MOJOK.CO – Menkominfo, John G Plate sebut kalau media massa sebaiknya tak hanya sampaikan berita yang benar saja, melainkan berita-berita yang baik juga.
Halo, Bapak Menkominfo John G Plate. Bijimana kabarnya? Sehat?
Perkenalkan, Pak. Saya Ahmad Khadafi, bukan siapa-siapa Pak. Cuma rakyat biasa yang kebetulan tinggal di Indonesia.
Jadi begini. Saya agak tersentil sama pernyataan Bapak Menkominfo yang menyampaikan kalau pers juga harus menjaga kepentingan negara. Dalam hal ini, menurut Bapak, pers juga sebaiknya tidak hanya memberitakan hal-hal yang benar saja, melainkan hal-hal yang baik saja.
Ini tersampaikan ketika Bapak Menkominfo memberi wejangan kepada pers seluruh Indonesia dengan bilang…
“Kita perlu menyampaikan hal-hal benar kepada masyarakat. Pertanyaannya, apakah semua hal itu benar untuk sampai ke masyarakat?”
“Hal-hal yang benar dan baik-lah yang perlu ditransmisikan (oleh Pers) kepada masyarakat. Ini demi kepentingan masyarakat, demi kepentingan negara.”
Bapak Menkominfo yang baik dan semoga selalu sehat.
Sudah sejak lama pers menjadi biang ghibah paling diminati sejagat raya. Sejak zaman dulu pers memang telah lama jadi biang kerok tukang kritik daripada pihak yang berkuasa. Dan tentu saja, yang namanya kritik, sudah pasti tidak akan mengabarkan daripada hal-hal yang baik.
Soalnya kalau mengabarkan hal-hal yang baik, itu bukan pers, Pak, melainkan program penyuluhan pemerintah. Hal-hal baik yang dikabarkan dalam pers sih memang ada. Tapi biasanya bukan di rubrik berita utama, melainkan di kolom advertorial atau di Dunia dalam Berita era Pak Harto.
Atau jangan-jangan Bapak Menkominfo tidak tahu kalau kritik itu malah tidak menyampaikan hal-hal yang baik, tapi justru mengabarkan hal yang buruk-buruk?
Satu hal mesti dipahami juga Pak Menkominfo, pers itu tidak bisa benar-benar netral. Mereka malah harus berpihak. Nah, keberpihakan inilah yang nanti menentukan. Apakah sebuah media/pers ini merupakan tukang kritik penguasa atau sebagai corong penguasa.
Rata-rata sih, media akan lebih mudah berpihak pada sesuatu yang dianggap sedang dizalimi, diperkosa hak-haknya, atau yang dikebiri kewenangannya.
Jangan. Jangan. Plis jangan kuliahi teman-teman wartawan dengan… “lah kan katanya media itu harus cover both side?”
Memang, Pak. Media itu harus cover both side, namun “both side” ini jangan diartikan sama rata sama porsinya, melainkan aspek proposional, aspek keadilannya. Tentu saja disesuaikan dengan nilai keadilan yang dianut oleh media itu sendiri.
Ambil contoh begini.
Ada berita soal pemerkosaan. Lalu ada media yang mengadvokasi kepentingan korban pemerkosaan. Kisahnya diangkat dengan perspektif untuk menunjukkan betapa bejatnya si pelaku. Tentu saja, porsi berita untuk pelaku pun ada. Namun, komposisinya tak banyak.
Kalau cover both side dipahami sebagai sama rata sama porsinya, maka kepentingan pelaku pun akan diakomodasi seluas-luasnya. Sama luasnya dengan pihak korban. Dan hal yang kayak gini, jelas sangat jarang sekali dilakukan oleh pers atau media manapun di dunia.
Itu baru satu contoh, Pak. Mau contoh lain? Oke.
Bapak ingat dengan kasus korupsi E-KTP yang menjerat Setya Novanto?
