak harus diperankan oleh orang yang berbeda.
Film Psycho karya Alfred Hitchcock sebenarnya merupakan contoh baik bagaimana penokohan di dalamnya diciptakan dengan unik. Kita bakal menduga bahwa Marion Crane adalah tokoh protagonisnya. Lebih dari tiga puluh menit awal, film bercerita tentang Marion Crane dan ambisinya melarikan diri. Selanjutnya, Norman Bates muncul sebagai seorang psikopat yang membunuh Marion Crane dengan sadis. Sepanjang film kita akan turut geram menyaksikan aksi jahat Norman Bates yang begitu licik, namun bersembunyi di balik sikap luguya. Norman Bates adalah protagonis yang sebenarnya, ia bukan orang baik, ia adalah psikopat. Sedangkan tokoh antagonis adalah polisi dan kawan Marion Crane yang mencoba menggali kebenaran.
Dalam prequel serial Bates Motel, lagi-lagi Norman Bates menjadi tokoh protagonis. Sayangnya ia juga perlahan menjadi tokoh antagonis atas dirinya sendiri. Kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang saklek bahwa yang ini protagonis, yang lainnya antagonis, yang lainnya cuma pemeran pembantu. Semua itu bahkan bisa dipermainkan oleh gaya penceritaan dan struktur cerita kompleks.
Maka, agak lucu jika hingga dewasa kamu tetap menganggap bahwa tokoh protagonis adalah orang baik, antagonis orang jahat. Nggak usah jauh-jauh, sinetron azab-azab di Indosiar juga sudah mempraktikkan bahwa tokoh protagonis mereka adalah orang yang secara nilai-nilai agama dianggap buruk. Mereka kerap mempertontonkan tokoh utama yang semasa hidupnya jahat dan meninggal kena azab, liang kuburannya terbakar, tersambar petir, bahkan jenazahnya juga sempat terbawa air sungai. Tapi, bagaimanapun, si orang yang kena azab dan jenazahnya itulah yang disebut sebagai tokoh protagonis. Tujuan (goals) cerita ini agar jenazah bisa dikuburkan selayaknya orang meninggal. Sayangnya, muncul tokoh antagonis yang berupa “azab ilahiah”, dibantu dengan alam dan semesta yang menghukum. Mau nggak mau “unsur religius” berperan jadi tokoh antagonis yang menggagalkan tujuan jenazah terlaknat itu. Memang antagonis nggak selalu diperankan oleh orang yang jahat kok.
Lain lagi dengan film-film superhero yang belakangan ini ramai. Loki, Venom, Deadpool, dan Joker adalah tokoh antihero. Mereka punya sifat yang secara standar moral bisa dibilang jahat. Nggak sebaik dan setulus Captain Amerika yang tujuan hidupnya untuk mengabdi pada masyarakat, mereka justru mengabdi pada kesenangan mereka sendiri. Tapi, lihat kan, mereka adalah tokoh protagonis di setiap film dan plot mereka sendiri. Jika kita perpanjang lagi, perdebatan bisa bergeser ke arah sejauh mana seseorang bisa dibilang jahat, antihero, dan mementingkan diri sendiri. Mengingat tokoh-tokoh antihero selalu punya banyak alasan masuk akal buat menciptakan kekacauan. Hasssh, pokoknya rumit.
BACA JUGA Tokoh Protagonis Tidak Selalu Baik dan Hal Abu-abu dari Plot ‘Attack on Titan’ atau artikel AJENG RIZKA lainnya.