MOJOK.CO – Disclaimer: Artikel ini adalah sebuah (((pledoi))) bagi para SJW di social media yang dibully karena mengkritik pembangunan bandara, tambang batu bara, kesetaraan, hingga sedotan plastic.
Dua hari lalu saya melihat timeline twitter saya ramai sekali dengan orang-orang yang mencuitkan “mamam tuh sjw disleding netizen”. Sebagai orang yang suka keributan penasaran, saya menelusuri kata kunci “sjw” di twitter saya yang membuat saya berakhir pada sebuah utas berikut ini:
Wadooooooooooooooo pic.twitter.com/0nmd631Kjt
— Sanpras (@sanpras_) April 22, 2019
Tolong kalian jangan fokus ke Fiersa besarinya yha. Mari kita fokus ke mas-mas sjw yang “disleding” netizen ini.
Sebagai orang yang suka dibilang SJW gara-gara pernah nulis tentang pro sexy killers, anti sedotan stainless kapitalis, dan mempertanyakan kesetaraan perempuan dalam hal permisuhan, saya kok ngerasa (((terpanggil))) untuk membuat sebuah pledoi terhadap mas-mas ini.
Eh sebelumnya, buat kalian yang belum tahu apa itu SJW alias Social Justice Warrior saya bakal kasih pengantar dulu 3 SKS sedikit tentang paradigma SJW di social media khususnya twitter.
Jadii, SJW alias Sosial Justice Warrior adalah terma (edan, bahasanya) yang disematkan kepada (biasanya) kelas menengah berpendidikan, yang kritis—yang ngomongnya keminggris biar makin nunjukin kalau dia I i t e r a t e—tapi sering marah-marah, gampang tersinggung, dan merasa memperjuangkan kelompok marginal dengan tujuan untuk panjat sosial. Biasanya banyak ditemukan di twitter.
Seorang SJW juga dikenal sebagai sebutan bagi seseorang yang hipokrit karena suka butthurt dan mencak-mencak sama ketidakadilan tapi hidup dengan banyak p r i v i l e g e. Misalnya, marah-marah sama tambang tapi nulis thread di ruangan full AC, sok-sok-an membicarakan sosialisme tapi ngofei di coffei shop yang fancy, dll dll.
Apakah terdengar menyebalkan? Jawabannya adalah, Ya. Kalau memang SJW ini nggak benar-benar tulus punya kepedulian, dan bisanya cuman ngomong tok tapi tidak menjadi bagian dari solusi.
TAPIIIIIII yang jadi masalah adalah, nggak semua orang yang disebut SJW itu kayak gitu. Banyak juga orang yang beneran punya kepedulian dan mau cari solusi dicap SJW juga karena pemikirannya yang progresif itu (((melukai))) harga diri, atau keyakinan seseorang atau kelompok.
Banyak lho, orang yang punya argument bagus, berdasarkan dari fakta, tapi nggak diterima dan ujug-ujug langsung diserang “SJW”. SJW inilah yang pengin saya bela dalam tulisan ini.
Pembelaan pertama saya adalah: Jadi SJW yang beneran itu bagus tahu. Jadi orang kritis yang selalu menyoroti kelompok marginal dan tertindas itu bikin suara-suara yang hilang akibat ketidakadilan karena ketimpangan kekuasaan jadi terdengar.
Dalam kasus tambang batu bara kemarin misalnya, kita jadi mendengar narasi lain tentang kerusakan lingkungan dan HAM, pun dengan kasus sedotan plastik yang ternyata bagian dari akal-akalan kaum kapitalis yang bikin kita merasa sudah bertanggung jawab pada alam hanya dengan gerakan kecil dan melupakan masalah utama bahwa para kapitalis itulah biang kerok masalah plastik yang ada.
Pun dengan kasus penolakan bandara di Kulon progo.
Iya, saya tahu kok banyak netizen yang asli Kulon Progo mengatakan bahwa pembangunan itu didukung masyarakat. Mereka juga dapat ganti rugi sangat besar dan berbahagia karena bisa membeli tanah, rumah, dan mobil sendiri. Tapi kita juga kan nggak boleh menutup mata kalau ada orang-orang yang merasa dirampas haknya karena pembangunan bandara itu. Orang-orang yang merasa bahwa kepemilikan tanah jauh lebih berharga dari uang yang bisa habis kapan saja. Atau orang-orang yang merasa bahwa dia tidak butuh bandara karena sudah merasa cukup menghabiskan hidupnya sebagai warga desa biasa yang sudah bahagia hanya dengan Bertani.
