MOJOK.CO – Pernah merasa segan, takut, salah tingkah, dan sebagainya ketika berhadapan dengan orang kaya? Tenang, kamu nggak sendiri.
Kalis Mardiasih bercerita di status Facebook tentang peristiwa yang disaksikannya di gerbong kereta. Seorang perempuan yang tampak kaya menegur suami-istri yang salah tempat duduk. Harusnya pasutri ini duduk di gerbong premium, tapi nyasar ke gerbong eksekutif dan duduk di kursi punya perempuan tajir tadi. Karena mbak yang empunya kursi nyuruh cepat-cepat pindah dengan ucapan-ucapan sarkastis, si suami pun berkali-kali minta maaf.
Mungkin kisah sehari-hari ini mengesankan bahwa seseorang yang kelas sosialnya lebih tinggi, bisa membuat rakyat biasa-biasa aja jadi inferior. Namun, yang perlu diingat, pasutri ini posisinya salah. Jadi wajar si suami minta maaf tanda kebesaran hati. Sialnya, diperparah dengan kekesalan mbak tajir yang entah harinya berjalan seperti apa, hingga sampai hati memperlakukan sesama penumpang demikian.
Saya sendiri pernah berhadapan dengan mbak-mbak serupa yang menegur saya sewaktu di bioskop.
“Mas, ini bangku saya,” ucap mbak-mbak itu kepada saya yang duduk di bangku yang saya pesan via aplikasi pemesanan tiket.
Saya mulai melihat penampilan si mbak dari bawah sampai atas. Nggak kelihatan, soalnya gelap. Saat itu sebagian lampu sudah dimatikan. Wajahnya yang bete terlihat dari pantulan cahaya layar bioskop. Tapi dari nada bicaranya yang sok kuasa, saya yakin mbak ini punya privilese di hidupnya.
Benar saja, ketika mbaknya turun untuk lapor ke karyawati bioskop, teman nonton saya sempat membisiki saya, “Saya tahu sama orang itu. Dia pemilik toko emas.”
Mbaknya kembali bersama karyawati bioskop, lalu berseru, “Coba lihat tiketnya!”
Saya tunjukkan tiket saya kepadanya. Saya tidak takut karena saya benar. Boleh saja dia di unggul secara finansial, tapi perkara duduk sesuai bangku bioskop, saya ahlinya sejak tahun 2010.
Karyawati bioskop menyenter tiket saya, lalu beralih ke tiket mbaknya.
“Mas udah sesuai bangkunya. Ibu duduknya di ujung sana ya,” pungkas karyawati bioskop sembari mempersilakan.
Mbaknya yang sewot duluan, akhirnya menunduk di depan saya dan mengakui kesalahan, “Maaf ya, Mas.”
“Oke,” jawab saya singkat.
Kekayaan dan kejayaan lainnya mungkin memang bisa menjadi kekuatan tambahan bagi seseorang untuk menakuti sesama manusia. Di ranah sosial, kita masih bisa melawan kesombongan dengan kebenaran. Di ranah hukum (di negeri yang masih lemah penegakan hukumnya), belum tentu kebenaran bisa menang, kadang uang yang menentukan. Ini yang jadi trauma mendalam sebagian masyarakat yang akhirnya takut mendengar kata pengacara dan meja hijau. Apalagi kalau kata itu diucapkan oleh orang kaya.
Belakangan, marak di Twitter, seseorang memamerkan jumlah saldo rekening, dilanjutkan tips sukses dalam bentuk utas. Dengan kekayaan, seseorang merasa berhak untuk disegani dan didengarkan. Padahal kan kesuksesan bukan melulu tentang uang.
Cukup ceritakan bagaimana kerasnya kamu berjuang menekuni bidang yang kamu cintai, itu lebih cantik. Nggak perlu embel-embel hasilnya berupa materi. Itu malah bisa bikin orang jadi minder dan kurang bersyukur dengan pencapaiannya sendiri, alih-alih terinspirasi. Memangnya kamu Buset (Budi Setiawan)?
Kaya dan sombong memang kombinasi jitu untuk bikin rakyat kecil terintimidasi. Namun, kaya, baik hati, dan gampang dibodohi, juga bahaya ketika ketemu orang yang cuma mau memanfaatkan kamu kayak di film Parasite.
Bagaimanapun, daripada jadi orang kaya atau orang miskin, paling enak jadi pengendara motor yang ngotot. Ketika tabrakan dengan mobil, yang ganti rugi tetap pemilik mobilnya walaupun pemotor yang salah. Salahnya, dia bawa mobil, udah pasti banyak duit.
Gitu.
BACA JUGA Wacana UU Perlindungan Ulama Tak Cuma Berguna untuk Habib Rizieq atau komentar lainnya di rubrik POJOKAN.