MOJOK.CO – Apa yang akan kalian lakukan ketika seorang pelayan secara tak sengaja menumpahkan minuman di celana atau baju kalian?
Saya sedang duduk santai bersama tiga orang kawan di lobi salah satu hotel di Mataram, NTB. Kami memang sedang menunggu kawan kami lain yang rencananya akan mengantarkan kami bertemu Kepala Dinas Kesehatan untuk mencari data tentang penanganan pandemi corona di Nusa Tenggara Barat. Kami butuh data itu untuk bahan penulisan buku yang sedang kami kerjakan.
Sembari menunggu kawan kami itu datang, kami memesan minuman di kafe yang memang berada persis di sebelah area lobi hotel.
Tentu saja kami sadar bahwa minuman tidak akan membuat kehadiran kawan kami menjadi lebih cepat, namun setidaknya ia membuat penantian kami menjadi terasa lebih santai dan tidak bergegas.
Kami memesan cappuccino, kopi tubruk, dan cokelat panas. Sejujurnya kami ingin mencoba minuman lain, namun tampaknya nama-nama minuman lain terdengar sangat asing dan sangat sulit untuk kami pahami.
“Sudah, itu saja, Pak?” tanya pelayan.
“Iya, itu saja,” jawab kawan saya.
Si pelayan kemudian segera meluncur ke dapur untuk menyiapkan minuman yang kami pesan.
Hanya butuh sekitar lima menit sampai akhirnya pesanan kami datang. Pelayan kafe tampak agak kepayahan membawakan pesanan kami yang sudah tertata di atas baki. Tampaknya ia pelayan baru. Cara memegang bakinya tampak wagu dan tak fasih.
Sampai di meja kami, pelayan berpostur kurus itu kemudian meletakkan satu per satu pesanan kami. Cara pelayan itu meletakkan minuman di atas meja sungguh sangat tidak cakap. Ada getar yang terlihat sangat jelas di tangannya. Hal yang semakin membulatkan keyakinan kami bahwa ia memang pelayan baru.
Keyakinan kami itu pada akhirnya mencapai puncaknya. Saat cappuccino diturunkan, baki yang ia bawa mendadak goyah. Kemungkinan besar karena posisi tangannya yang menyangga baki itu tidak mantap.
Hasilnya, gula cair yang ada di gelas kecil di atas baki itu akhirnya tumpah mengenai celana kawan saya.
Si pelayan tampak panik. Ia langsung melontarkan secara bertubi-tubi permintaan maafnya.
“Maaf sekali, Mas. Maaf sekali,” ujarnya dengan wajah yang tentu saja penuh dengan ketakutan.
Situasi menjadi sangat tidak bermutu.
Saya melirik Iqbal, kawan saya yang celananya ketumpahan gula cair itu. Ia tampak kesal. Kalau ketumpahan air putih, itu bukan masalah besar. Ditunggu sejenak juga pasti kering. Namun, kalau ketumpahan gula cair, itu lain perkara. Selain susah keringnya, juga pasti bakal lengket.
Saya mencoba menetralisir suasana. Saya meminta pelayan pergi ke dapur mengambilkan kain untuk melap celana Iqbal. Hal itu semata saya lakukan agar Iqbal bisa mereda kesalnya dan pelayan juga bisa punya sedikit waktu untuk menenangkan diri. Setidaknya ia punya waktu sejenak untuk mengatur strategi menghadapi situasi ini.
Selama pelayan mengambilkan kain, saya mencoba menebak-nebak, tindakan apa yang akan diambil oleh Iqbal. Saya menunggu apakah ia akan marah dan mengomeli si pelayan, sebab ia memang punya hak untuk marah. Atau malah bersikap biasa dan sama sekali tak marah kepada pelayan.
Pada akhirnya, Iqbal memilih pilihan yang kedua. Wajahnya jelas menunjukkan kekesalan. Saya paham betul itu. Namun, ia memilih untuk tidak meluapkan kekesalannya dengan mengomeli si pelayan.
Tak berapa lama kemudian, pelayan datang dengan handuk kecil di tangannya. Iqbal mengambil handuk itu dan mengelap sendiri bekas tumpahan gula cair di celananya. Si pelayan tampak sungkan dan kembali melontarkan permintaan maafnya.
“Nggak papa, Mas. Santai saja,” kata Iqbal, kawan kita yang budiman itu.
Si pelayan kemudian kembali ke dapur dan mengambilkan gula cair yang baru. Saya dan kawan-kawan saya kemudian mengobrol kembali seperti tak terjadi apa-apa. Tentu saja hal itu adalah cara untuk membuat pelayan tak perlu merasa sangat bersalah.
“Aku lega kamu nggak marah sama pelayan,” kata saya pada Iqbal.
“Aku memang jengkel, namun aku paham keadaan anak itu. Dia pasti anak baru, wajar kalau berbuat salah. Nggak baik bikin susah orang kerja,” jawabnya.
Sikap Iqbal ini sungguh berbeda dengan sikap kawan saya yang lain. Sebut saja Prayit.
Prayit adalah tipikal orang yang tak segan untuk protes atau marah kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya akibat kesalahan pelayanan yang ia terima. Kalau Prayit berada di posisi Iqbal, saya yakin betul, ia akan muntab atau setidaknya protes.
“Ya, kenapa kita nggak boleh protes? Justru kita seharusnya protes. Kita sudah bayar kok,” jawabnya suatu kali saat saya meminta penjelasan kenapa ia protes saat es teh yang ia pesan ternyata justru diganti es jeruk.
“Ya, kan nggak perlu protes juga. Kamu doyan es jeruk kan?”
“Doyan.”
“Ya kalau begitu terima saja, setidaknya itu jadi tidak merepotkan pelayan warung makan. Mungkin pelayannya sedang capek sehingga nggak fokus nulis pesananmu.”
“Justru aku protes karena ingin meningkatkan kualitas pelayanan warung makan ini. Biar pelayannya lebih teliti, biar hal yang serupa tidak terjadi pada orang lain.”
Alasan Prayit tentu saja sangat baik dan bisa diterima. Kendati demikian, apa yang dilakukan oleh Iqbal juga tentu hal yang mulia. Singkatnya, baik Iqbal maupun Prayit sama-sama melakukan hal yang baik dan benar.
Sikap keduanya layak untuk dicontoh. Namun, entah kenapa, dalam hati saya yang terdalam, saya ingin sekali orang-orang lebih memilih untuk mencontoh Iqbal ketimbang menjadi Prayit.
BACA JUGA Menolak Dagangan yang Dijajakan oleh Anak Kecil Memang Tak Pernah Mudah dan tulisan Agus Mulyadi lainnya.