MOJOK.CO – Walau tabu, namun praktik saling meminjam duit antar pasangan baik pacar maupun suami-istri ternyata eksis, ia ada dan berlipat ganda.
“Mas, aku tolong isiin gopay dua ratus ya, aku mau pesen makanan, tapi gopayku habis. Nanti aku ganti,” kata pacar saya suatu ketika.
Sebagai lelaki yang siaga, terampil, lagi trengginas, tentu saja saya langsung bertindak. Saya ambil ponsel saya. Saya buka aplikasi m-banking saya, dan langsung saya isikan gopay untuk pacar saya. Heroik sekali.
Berhari-hari kemudian, di suatu siang yang tampak tenang, ada sesuatu yang mengganjal dalam perasaan saya. Sesuatu yang membuat batin saya bergejolak.
Saya berpikir keras. Kayak ada yang aneh gitu. Hidup saya kayak ada yang kurang. Apakah saya belum salat subuh? Ah, nggak ah. Perasaan tadi jam tujuh setelah saya bangun, saya langsung menunaikan salat subuh, yah, walau waktunya di waktu dhuha, tapi kan tetep saja niatnya salat subuh. Apakah saya belum makan? Ah, nggak juga. Tadi habis salat subuh, saya langsung pesen soto Pak Syamsul. Apa ya?
Setelah merenung keras, akhirnya terjawab sudah pertanyaan saya. Sesuatu yang mengganjal itu ternyata karena pacar saya ternyata belum mengganti uang gopay yang beberapa waktu yang lalu ia janjikan.
Setelah saya tahu penyebab ganjalan batin saya itu, ternyata saya bukannya lega, tapi malah semakin bergejolak.
Kini saya jadi bingung, bagaimana cara menagih uang gopay itu. Haruskah saya tagih? Kalau saya tagih, kok saya jadi tampak sangat materialistis. Masak pacar sendiri minjem duit kok sampai ditagih. Tega betul. Tapi kalau tidak ditagih, rasanya kok semakin ngganjel. Sebab akad awalnya memang pinjam-meminjam. Jadi ada kewajiban harus mengembalikan.
Aduuuuh, pucing pala Agus.
Tapi kali lain, ternyata saya yang tampaknya giliran jadi pelaku kegelisahan. Pacar saya dulu suatu ketika pernah ngomong dengan nada bicara yang sangat penuh dengan kesungkanan.
“Mas, seminggu lalu, kalau nggak salah Mas pinjem uangku kan ya?” katanya. “Kira-kira uangnya sudah ada belum ya? Mau buat tambahan bayar uang kos.”
Bagai dibacok oleh celurit peringatan, saya langsung tersadar kalau saya ternyata punya hutang yang, nilainya lumayan, lima ratus ribu.
“Masya Allah, sori, aku lupa beneran. Aku kembalikan sekarang.” Ujar saya tengsin. Saya pun langsung mengambil ponsel dan segera transfer ke nomor rekening pacar saya.
“Maaf ya, Mas. Tapi aku beneran lagi nggak ada duit. Honor nulis kemarin masih belum cair,” terangnya penuh dengan penjelasan.
“Iyaaa, aku yang harusnya minta maaf.”
Kelak, ketika kami menikah, kami ternyata masih terjebak dalam problematika pinjam-meminjam ini. Maklum, sedari awal, kami sudah sepakat bahwa dalam kehidupan rumah tangga kami, tidak ada status penanggung jawab keuangan pada salah satu dari kami. Kami berdualah yang bertanggung jawab. Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, kami patungan dengan jumlah uang yang sama. Sedangkan sisa uang yang kami punya masing-masing adalah hak masing-masing.
Kebijakan tersebut memang kemudian menghasilkan satu konsekuensi, yakni kami pada satu titik bakal meminjam satu sama lain. Apalagi kalau salah satu dari kami sedang sangat bokek.
Walau saya dan istri saya sama-sama punya pernghasilan, namun ada kalanya, salah satu dari kami mengalami defisit keuangan. Padahal status patungan harus tetap jalan. Dalam kondisi seperti itulah hutang kemudian menjadi solusi.
Pernah saya terpikir, betapa saya merasa bahwa hubungan asmara dan rumah tangga saya kok terasa sangat keterlaluan. Masak suami-istri kok masih saja saling pinjam. Harusnya kan ya diikhlaskan saja. Uang istri bisa digunakan suami, begitu pula sebaliknya.
Namun belakangan, baru saya ketahui bahwa ternyata bukan hanya saya dan istri saya yang begitu. Beberapa kawan dekat saya ternyata juga sama. Mereka terkadang masih suka meminjam uang pasangannya.
Saya seperti mendapatkan kelegaan. Semacam kelegaan kalau ternyata praktik pinjam-meminjam uang ini adalah praktik yang kebangetan, setidaknya saya tidak sendirian. Masih ada banyak pasangan lain.
Pernah saya mencoba membahas hal ini dengan istri saya. Membahas tentang kebiasaan saling pinjam ini. Saya hanya ingin tahu, jangan-jangan, dia sebenarnya keberatan dengan praktik ini, sebab ia jadi merasa cinta kita tidak tulus. Kalau cinta, ngapain masih harus ada hal yang sifatnya transaksional.
Tapi ternyata tidak. Istri saya malah memberikan kesan mendukung. Dia seperti ingin berkata bahwa sebagai suami istri memang sebaiknya sama-sama berdikari. Sama-sama punya kedaulatan atas uang. Sama-sama bekerja.
Urusan cinta itu satu hal, tapi urusan duit, itu hal lain.
“Kamu kok bisa punya punya pemikiran kayak gitu, je?”
“Aku ngikut prinsipnya bapakku?”
“Memangnya apa prinsip bapakmu?”
“Hidup itu rasanya belum menantang kalau nggak punya utang.”
Saya tertawa. Saya bahagia. Saya benar-benar tidak salah memilih istri dan memilih bapak mertua.