Bagi orang Jogja, khususnya mahasiswa dengan dana terbatas, angkringan adalah oase. Semua murah. Bahkan kalau memang lagi kepepet, saya bisa ngutang dulu. Namun, sebuah rasa penasaran membawa saya ke warteg. Sebuah warung makan dengan pilihan lauk begitu beragam.
Sebenarnya, warteg sudah ada di Jogja jauh sebelum saya kuliah. Tepatnya pada tahun 1999. Lokasi warteg yang pertama buka ada di daerah bernama Glagahsari.
Lokasi ini sungguh strategis. Ia berada di dekat 3 kampus, yaitu UTY, UAD, dan UST. Pelanggannya jelas mahasiswa dan pekerja di daerah sana. Dan kebetulan, rumah saya dekat dengan daerah Glagahsari. Waktu zaman kuliah, saya masih tinggal di daerah Baciro, yang hanya 5 menit jalan kaki dari Stadion Mandala Krida.
Jarang mencoba hal baru
Bagi banyak orang, warteg adalah barang lama, khususnya di sekitar 2005 ketika saya awal masuk kuliah di Sanata Dharma. Namun, bagi saya, warung makan ini hal baru. Sangat baru.
Maklum, saya adalah orang yang jarang mencoba hal baru kalau tidak terpaksa. Bukan karena “benci” atau nggak suka. Saya lebih suka main aman saja. Kalau sudah bisa merasa puas makan di angkringan atau warmindo, ngapain mencoba hal baru yang bisa “membahayakan” beberapa kondisi.
Pertama, saya malas kalau ketemu tempat makan yang ternyata nggak enak. Maklum, saya punya pengalaman seperti itu ketika mencoba warung makan baru di Jogja yang ramai. Kedua, saya harus mempertimbangkan isi dompet.
Ya gimana, sebagai mahasiswa dengan dana terbatas, lebih baik makan sesuai dengan batasnya. Ketimbang malah susah di depan, meski perut puas setelah makan.
Oleh sebab itu, saya nggak terlalu antusias ketika ada teman mengajak saya makan di warteg. Ya di Glagahsari itu.
Baca halaman selanjutnya: Kalap dan merasa sangat menyesal kemudian.












