MOJOK.CO – Gibran pernah menyatakan tak akan mencalonkan diri sebagai calon walikota, namun kelak, pernyatannya tersebut kemudian ia koreksi sendiri dengan manuvernya.
Pada akhirnya, apa yang sudah diperkirakan oleh banyak orang benar-benar terbukti. Gibran Rakabuming benar-benar maju sebagai calon walikota Solo di Pilkada serentak 2020 mendatang berpasangan dengan Ketua DPRD Solo Teguh Prakosa.
Keputusan Gibran maju sebagai calon walikota tentu saja mendapatkan kecaman dari banyak orang. Maklum saja, majunya Gibran dalam Pilwakot memang cukup bertolak belakang dengan sikap yang Gibran tunjukkan kepada publik sekira dua-tiga tahun lalu di mana ia sama sekali tak tertarik pada politik dan bahkan sempat beberapa kali menegaskan ia anti politik dinasti.
Namun kita semua tentu paham, politik itu mampu membuat banyak orang berubah, tak terkecuali Gibran.
Gibran mengikuti manuver bapaknya yang dulu di tahun 2012 pernah berjanji akan memimpin Jakarta selama lima tahun, namun pada akhirnya, ia terjun ke Pilpres 2014, dan menang.
Hadirnya Gibran dalam kontestasi politik tentu saja menjadi hal yang cukup penting dan, pada titik tertentu, memang sudah seharusnya begitu.
Pencalonan Gibran dari awal sudah penuh dengan polemik. Sebelum Gibran memutuskan untuk mendaftar sebagai calon walikota, DPC PDIP sudah punya calon pasangan walikota-wakil walikota yang akan diusung, yakni Achmad Purnomo-Teguh Prakosa.
Secara mekanisme penjaringan kader, Gibran tak bisa dicalonkan, sebab salah satu syarat pengajuan calon melalui penjaringan internal adalah sudah terdaftar sebagai kader minimal tiga tahun, sedangkan kita semua tahu, Gibran resmi menjadi kader baru beberapa bulan yang lewat.
Beruntung Gibran punya jalur khusus yang belakangan ia dapatkan, yakni jalur “kartu sakti” dari atas.
Gibran maju bukan dengan jalur meritokrasi kepartaian. Sebab kalau melalui mekanisme tersebut, Achmad Purnomo-lah yang jauh lebih berhak. Ia sudah jadi kader PDIP sejak lama, ia menjalani karier kepartaiannya dari bawah. Perjuangannya untuk bisa sampai ke level “bakal” dicalonkan adalah perjuangan yang berdarah-darah. Namun pada lintasan akhir, ia harus rela “ditikung” oleh anak muda yang karier politik dan kepartaiannya bahkan hampir tidak ada.
Apakah ini baik? Dalam sebuah organisasi, tentu itu praktik yang tidak baik bahkan cenderung zalim. Seseorang seharusnya berproses dan melewati hierarki keposisian sebelum bisa naik ke atas. Tentu sesuai dengan kapasitasnya.
Namun dalam politik, kezaliman itu tentu saja tak berlaku. Politik itu lentur kayak karet pentil. Ada banyak pemakluman yang memang harus ditempuh dan dikompromikan.
Partai, yang tak bisa dimungkiri merupakan pemain utama perpolitikan, memang sudah selayaknya selalu siap untuk ditantang oleh pemain-pemain lain yang secara nyawa bukan dari partai.
Itulah kenapa, hadirnya calon-calon independen, yang pasti tidak disukai oleh partai, selalu menjadi hal yang menarik.
Majunya Gibran adalah bagian dari hingar-bingar politik yang penuh warna. Betapa partai, tak seharusnya terlalu jumawa pada kepartaiannya, sebab ada banyak hal yang bisa dengan mudah mengalahkannya.
Gibran, kendati ia sudah berstatus sebagai kader, namun tetap saja ia bukan kader “kultural” yang layak merepresentasikan nilai partai itu sendiri. Gibran adalah kader “dadakan”, sehingga kadar kepartaiannya boleh dibilang masih sangat kecil, bahkan cenderung nol.
Namun, hadirnya Gibran tentu cukup menarik, utamanya sebagai entitas yang tepat untuk menghantam keyakinan pada kekuatan politik yang terlalu partai-sentris.
Majunya Gibran seakan memberikan pesan penting, bahwa partai hanyalah mesin. Tidak lebih. Dan selayaknya mesin, keberadaannya memang berguna untuk mempermudah hidup manusia, namun manusia tetap bisa hidup tanpanya.
Pada titik tertentu, politik memang selalu butuh sosok yang bisa menang karena faktor keilmuannya, kepopulerannya, kebermanfaatannya, sumbangsihnya, pengalamannya, hubungan kekeluarganya, atau apa pun itu, untuk menandingi faktor kepartaiannya.
Dan kali ini, kebetulan, Gibran adalah salah satunya.