MOJOK.CO – Tidak bisa bertemu dengan orangtua, kakek, nenek, dan sanak-saudara saat lebaran adalah sebuah siksaan yang menyebalkan. Dan tahun ini kita dipaksa mengalaminya.
Kita semua sepakat, lebaran tahun ini adalah lebaran yang sentimentil. Banyak dari kita yang tak bisa bertemu dengan sanak saudara di kampung karena pandemi corona memang memaksa kita untuk tidak mudik.
Salaman kepada orangtua, kakek-nenek, dan juga sesepuh kampung yang selalu menjadi simbol puncak spiritualitas dalam memaknai idulfitri kini tak bisa dilakukan. Kita kini terpaksa melalukanya melalui video call, hal yang tentu saja mengurangi kadar spiritualitas tersebut.
Ini lebaran pertama saya sebagai seorang lelaki yang sudah punya istri. Dengan status baru ini, seharusnya lebaran kali ini bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan.
Sayangnya, justru di lebaran tahun inilah saya merasakan lebaran yang sentimentil itu. Saya harus menerima kenyataan bahwa ini sekaligus menjadi lebaran pertama saya yang akan saya habiskan tanpa berkumpul bersama keluarga besar.
Saya dan Kalis, istri saya, padahal sudah merencanakan skema pembagian jadwal mudik ke Magelang dan Blora. Kami sudah membayangkan, betapa indahnya berkumpul dengan keluarga besar. Namun apa lacur, corona membabat habis rencana kami.
Lebaran tahun ini, kami terpaksa harus melaluinya dengan duduk-duduk di rumah saja. Lebaran yang tentu saja akan sangat sendu. Dan beberapa hari jelang lebaran ini, kami sudah mulai mencicil kesenduan lebaran itu.
Pagi hari kemarin, sebagai peredam sendunya suasana lebaran yang sentimentil itu, Kalis memutar “Burdahan” di Youtube dan mengeraskan suaranya.
“Biar sauasanya kayak lebaran beneran,” ujarnya seakan-akan lebaran tahun ini bukanlah lebaran beneran.
Tampaknya istri saya sangat terpukul dengan lebaran kali ini. Saya paham betul, ia tipikal orang yang sangat guyup. Ia selalu suka berkumpul dengan orang banyak. Maka, ketika ia harus menghadapi lebaran dengan kesepian yang teramat sangat ini, pastilah ada yang koyak di dalam hatinya.
Saat malam lebaran, ia masak banyak sekali makanan. Rica-rica ayam, sambal kentang, dan sambal ikan pindang. Tak cukup di situ, ia juga membeli rendang daging dan rendang jengkol.
“Mau buat siapa makanan sebanyak ini?” tanya saya.
“Siapa tahu, besok pagi ada orang yang berkunjung ke rumah kita,” jawabnya pasrah. Saya sedih mendengarkan jawaban tersebut.
Pagi harinya, yang terjadi adalah persis seperti yang sudah saya prediksi. Tak ada seorang pun yang datang ke rumah kami. Saya mahfum, semua orang pasti sibuk dengan diri masing-masing. Sibuk merutuki lebaran dengan kesendiriannya masing-masing.
Kami kemudian mulai menelpon bapak dan ibu kami melalui video-call. Terasa sangat menyebalkan, namun itulah satu-satunya hal yang bisa kami lakukan.
Ibu mertua saya, di seberang sana, tampak menangis sesenggukan. Ia kangen betul dengan anak perempuannya yang lebaran tahun ini tak pulang.
“Aku kangen banget, Nduk,” ujarnya dengan air mata yang dleweran.
“Aku juga kangen, Bu,” kata istri saya yang tampak betul ingin menangis tapi ia tahan-tahan.
Istri saya kemudian membawa ibunya itu berkeliling rumah melalui ponselnya. Ia menunjukkan bahwa kemarin kami baru saja beli kulkas dan tivi baru. Ia juga menunjukkan masakan yang ia masak semalam.
“Semalam aku masak rica-rica ayam,” ujar Kalis.
“Aku masak opor,” balas ibunya. Kalis tampak makin sentimentil. Ia pasti membayangkan betapa enaknya kalau pagi itu ia bisa menyantap opor yang dibikin oleh ibunya.
Saya tak tahu berapa lama keduanya ber-video-call. Saya hanya ikut menemani Kalis bervideo-call beberapa menit, selanjutnya, saya meninggalkan mereka. Membiarkan sepasang ibu-anak itu saling membalaskan sejumput kangennya.
Dari pagi sampai siang, tampang istri saya masih tak banyak berubah. Ia masih tetap sendu.
Malam harinya, saya melihatnya sudah bisa tersenyum, prengas-prenges, di depan televisi. Tampang sendu yang sedari pagi menggelayuti dirinya seakan terkikir.
Saya penasaran, apa yang ia tonton. Saya melirik acara apa yang ia tonton. Ternyata siaran bincang lebaran Prof. Quraish Shihab bersama Gus Mus.
Di ruang tamu, saya memandani melihat istri saya dengan perasaan yang jauh lebih ringan.
“Ah, orang alim memang selalu bisa menenangkan hati.”