Coba sekarang saya tanya pada Bapak, kira-kira ada nggak media di Indonesia (yang waras) memberitakan porsi kepentingan Setya Novanto? Kalaupun ada, biasanya media tersebut juga cuma mengabarkan klarifikasi-klarifikasi dari kuasa hukum Setya Novanto doang.
Kenapa seperti itu? Karena pers dan media itu isinya rakyat juga, Pak. Mereka juga punya rasa geram kalau lihat pejabatnya ada yang korupsi gede-gedean tapi bisa lolos-lolos saja dengan cara-cara yang unik bin lucu kayak gitu.
Pada akhirnya, rasa keadilan ini akan diletakkan pada kepentingan masyarakat, bukan pada kepentingan citra DPR atau citra pemerintah. Jadi lumrah kemudian kalau pers atau media kesannya kayak memberitakan hal-hal buruk soal pejabat pemerintah melulu.
Kalau media diharuskan memberitakan hal yang baik—seperti saran Bapak, ya jelas berita-berita semacam ini “baik”-nya tidak diberitakan. Bikin gaduh saja—mungkin begitu kesannya. Lha iya dong, berita korupsi atau berita skandal ini kan berita buruk, bukan berita baik.
Lah, kenapa yang disalahkan justru malah pers-nya? Kenapa yang disalahkan justru bukan pelakunya? Ini kan jadi uaaaneh bizzzanget.
Lagipula, kalau memang Bapak Menkominfo ingin pers atau media di Indonesia mengabarkan hal-hal baik, mendingan kementerian yang Bapak pimpin itu diganti saja namanya. Bukan Kementerian Komunikasi dan Informatika melainkan Kementerian Penerangan.
Itu lho, Pak, kementerian kayak zaman Menteri Penerangan abadi Pak Harmoko era Orde Baru Pak Harto. Yang bikin isi berita semua media di seluruh negeri—dari pagi ketemu pagi—adalah soal prestasi pemerintah melulu.
Zaman itu, nggak bakal ada tuh berita aparat malak rakyat di jalanan, pejabat minta upeti ke rakyat, wakil rakyat tidur saat rapat, atau rumah rakyat digusur untuk proyek pemerintah. Yang ada adalah berita swasembada beras, ekonomi negara meningkat pesat, lalu pejabat yang sopan-sopan dan baik hati.
Apa Bapak lupa, kalau dalam sejarahnya, Bapak Pers Nasional Tirto Adhi Soerjo saja saat menginisasi surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1970), dan Putri Hindia (1908) punya kepentingan untuk membela hak-hak bumi poetra? Hak yang tak pernah diakomodasi oleh media milik Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda?
Apakah kemudian isi berita di surat kabar Soenda Berita sampai Putri Hindia itu baik-baikin Pemerintah Kolonial Hindia Belanda? Hayaa jelas nggak. Tirto bahkan selalu mengkritik cara kerja pemerintah saat itu. Sampai beliau harus ditangkap dan dibuang ke Pulau Bacan (sekarang Provinsi Maluku Utara).
Kenapa bisa begitu? Karena Tirto dianggap tidak menyebarkan berita “baik” menurut pemerintahan kolonial Belanda.
Apa Bapak Menkominfo, John G. Plate, ingin Indonesia punya media seperti zaman Pak Harto yang cuma jadi corong pemerintah? Atau kalau nggak bisa menerima berita-berita yang mengabarkan hal-hal buruk Bapak kepingin menahan jurnalis seperti yang pernah dialami Tirto Adhi Soerjo?
Maaf, Pak Menkominfo. Jurnalis memang selama ini selalu memikirkan keselamatan negara dan rakyatnya. Cuma jurnalis nggak mau disuruh untuk ikut mikirin citra pemerintah. Biar itu jadi tugas Kemenkominfo dan perangkat-perangkat Bapak.
Demikian Pak, surat terbuka dari saya. Salam cinta dari kami, media majelis ghibah Indonesia. Majelis yang selalu siap sentil Bapak kalau kerja atau pernyataan Bapak udah mulai nggak beres.