MOJOK.CO – Banyak anak muda merasa jadi PNS itu “aman”, dijamin negara. Nggak mikir UMR, meski lahir banyak penipuan karena pesonanya.
Kalau nggak karena desakan dari ibu, saya nggak mungkin mau daftar dan ikut ujian jadi PNS. Saat itu saya masih bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan di Jogja. Profesi yang sebetulnya sudah lumayan enak. Gaji lumayan, sedikit di atas UMR dan buku yang saya kawal tidak terlalu berat.
Saya mendaftar dengan perasaan setengah hati. Bekerja di pemerintahan rasanya bukan gairah saya. Namun, ketika sudah ikut ujian CPNS, rasanya kok sayang kalau nggak diusakana. Yah, anggap saja sebagai ikhtiar memenuhi harapan orang tua. Namun, pada akhirnya, saya juga yang makan hati.
Selepas ujian jadi PNS, ketika nilai peserta keluar, nama saya ada di posisi dua atau tiga. Saya agak lupa. Teman saya bilang kalau udah di posisi dua atau tiga, seharusnya lolos ke “babak selanjutnya”. Petugas yang jaga juga mengatakan saya tinggal nunggu pengumuman saja. Katanya bakal muncul di media massa.
Saya yang malas mencari tahu lebih lanjut, ya tinggal menunggu hasil ujian jadi PNS di media massa saja. Hasilnya, nama saya hilang dari daftar peserta yang lolos ke babak selanjutnya. Sejak saat itu, saya jadi semakin risih jika ada yang mendorong saya untuk daftar jadi PNS lagi.
Saya tidak penuduh ada kecurangan atau penipuan. Toh saya juga nggak begitu peduli. Ibu saya juga sudah ikhlas melihat hasilnya di koran. “Mungkin bukan rezekimu,” kata beliau. Saya senang, meski jauh di dalam hati, agak kecewa juga karena nama saya hilang.
Waktu berlalu, tahun demi tahun, sampai suatu kali di tengah pernikahan adik saya, tema jadi PNS kembali muncul. Saudara-saudara saya yang lebih muda, kompak berpikir bahwa jadi PNS itu “kayaknya menarik”.
Pemikiran mereka didasari dari pengalaman melihat kami, yang lebih senior dan kerja di perusahaan swasta, sering mengeluh stres karena pekerjaan. Sudah gajinya standar UMR (sekarang dikenal sebagai UMK), kerjanya berat. Bahkan beberapa bekerja melebihi job description yang disepakati.
Salah satu saudara saya bahkan mengucapkan kalimat yang agak ekstrem. “Kalau kerjanya sudah berat, job desk nambah, gaji setara UMR, ya nggak beda kayak penipuan.” Orang tua yang mendengar kalimat itu melirik kami, yang lebih senior dan terlihat tertohok.
Saudara muda saya satu ini memang punya pemikiran yang unik. Sebetulnya dia ini pintar dan bisa bekerja di perusahaan besar. Kalau mau. Namun, dia lebih suka memandang hidup sebagai perjalanan yang nggak perlu dipikir terlalu serius. Pemikiran ini berpengaruh kepada caranya melihat profesi.
“Kayaknya ya, jadi PNS itu menarik. Kerja nggak begitu berat, tunjangan aman sampai tua. Masih dapat pensiun,” katanya.
Saudara saya yang lain menimpali, “Weekend masih bisa piknik dan nggak usah mikir lemburan.”
Keduanya opini yang masuk akal. Sulit dibantah.
Agustus 2021, Ajeng Rizka, redaktur Mojok menulis bahwa banyak orang makin pengin jadi PNS ketimbang kerja di korporasi. Ibaratnya, kerja di korporasi itu kayak “kuda pecut”. Dia menulis begini:
“Logikanya begini, kerja jadi budak korporat, gaji besar, teman gaul, bisa ngasih makan idealisme dan gaya hidup, tapi kerja siang malam kayak kuda pecut, perlahan bisa menyiksa mental. Rasanya apa yang kita kerjakan selalu melelahkan, tapi semua yang kita lakukan adalah buat perusahaan. Mereka memberikan konversi keberhasilan perusahaan berupa gaji dan insentif. Kita cuma perlu kerja, kerja, kerja, lama-lama tipes. Sayangnya kalau kita meninggal, perusahaan tinggal cari karyawan baru, keluarga kita yang sedih. Padahal selama ini, cuma sedikit waktu istirahat yang bisa kita habiskan bareng keluarga. Duh, pait.”
“Saya sih belum pernah berhasil daftar PNS dan diterima, tapi dari kesaksian banyak orang, jadi PNS memang nggak lebih sibuk dari perusahaan swasta yang ngasih kerja nggak masuk akal. Lama-lama, semakin masuk akal kenapa begitu banyak orang pengin jadi PNS meski gaji PNS nggak sedahsyat itu. Selain menginginkan hidup lebih waras, mereka juga berhak tenang dengan dana pensiun dan tunjangan masa tua.”
Anggapan jadi PNS itu enak sudah menancap sangat dalam di benak orang Indonesia. Faktor keamanan ekonomi menjadi alasan paling kuat. Apalagi kalau jadi PNS, kan, nggak menutup kemungkinan kita untuk “nyambi”. Bisa buka warung, jualan online, atau buka pom bensin. Waktu yang tersedia masih banyak untuk “nyambi”.
Saking enaknya, penipuan untuk jadi PNS sangat marak. Terakhir, Olivia Nathania, anak dari seniman Nia Daniaty, ditangkap polisi karena kasus penipuan jadi PNS.
Kompas menulis bahwa Olivia ditangkap polisi setelah menipu 225 orang. Modusnya, Olivia menawarkan posisi PNS menggantikan pegawai yang sudah dipecat atau meninggal karena Covid-19. Korban yang tergoda akan kenyamanan sebuah profesi, menyetor sejumlah uang yang tidak disebutkan nominalnya.
Hal ini menggambarkan bahwa rasa aman yang dihadirkan sebuah profesi itu nyata banget. Meskipun gaji PNS nggak jauh banget dari standar UMR, mereka yang lolos akan merasa aman sampai masa tua.
Ingat, tidak punya uang dan pekerjaan itu sangat berbahaya. Hidup jadi merasa terancam dan mungkin berakhir jadi narapidana karena “kepepet”. Ketika negara tidak bisa menjamin kehidupan yang nyaman untuk rakyat, ya rakyat akan melakukan segala hal untuk melawan perut lapar.
Nah, di bagian inilah banyak anak muda yang merasa jadi PNS itu “aman”. Mereka dijamin oleh negara. Mau kinerjanya bagus atau jelek banget, gaji dan tunjangan tetap aman.
Untung gaji saya di Mojok masih di atas UMR, masih bisa main PS tiap sore. Secara ekonomi dan kesehatan mental, sih, masih aman. Nggak tahu sama perasaan saudara-saudara yang lebih tua dan menghabiskan separuh hidupnya untuk kerja keras bagai kuda dan jadi budak korporat.
Eh, tapi di Mojok juga kami jadi budak, sih. Tepatnya, budak Google yang rakus itu.
BACA JUGA Profesi PNS Adalah Kebanggaan Orang Tua yang Masih Abadi dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.