MOJOK.CO – Titiek Soeharto sebut Pemilu sekarang lebih curang. Beberapa waktu lalu, Tommy Seoharto juga pernah sebut korupsi era sekarang lebih parah. Duo satire nih.
Tak mudah memang mengritik diri sendiri. Lebih-lebih jika yang dikritik merupakan keluarga—atau bahkan—almarhum orang tua sendiri. Jika salah-salah kata, bukannya dapat masukan yang bisa membangun, malah bisa dicap sebagai anak durhaka. Wadooh, repot kuadrat.
Entah sudah menyadari hal itu atau belum tapi tampaknya Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto nggak peduli. Dengan gagah berani, Anggota Dewan Pengarah BPN Prabowo-Sandi ini menilai kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2019 jauh lebih parah ketimbang yang terjadi pada era babenya.
“Kecurangan bisa dilihat dengan kasat mata. Dulu dikatakan zaman Pak Harto bahwa Pemilu-nya curang, tapi ternyata sekarang Pemilu-nya jauh lebih curang. Betul?” kata Titiek Soeharto berapi-api.
Pernyataan ini tentu saja jadi bahan bully-an netizen yang terhormat. Bully yang mengarah pada satu hal, bahwa tradisi korup bangsa ini bisa dibilang muncul dan semakin bergizi perkembangannya sejak Presiden Soeharto memimpin negeri ini selama 32 tahun.
Keberhasilan memimpin selama durasi yang mendekati Liverpool nggak juara Premier League sangat lama ini berhasil karena cara mempertahankan dinasti Soeharto. Seolah-olah ada pemilihan umum, padahal semuanya udah tahu siapa yang bakal menang.
Lha ya jelas menang, anggota PNS dan ABRI di seluruh pelosok negeri “diwajibkan” mencoblos Partai Golkar je.
Jadi pernyataan Titiek Soeharto ini terkesan aneh, wagu, dan sangat tidak pantas. Bagaimana mungkin bagian dari pelaku “kecurangan” selama 32 tahun negeri ini dalam Orde Baru bisa mengklaim kondisi sekarang lebih curang?
Tapi netizen juga terlalu buru-buru kalau langsung menyerang Titiek Soeharto. Sebab pernyataan ini sebenarnya mengandung kegelisan yang sangat dalam dan mengandung pesan-pesan yang sangat cerdas.
Hal yang mungkin sempat dilupakan juga oleh netizen, perilaku Titiek Soeharto ini sebenarnya tak perlu dikejutkan. Ini seperti sudah bawaan orok. Sebagai orang Jawa, Titiek Seoharto sebenarnya menyimpan kritik-kritik sosial yang warbiyasa.
Hal ini sempat juga ditunjukkan saudaranya Tommy Soeharto. Beberapa waktu lalu Tommy Soeharto pernah merasa geram karena babenya disebut sebagai “guru korupsi Indonesia”.
“Yang menggaungkan KKN orde baru itu paling parah, Pak Harto sebagai gurunya korupsi, fakta terjadi sebaliknya. Malah selama reformasi ini menjadi pemenang utama adalah kasus korupsi. Ini harus kita dengungkan terus bahwa fakta ini, fakta nyata,” kata Tommy Soeharto saat itu.
“Di era Orde Baru itu yang terkena kasus KKN, terutama kasus korupsi, itu hanya hitungan jari atau paling banyak itu puluhan. Sekarang zaman reformasi ini sudah ratusan orang kena OTT korupsi,” tambahnya.
Seperti halnya Titiek Soeharto saat ini yang langsung dibully oleh netizen, Tommy Soeharto juga saat itu kena bully-an habis-habisan.
Ya bagaimana tidak? Justru penangkapan OTT pelaku korupsi banyak itu menunjukkan proses pemberantasan korupsi berjalan kok malah dibilang indikator banyak-banyakan korupsi, ini kan aneh.
Sayangnya semua celotehan ini tidak disadari sebagai bagian dari ungkapan bahwa baik Titiek Soeharto dan Tommy Soeharto sebenarnya sedang melakukan kritik terhadap Orde Baru alias orde milik babe mereka.
Lah kok bisa? Ya bisa dong, yang mereka berdua lakukan merupakan salah satu bentuk kritik satire. Nggak kelihatan, efeknya langsung terasa secara terbalik, tapi membuat publik langsung merespons cepat.
