MOJOK.CO – Dukungan Tuan Guru Bajang (TGB) kepada Presiden Jokowi tidak sekadar memengaruhi para pendukungnya, melainkan juga perlu dilihat apa alasan politik dari dukungan tersebut.
Hujatan dan tudingan banyak menyasar ke Tuan Guru Bajang (TGB), Muhammad Zainul Majdi, setelah dengan terbuka menyatakan dukungan kepada Presiden Jokowi guna melanjutkan masa kepemimpinan dua periode.
Selain dicoret dari daftar rekomendasi Persaudaraan Alumni (PA) 212, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) ini juga disindir karena mengeluarkan himbauan agar setiap politisi berhenti menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, TGB juga mewanti-wanti agar tidak menyebut lawan politik sebagai “kafir Quraisy” dan berhenti menyamakan Pilpres 2019 dengan “Perang Badar”.
Beberapa pihak yang baper dengan pernyataan sekaligus pilihan politik TGB ini muncul dari politisi PAN, PKS, dan Gerindra. Hal yang patut dimaklumi, sebab TGB sebelumnya adalah salah satu tokoh yang cukup jadi jagoan bagi ketiga partai ini. Jadi pemandangan yang tidak menyenangkan tentu saja melihat sosok yang dikagumi mendadak “putar balik” pada tikungan terakhir. Ibarat sudah mbribik mau lamaran, eh jebul malah pilih calon pasangan lain. Kan sakit.
Meskipun TGB memberikan alasannya mendukung Jokowi, menyebut bahwa akan fair pemeritahan perlu dua periode untuk melanjutkan visi misi kerja selama lima tahun ke belakang, tapi di sisi lain, langkah ini tidak serta merta bisa dibaca cukup di sana saja. TGB memang memberi gambaran, bagaimana dirinya membangun NTB perlu waktu dua periode agar capaiannya sebagai Gubernur bisa terlaksana secara sempurna, tapi sebagai seorang anggota Majelis Tinggi DPP Partai Demokrat langkah ini jelas patut dibaca juga secara hitung-hitungan politik—sebab meskipun TGB seorang ulama, beliau juga seorang politisi.
Hal yang cukup mengejutkan malah muncul dari Partai Demokrat. Partai yang sedang dijajaki salah satu jagoannya, yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk disandingkan dengan Prabowo Subianto, malah mengeluarkan pernyataan yang adem ayem soal pernyataan TGB mendukung Jokowi.
“Kami senang, ini membuktikan bahwa yang namanya keragaman berpendapat itu punya rumah di Demokrat,” ujar Wasekjen Demokrat, Rachland Nashid.
Demokrat selama ini memang dikenal sebagai poros tengah. Tidak begitu dekat dengan pihak koalisi Gerindra, tapi juga cukup berjauh-jauhan sama partai koalisi PDI-P. Sama Prabowo jual mahal, sama Megawati ya nanti dulu.
Dengan AHY yang diwacanakan akan jadi calon wakil presiden untuk Prabowo, lalu TGB yang merupakan kader berpengaruh Demokrat malah mendukung Jokowi, hal ini bisa dibaca Demokrat sedang menjalankan politik dua kaki. Ikut sana, ikut sini. Semua dijajaki untuk melihat siapa yang kira-kira lebih mengutungkan bagi Demokrat.
Seperti yang diketahui, kesetiaan Partai Demokrat pada poros tengah semakin terlihat saat AHY maju sebagai Pilgub DKI Jakarta 2017. Tidak ingin dekat ke PDI-P (dengan cagub Basuki Tjahaja Purnama) pun tidak ingin dekat pula dengan Gerindra (dengan cagub Anies Baswedan). Langkah di tahun lalu tersebut memungkinan Demokrat masih bisa luwes sampai detik-detik akhir Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun depan. Siapa yang kira-kira menguntungkan.
Selain mengenai Demokrat, pilihan TGB kepada Jokowi bisa dipandang sebagai langkah yang berani. Sebab, Demokrat sendiri belum pernah menginstruksikan kepada kadernya untuk berpihak ke salah satu koalisi partai. Tapi, bisa jadi langkah TGB ini adalah semacam bentuk “protes” kepada Demokrat yang malah akan menjalankan politik dinasti dengan memaksakan “sang putra mahkota”, yakni AHY sebagai cawapres.
Mengingat elektabilitas yang belum tinggi, sekaligus kegagalan AHY di Pilgub DKI Jakarta, Demokrat bisa jadi malah terjun bebas untuk Pileg tahun depan jika memaksakan AHY maju. Dengan mendukung Jokowi, yang sudah memiliki pasar suara cukup jelas, maka risiko kerugian Demokrat bisa diminimalisir—daripada menggandeng Gerindra yang masih meracik langkah politik untuk memastikan siapa cawapres untuk mendampingi Prabowo.
Di sisi lain, langkah TGB ini juga bisa diartikan sebagai puncak dari karier politiknya dalam dua sisi. Pertama, mengenai kariernya di Demokrat. Sebagai seorang kader partai yang dimiliki Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Demokrat hampir mustahil melirik TGB untuk dijadikan sebagai jagoan, untuk Pileg tahun depan masih mungkin, tapi untuk Pilpres? Sepertinya mustahul.
SBY tentu lebih memilih untuk memercayakan langkah ke depan partainya kepada AHY, anak sulungnya. Artinya, karier TGB di Demokrat ya mentok. Cuma ada di NTB saja nantinya, dan sulit untuk naik ke panggung nasional.
Kedua, karier politik tertinggi TGB pun juga mentok di NTB. Diangkat sebagai Gubernur NTB sejak 2008, tahun 2018 ini adalah tahun terakhir TGB menjadi gubernur. Sesuai aturan KPU, masa jabatan kepala pemerintahan (baik daerah atau nasional) maksimal cuma dua kali periode. Maka sah-sah saja kemudian jika tahun ini TGB berniat beranjak ke panggung lebih besar.
Pernyataan dukungan kepada Jokowi adalah salah satu langkah permulaan untuk menuju panggung nasional tersebut. Ya masa sekaliber Tuan Guru Bajang mau dibatasi sama Demokrat dan SBY untuk mentok ubek-ubek di NTB saja, kan ya sayang sekali. Ibarat pemain bola kalau sudah moncer di daerah, ya seharusnya kan memperkuat tim nasional, ya nggak? (K/A)