MOJOK.CO – Sekolah 12 tahun akan sangat membosankan jika hanya dihabiskan dengan belajar. Biar nggak bosan, saya mengisi masa-masa itu dengan ikut geng dan tawuran.
Masa sekolah saya terbingkai dalam program pemerintah wajib belajar sembilan tahun dan dilanjutkan wajib belajar 12 tahun. Dalam usia sekolah yang diwajibkan tersebut, pemerintah berharap generasi kami memiliki SDM yang berkualitas dan siap menerima tantangan zaman. Untuk mencapai ke arah sana, kami para siswa, tidak mungkin melewatinya hanya dengan datar-datar saja.
Bayangkan, 12 tahun Gaes! Nggak mungkin isinya cuma belajar yang lurus-lurus saja.
Anak yang menempuh masa sekolah selama bertahun-tahun tentu saja menghasilkan kisah-kisah yang, silahkan diingat-ingat sendiri. Karena setiap mantan siswa pasti punya kisah masing-masing, saya akan bercerita mengenai kisah geng-gengan zaman sekolah.
Awal mula saya akrab dengan istilah “geng” yaitu saat SD. Saat itu hari-hari saya, selain belajar di sekolah, juga dipenuhi oleh pelajaran dari televisi. Mau tidak mau, saya harus mengakui bahwa serial Ada Apa Dengan Cinta, Kepompong, dan Si Entong merupakan serial tv yang mempengaruhi karier per-geng-an saya.
Saat itu, muncul keinginan saya untuk berkelompok dan membentuk sebuah geng dengan teman-teman kelas. Kami meniru kelakuan tokoh baik yang ada di sinetron tapi tidak ingin ditindas. Maklum, dalam sinetron, tokoh baik yang ditindas tapi selalu bejo. Sedangkan di dunia nyata? Bejo itu sulit dirasakan sehingga kami sulit bersyukur seperti yang sering Entong lakukan.
Akhirnya, anak SD macam kami lebih sibuk menentukan nama geng. Nama geng yang populer waktu itu, berasal dari gabungan inisial nama dari para anggotanya. Misal, nama anggotanya Sinta, Anggi, Nisa, Tina, Ika, dan Keke, disingkat SANTIK. Geng SANTIK. Sudah, eksistensi sebuah geng waktu SD hanya mentok jika sebuah geng punya nama.
Jika SD hanya sampai pada perkumpulan orang dan nama, saat SMP kami sudah mulai memikirkan visi dan misi geng. Jika ditanya siapa pembimbing kami, film Crows Zero dari Jepang jawabannya.
Kami menonton potongan-potongan film itu ramai-ramai lewat layar HP belah ketupat. Film yang tidak utuh kami tonton itu sudah cukup untuk membuat dada deg-degan, menggebu-gebu membayangkan bagaimana jika kami bergabung dalam G.P.S bersama Genji dan teman-temannya.
Tetapi, dengan segera kami menyadari bahwa hal itu tidak mungkin. Mengingat bahwa Crows Zero itu hanya film, itu pun dari Jepang. Akhirnya, salah satu teman, sebut saja Bambang, menawarkan untuk membentuk sebuah geng. Saya bergabung bersama Bambang.
Dari hasil penerjemahan ugal-ugalan kami waktu itu Crows Zero=Gagak Kosong, berarti siswa nakal yang suka berantem, kami adaptasi menjadi Crows Hero. Yak, kami ingin menjadi Gagak Pahlawan, siswa baik yang suka menyelamatkan. Yeah, norak emang.
Kami menyepakati bahwa geng ini merupakan pembela kaum lemah. Kami tidak terima jika ada kakak kelas atau teman yang lebih kuat melakukan bullying terhadap siswa lain di sekolah. Maksud hati ingin jadi pahlawan apa daya bentuk perlawanan kami tetap sama, yaitu berantem. Karena kami baik, anggota geng atau sekedar pendukung kami makin lama makin bertambah.
Kemunculan geng Crows Hero bukannya membasmi kejahatan (sesuai visi awal) tapi malah memperbanyak tawuran. Hampir setiap minggu selalu ada keributan antar kelas atau antar angkatan dan salah satu kubunya yaitu Crows Hero. Kaca jendela pecah, bangku berserakan, dan keluar masuk ruang BK merupakan hal biasa. Untungnya, tidak ada yang terluka parah sehingga tak ada rasa jera sehingga tawuran bisa terus berjalan.
Pernah suatu ketika geng-geng yang berada di sekolah sepakat bersatu untuk menerima tantangan dari sekolah sebelah. Berawal dari permasalahan pribadi salah satu siswa, berujung ke penghinaan terhadap sekolah.
Entah kehormatan macam apa yang kami bela, kami menerima tantangan untuk tawuran di lapangan desa yang berada di antara dua sekolah yang berseteru. Puluhan siswa berkumpul. Saya tidak tahu bagaimana cara siswa-siswa itu benar-benar memukul, menjambak, dan melempar. Tawuran itu melebihi tawuran di sekolah kami sendiri, bahkan berkali-kali lipat kasarnya.
Teman-teman saya banyak yang berdarah. Kendaraan kami, motor atau pun sepeda dilempar ke dalam got. Saya mundur dan berlari sejauh mungkin.
Pada situasi seperti itu, jawaban melerai kawan dalam perkelahian atau membantu kawan yang sedang kesusahan di mata pelajaran PKN, tidak bisa saya realisasikan sama sekali. Mata pelajaran penyumbang nilai terbesar di rapot itu, yang mudah dijawab itu, ternyata pelajaran yang paling sulit direalisasikan. Beda dengan Metematika atau Bahasa Indonesia yang walaupun harus menghitung dan membaca soal berlembar-lembar ketika ujian, ternyata lebih mudah dipakai di kenyataan.
Hadeh, jika ingat masa itu ingin istigfar terus rasanya. Kejadian tawuran itu yang kemudian menyebabkan masa SMA saya jadi penuh kesendirian. Tak ada jalan ramai-ramai ke kantin, tak ada rasa ingin membela salah satu kubu dalam tawuran. Malahan, jika ada tawuran, saya hanya melihatnya dari kejauhan. Tak ingin ikut campur atau melerai. Buat apa? Biarkan geng-geng itu meraih kepuasan dengan caranya.
Waktu SMA saya lebih suka bergabung dengan anak-anak ekstrakulikuler walaupun tidak secara resmi mendaftarkan diri. Dan sebenarnya, saya tidak terlalu suka dengan anak-anak ekskul futsal karena mereka punya suporter yang paling gampang panas dan ringan untuk saling gruduk. Mirip geng yang suka tawuran lainnya. Persaudaraan sih persaudaraan, persahabatan sih persahabatan tapi ya nggak asal gruduk juga.
Sampai hari ini saya masih bingung, kehormatan macam apa yang sebenarnya geng-geng di sekolah itu bela? Walaupun begitu, saya tetap berterima kasih pada kisah geng-gengan yang pernah saya lalui. Cerita macam itu merupakan pelajaran tidak lurus-lurus saja yang saya maksud tadi.
Dari sekolah, saya hanya tahu bahwa pelajaran PKN itu mudah. Sedangkan dari geng-gengan, saya mengerti bahwa pelajaran PKN itu sulit direalisasikan dan membela bukan asal grudukan saja.