Misalnya kita bisa melihat saat Titiek Soeharto mengomentari Pemilu sekarang curang—bahkan bisa dilihat dengan kasat mata. Oke, lihat baik-baik diksi yang dipakai Titiek ini: “kasat mata”.
Apa kamu nggak menyadari bahwa hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa Pemerintah sekarang dianggap Titiek Soeharto memiliki perbaikan dalam hal transparansi kinerja?
Jika dugaan kecurangan bisa dilihat dengan kasat mata, artinya lembaga-lembaga Pemerintah sekarang menyambut baik temuan-temuan dugaan kecurangan itu. Nggak ada yang disembunyikan secara banal. Semua orang bisa tahu, semua orang bisa punya akses untuk tahu informasi-informasi tersebut.
Ini jelas banget kalau Titiek Soeharto sedang nyindir pemerintahan era Orde Baru, di mana semua hal selalu ditutupin. Korupsi nggak ada yang tahu, keadaan terlihat baik-baik saja, tapi rakyat sebenarnya miskin banget sampai beli sembako yang “murah” aja nggak bisa. Makan nasi aking, tiwul, sampai nasi jagung adalah pemandangan sehari-hari masyarakat saat itu.
Lalu, ketika sekali ada orang yang koar-koar kayak Titiek begini. Protas-protes ke pemerintah begini, besoknya bisa-bisa tinggal nama doang. Hilang. Keinstal ulang nggak sengaja.
Nah, sampai saat ini, Titiek baik-baik saja tuh keadaannya. Nggak hilang, nggak diancam, bahkan masih bisa asyik mainan Twitter tuh? Itu juga menjadi petunjuk bahwa era sekarang orang kalau mau mengritik itu masih bisa hidup bebas. Dan itu ditunjukkan dengan cara-cara ala Titiek Soeharto.
Di sisi lain, Tommy Soeharto juga punya kecenderungan yang sama. Beliau ingin menunjukkan bahwa penanganan korupsi di era Jokowi ini sangat baik. Makin banyak yang ditangkapi—itu artinya pembarantasan korupsi sedang jalan. Berbeda dengan era babenya, di mana semua orang korupsi.
Bahkan saking lekatnya budaya korupsi, kalau nggak korupsi, orang jadi benar-benar nggak bisa cari duit buat memenuhi kebutuhan sehari-hari pada era itu. Jadi bisa dibilang korupsi adalah nama tengahnya Orde Baru waktu itu.
Namun—sama seperti Titiek—Tommy Soeharto tampaknya mengeluarkan pernyataan itu sebagai bagian dari kritik satire saja. Tentu saja pernyataan ini hanya bisa dipahami oleh masyarakat yang punya kecerdasan di atas rata-rata saja.
Jika pada pernyataan Titiek Soeharto kita bisa tahu bahwa ungkapan itu satire dari kata per kata, lalu dari mana kita tahu kalau pernyataan Tommy juga satire? Oalah, guampang. Sebab, salah satu ciri-ciri satire adalah pernyataan yang kelewatan guobloknya.
Ya iya dong, kan mana mungkin, sosok seperti beliau nggak pintar ya kan?
Bisa memonopoli cengkeh, mobil nasional, sampai melakukan perencanaan membunuh hakim kok, sama logika begitu aja nggak nyampai kan ya nggak mungkin. Jadi jelas sudah kalau Tommy ini sedang melancarkan kritik satire ke pemerintahan babenya sendiri.
Pura-pura bodoh aja agar diketawain, padahal mah beliau ini jenius karena di balik sana sedang ketawa karena pernyataan satirenya menipu kita semua.
Jadi sebagai warga negara Indonesia yang berbahagia, sudah sepatutnya kita bersyukur, kita memiliki Raja dan Ratu Satire Indonesia yang sukses melancarkan kritik dengan cara-cara yang asyik untuk diikuti dan didengarkan. Dan keduanya terwakilkan pada sosok Tommy dan Titiek Soeharto. Sosok yang benar-benar nggak disangka-sangka.
Akan tetapi, jika mendadak kamu merasa penasaran, memang apa untungnya Titiek dan Tommy mengritik babenya dengan cara-cara satire begitu secara ujug-ujug?
Haya gampang saja, kamu tinggal melihat pernyataan Anggota Majelis Tinggi Partai Berkarya, saat ditanya soal kelanjutan koalisi antara Partai Berkarya dengan Partai Gerindra.
“Dalam politik semua bisa terjadi. Politik kan kepentingan,” kata Badar.
Wah, mainan kode nih.