MOJOK.CO – Komentator itu memang tugasnya untuk meramaikan pertandingan, tapi jangan lantas hanya ramai saja, harus edukatif juga.
Sekitar empat atau lima tahun lalu, publik penggemar olahraga di Indonesia dibuat terpikat oleh gaya komentator baru yang atraktif lewat sosok Valentino Simanjuntak.
Gayanya sebagai komentator pertandingan-pertandingan tim nasional yang atraktif dan heboh saat itu memang menjadi daya tarik tersendiri. Komentator pertandingan sepakbola spesialis timnas yang memopulerkan kata jebret ini benar-benar menjadi buah bibir sejak ia tampil dengan membawa aneka pilihan kata dan frasa yang lucu dan tak lazim.
Bayangkan, ketika komentator lain mungkin akan menggunakan frasa “tendangan spekulatif” untuk sebuah percobaan tendangan jarak jauh, Valentino Simanjuntak justru memilih menggunakan “tendangan LDR”. Ketika komentator lain menggunakan “umpan terobosan”, Si Bung Valen justru menggunakan “umpan membelah lautan”. Ditambah sederet frasa brengsek lainnya seperti “peluang 24 karat”, “umpan gratifikasi”, “passing cuek”, “gelandang penimba sumur”, “duo bendungan jatiluhur”, “heading sang mantan”, sampai “gerakan 378”.
Gaya komentator heboh dan atraktif yang disajikan oleh Valentino Simanjuntak ini seakan menjadi pengobat lara yang cukup manjur bagi pemirsa ketika timnas belum bisa tampil baik dan mempersembahkan gelar.
Takluk dari Malaysia pun tak mengapa, sebab orang akan segera lupa, sebab yang mereka ingat “umpan gratifikasi”, “tendangan LDR”, dan “gol kelok sembilan”.
Ia seakan mampu menggantikan gaya komentator informatif seperti Tommy Welly alias Bung Towel dan Mohamad Kusnaeni alias Bung Kus.
Namun belakangan, gaya komentator heboh ala Valentino “Jebret” Simanjuntak ini tampaknya semakin mendapat penolakan dari masyarakat.
Banyak yang menganggap gaya komentator menghibur yang dibawakan oleh Valentino semakin menyebalkan. Orang-orang semakin resisten terhadap komentator genre heboh ini.
Pertandingan Piala Menpora 2021 antara Bali United dan PSS Sleman yang akhirnya dimenangkan oleh PSS Sleman melalui drama adu penalti pada pertengahan April 2021 lalu menjadi panggung penolakan beramai-ramai dari publik terhadap gaya komentator Valentino.
Saat itu, netizen beramai-ramai mengaungkan tagar #GerakanMuteMassal sebagai protes atas gaya komentator Valentino yang dianggap hanya atraktif namun tidak edukatif.
“Penikmat sepakbola juga butuh edukasi, bukan pendengar teriakan yang menimbulkan polusi” begitu pesan yang muncul dalam poster #GerakanMuteMassal.
Valentino sendiri saat itu mengatakan bahwa yang dilakukannya semata adalah usaha untuk mencari penonton.
“Saya, sih, sudah dari 2013, ya, digituin, jadi bukan sesuatu yang baru buat saya.” ujarnya kepada Kumparan. “Nah, saya kan juga memang host yang harus mencari sensasi supaya penonton semakin banyak. Penonton yang dimaksud oleh TV itu kan bukan hanya penonton bola, tetapi penonton di luar bola juga yang sekarang larinya ke Ikatan Cinta.”
Lebih lanjut, Valentino mengatakan bahwa gaya komentator yang ia lakukan selama ini semata sebuah usaha untuk meningkatkan animo penonton siaran sepakbola.
“Tayangan bola ini masih tiga kali lipat di bawah ‘Ikatan Cinta’. Jadi, kita harus melakukan berbagai macam kreativitas kan.” Terangnya.
Nah, puncak protes publik pada gaya komentator heboh ala Valentino ini pada akhirnya terjadi dalam momen pertandingan-pertandingan bulu tangkis Olimpiade 2020 Tokyo beberapa waktu terakhir ini.
Valentino yang menjadi komentator pertandingan bulu tangkis yang ditayangkan di Indosiar menjadi bulan-bulanan netizen atas gaya hebohnya itu.
Publik membandingkannya dengan gaya komentator pertandingan yang ditayangkan oleh TVRI yang dianggap jauh lebih edukatif, informatif, dan tidak heboh.
Pada pertandingan yang disiarkan TVRI, komentator memang banyak memberikan informasi-informasi penting terkait bulu tangkis, termasuk istilah-istilah penting seperti netting, pukulan overhead, dsb. Hal yang sangat jarang terjadi pada pertandingan yang disiarkan oleh Indosiar di mana Valentino Simanjuntak menjadi komentatornya.
Memang tak sedikit masyarakat yang suka dengan gaya komentator heboh ala-ala Valentino Simanjuntak karena gaya komentatornya tersebut tak bisa dimungkiri cukup efektif membuat pertandingan menjadi lebih meriah, ramai, dan juga tidak menegangkan.
Namun, bagi penonton yang memang sangat menggemari badminton dan menganggap pertandingan badminton bukan sekadar hiburan semata, gaya komentator heboh dan asal ramai tersebut tentu bukan pilihan yang bagus.
Pada akhirnya, makin banyaknya suara protes dari masyarakat terhadap gaya komentator heboh ini memang menjadi sinyal yang positif, bahwa pertandingan olahraga dinilai semakin penting dan tak lagi dianggap sebagai sekadar siaran hiburan semata.
Hal tersebut juga menjadi bukti bahwa penonton pertandingan olahraga Indonesia tampaknya memang semakin haus bukan hanya akan prestasi, namun juga haus akan edukasi terkait pertandingan termasuk ulasan, analisis, statistik, serta aneka trivia yang tentu saja menambah pengetahuan olahraga.
Dan tentu saja, hal tersebut layak untuk dirayakan, sebab prestasi olahraga suatu negara bisa dimulai dari kesadaran kolektif dan pengetahuan yang mumpuni akan olahraga dari para pengemarnya.
BACA JUGA Emas Greysia Polii dan Apriyani Rahayu Beri Secercah Senyum untuk Indonesia yang Muram dan artikel AGUS MULYADI lainnya