MOJOK.CO – Tukang parkir, terutama yang mangkal di Indomaret punya stigma begitu buruk. Padahal kang parkir motor konvensional paling banyak minta dua ribu.
Profesi tukang parkir motor dan mobil sudah sering jadi meme dan bahan bercanda di media sosial. Paling sering, wacana yang bergulir seperti ini, “Fotocopy habis lima ratus perak, bayar parkirnya dua ribu.” Atau, ada juga wacana lain, “Tukang parkir Indomaret itu kayak hantu, datang tak dijemput tiba-tiba udah niup peluit aja minta duit.”
Kita sadar betul bahwa parkir liar di depan minimarket itu memang tidak sesuai aturan. Mereka menagih uang yang tidak seharusnya ditagihkan. Lahan minimarket seperti Alfamart dan Indomaret adalah milik pengelola, begitupun dengan halaman dan area parkirnya. Sedangkan kekesalan soal parkir di tempat fotocopy, memang sulit digugat. Selain menganggap kita lagi “apes” ya kita bisa menyalahkan tukang parkir.
Sayangnya kekesalan kita sendiri terhadap kehadiran tukang parkir dibawa ke mana-mana. Mau parkir di Indomaret, parkir di depan warung burjo, parkir di bank, dan di tempat-tempat lain kita tetap kesal sama abangnya. Kekesalan ini, utamanya tumpah setelah mereka seolah-olah makan gaji buta. Kerjanya cuma tiup peluit dan nggak bantuin nyebrang atau dorong kendaraan. Mau kang parkir motor atau mobil sama aja, kalau lagi mager, ya praktik gaji buta. Padahal pendapatan mereka per hari bisa sampai ratusan ribu.
Di luar segala kekesalan kita terhadap hal ini, pernah nggak sih kamu mikir kenapa begitu berat ngeluarin seribu-dua ribu buat tukang parkir motor? Sebenarnya nominal itu tidak besar. Untuk ukuran orang yang suka jajan di minimarket, cincai lah. Tapi, kenapa ya kok berat banget.
Di sisi lain, bayar parkir motor di mal sejumlah Rp3000 rasanya biasa saja. Terasa lebih valid dan ikhlas buat mengeluarkanya. Mengherankan sekali, bukan?
Sebenarnya banyak analisa mengenai hal ini. Kenapa kita begitu pelit sama tukang parkir dan los dol dengan parkir yang resmi.
Pertama, trust issue. Gara-gara stigma buruk soal parkir liar, kita jadi begitu sebal. Ya bodo amat seribu-dua ribu, kadang ngeluarin gopek aja nggak rela kalau memang tujuannya nggak jelas. Sikap ini mirip dengan menolak kembalian permen. Aturannya, konsumen memang berhak menolak konversi kembali ke permen dan meminta kembalian dalam bentuk uang sungguhan. Padahal, harga permen juga nggak seberapa sih.
Stigma buruk dalam dunia parkir motor dan parkir mobil ini terjadi terus menerus. Informasinya diulang-ulang sampai kita sendiri muak beneran. Setiap pergi ke ATM dan ditagih parkir, kita jadi dongkol, apalagi parkir minimarket yang notabene liar. Kedongkolan itulah yang bikin kita nggak ikhlas bayar parkir. Nggak rela rasanya ngeluarin seribu-dua ribu buat pihak yang bikin jengkel.
Kedua, tarif bisa relatif dianggap mahal. Memang sih, seribu-dua ribu, bahkan goceng itu murah dalam standar umum. Beli jajan habis duit dua ribu itu berasa cuma bikin selilitan. Tapi, uang segitu jadi kelihatan banyak ketika kita bayar parkir di tempat fotocopy dan ATM. Fotocopy itu murah, ke ATM bahkan seharusnya nggak ngeluarin uang. Memarkirkan kendaraan di dua tempat ini juga tak pernah lama. Beres, langsung cabut.
Tapi, tiba-tiba tukang parkir datang memecah keheningan dengan peluit. Meskipun nggak diancam dan dipaksa harus bayar, sebagai manusia normal kita tentu kesal karena merasa ditagih. Inilah yang bikin seribu-dua ribu buat parkir motor terasa lebih mahal karena aktivitas pembandingnya juga nggak semahal itu.
Ketiga, merasa lebih miskin dari tukang parkir yang gabut. Ini sebenarnya alasan yang cukup logis meski nggak bisa ditelan mentah-mentah. Iya, tukang parkir punya penghasilan lumayan. Kalau lagi ramai, mereka mungkin bisa mengantongi Rp300 ribu per hari. Hitung aja, dalam satu bulan penuh mereka berpotensi dapat duit Rp9 juta.
Di sisi lain kita melihat kinerja mereka yang kadang tidak memuaskan. Cuma tiup peluit, nggak bantu narik motor, nggak bantu merapikan helm, kadang juga lepas tangan kalau ada yang hilang. Makanya, perasaan iri dengki ini membuncah dan bikin kita malas ngeluarin barang seribu-dua ribu perak. Lha kenapa, mereka juga penghasilannya lebih besar kok.
Sayangnya alasan itu nggak bisa langsung dicerna. Beberapa tukang parkir lekat dengan premanisme lahan. Sebagian mungkin menyetor penghasilan kepada pemilik lahan. Konon jadi tukang parkir itu juga nggak bisa sembarangan pakai rompi dan nongkrong di sekitar pertokoan. Ada “bos” pengelola parkir yang mengontrol semuanya. Ini adalah masalah pelik dan sistemik.
Jika kamu merasa memberikan seribu-dua ribu untuk parkir motor itu nggak masalah, terpujilah. Kamu memilih jalan yang lebih sehat untuk tidak peduli dan mengikhlaskan uang tak seberapa itu. Mungkin diam-diam kamu juga mendoakan abangnya dijauhi dari tindak kriminal karena lebih baik ngatur kendaraan ketimbang cari duit haram.
Sebaliknya, jika kamu menganggap seribu-dua ribu untuk tukang parkir itu masih berharga dan perlu digugat, ya tetap valid. Kedua kubu ini memang sudah selayaknya agree to disagree. Sementara itu permasalahan parkir, kemiskinan, lapangan pekerjaan, dan mental minta-minta masih bergulir dengan liarnya.
BACA JUGA Suka Duka Jadi Tukang Parkir Selama 6 Bulan dan artikel lainnya di POJOKAN.