Katanya melihat sesuatu itu harus cover both sides. Kalau mau dengar warga kulon progo bahagia dengan bandara, harus mau juga dong dengar warga kulon progo yang tidak bahagia dengan bandara. Masa malah marah-marah pas ditunjukin sisi boroknya. Hem???
Satu hal yang dituntut oleh orang-orang yang dikata-katain SJW ini kan sebenarnya apa yang dijanjikan oleh negara melalui sila ke-5 “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang namanya “seluruh” kan artinya semuanya, bukan hanya mayoritas saja.
Apalagi, diperkuat dengan pasal 28G dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya.
Jadi wajar dong kalau para SJW ini bereaksi cukup keras sama pembangunan bandara apalagi ketika mendengar pemberitaan-pemberitaan seperti penyerangan kepada warga kulon progo yang menolak pembangunan bandara, sampai penangkapan aktivis yang terang-terangan melawan pembangunan.
Buat kita khususnya kelas menengah yang suka traveling dan piknik-piknik fancy, bandara memang penting. Tapi bisa jadi warga kulon progo yang menolak, (mengutip dari laporan tirto mengenai kronologi pembangunan bandara) mereka merasa kalau pembangunan bandara itu adalah sesuatu yang merapas banyak ruang hidup masyarakat umum. Belum lagi ketika tanah mereka “dirampas” untuk pembangunan, mereka mau tidak mau harus “menjual diri” ke pasar tenaga kerja. Kemampuan mereka sebagai petani pun tidak akan dihargai lagi. Padahal, bisa jadi itu adalah satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan.
Belum lagi bandara didirikan dengan rencana mitigasi yang masih belum utuh. Ketika jelas Kulon Progo adalah daerah rawan bencana. Hayolohhh.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah, jangan sampai kita membuat penyangkalan-penyangkalan sama apa yang disampaikan oleh orang-orang yang kita ledek SJW ini. Karena kenyataannya kan memang beneran terjadi.
Kita juga sebaiknya berhenti memberikan label-label buruk pada seseorang. Jangan sampai karena kita membenci argumennya, lalu kita serang personalnya karena apa yang dikatakan orang itu (((melukai))) harga diri kita. Alias itu mah lu nya aja yang lemah, Dul.
Lagian nich ya, FYI aja, kita semua tuh aslinya ya SJW juga. Kalau misal ada satu hal yang kita anggap principal bagi diri kita, kita juga otomatis akan defensif (atau ofensif) memperjuangkan hal itu. Sama kaya para SJW yang suka kalian ledekin idealismenya.
Tapi tapi kan nggak semua orang pengin panjat sosial di sosmed melalui argumen-argumen mereka di twitter kayak SJW??
Yha emang betul, tapi sadar nggak sih sebenernya orang-orang anti SJW yang suka banget (dan berusaha keras) membongkar argumen SJW, lalu mengcapturenya dan menjadikannya meme buat bahan ketawaan sebenernya sama aja kayak lagi berusaha buat panjat social alias sama-sama nyari panggung buat bisa terkenal juga wqwq. Tuhkan, sebenernya orang-orang yang anti SJW ini malah lebih SJW dari SJW itu sendiri wqwq.
Alih-alih malu, saya pikir seharusnya sih kita bangga aja jadi SJW. Kan bagus, punya pemikiran kritis dan progresif yang dipakai untuk membela kelompok marginal yang tertindas. Coba anti SJW SJW klub ini, mereka lebih senang dan mentolerir para elit yang berkuasa yang jelas-jelas berpartisipasi dalam ketimpangan dan ketidakadilan wqwq.
Lagian nich yaa, daripada berantem sesama individu dan saling nyinyir-menyinyiri teman yang beda pandangan yang justru bikin antipati, mending energi nyinyir antara SJW dan anti SJW ini disalurkan untuk hal yang lebih baik seperti merebut alat produksi dan memulai revolusi supaya bisa membuat keadilan yang sebenar-benarnya keadilan versi kita sendiri. Eh.