MOJOK.CO – Perempuan (((lagi-lagi))) diibaratkan seperti makanan. Kali ini pengibaratan datang dari Ustaz Felix Siauw, dengan pisang goreng dan lapis legitnya.
Manusia mana yang rela-rela saja jika dijadikan objek? Begitu pula dengan perempuan. Perempuan mana yang bersedia jika keberadaannya hanya sekadar menjadi objek belaka? Bukan dianggap sebagai subjek yang bisa melakukan banyak hal sesuai dengan keinginannya sendiri, sesuai keputusannya sendiri.
Di saat banyak perempuan tengah berusaha keluar dari stigma ‘menjadi objek’ ini, ternyata masih saja ada orang-orang yang dengan mudahnya memberikan pengandaian bahwa perempuan adalah makanan.
Kalau diingat-ingat, perempuan memang cukup sering diibaratkan seperti makanan. Ya dianggap permen yang terbungkus dan telah terbuka lah, seperti ikan asin lah—sehingga sah-sah saja kalau diterkam kucing garong. Hingga yang baru-baru ini ramai dibicarakan, seorang ustaz bernama Felix Siauw, mengklasifikasikan perempuan—dengan begitu mudahnya—menjadi dua, yakni seperti pisang goreng dan lapis legit.
Iya, saya nggak becanda, Felix Siauw memang membagi dua tipe perempuan semudah itu kayak udah males mikir bikin contoh lain. Kalau nggak percaya, ini postingan singkat dan nyelekit Felix Siauw di akun Instagramnya sendiri.
Sebelum semakin merasa sakit hati mendengarkan alasan dari pemisalan itu, saya masih sangat tidak paham: kenapa sih, kok, perempuan diibaratkan seperti makanan?
Apakah para pria yang merasa sangat terhormat itu berpikir, bahwa kehadiran perempuan memang untuk dikonsumsi? Kalau memang betul pola pikir mereka menganggap fungsinya untuk dikonsumsi, mohon maaf, sungguh itu benar-benar menyakitkan sekali.
Coba dipikirkan baik-baik, dari nalar yang mana, sehingga njenengan berpikir, seorang perempuan seakan hanya punya satu fungsi saja—seperti makanan? Bukankah sudah jelas, bahwa makanan memiliki fungsi untuk dimakan, untuk dimasukkan ke mulut dan bla bla bla membuat kita merasa kenyang.
Lha sedangkan perempuan? Apa ya njenengan nggak mikir, kalau kami ini juga manusia, loh. Sama seperti lelaki. Apa ya masih juga nggak paham dengan perannya sehingga ia diciptakan? Iya? Heeh? Oke kalau gitu, kita akan coba membahasnya dari satu hal yang ‘semoga’ masih melekat pada hidup njenengan.
Begini, ini contoh yang sangat mudah, memangnya yang ngelahirin njenengan itu bukan seorang perempuan? Apakah njenengan ini menganggap seorang ibu yang melahirkan hingga membesarkan njenengan—setidaknya sampai bisa bikin postingan di Instagram dan punya banyak follower—hanya sebatas pisang goreng dan lapis legit aja?
Apakah njenengan masih belum mampu melihat ibu kandung sendiri betul-betul sebagai manusia? Yang juga memiliki pikiran, memiliki kepribadian, memiliki kebaikan? Apakah hal-hal semacam ini tidak masuk dalam perhatian dan hitungan?
Saya masih belum juga paham dengan pola pikir yang menganggap baik tidaknya seorang perempuan hanya dari penampilan semata. Hanya sebatas berhijab atau tidaknya dia, kita bisa langsung dengan mudahnya menilai seluruh jalan hidupnya. Dengan mudah merangkum semua proses kehidupannya, semudah menilai isi sebuah buku hanya dari cover-nya saja.
Begini saja lah, coba saja lihat orang terdekat njenengan yang memutuskan tidak berhijab, apa ya kehadirannya betul-betul tidak memberikan manfaat sama sekali bagi lingkungannya? Setidaknya bagi keluarganya?
Berapa banyak perempuan yang tidak berhijab namun ia menjadi tulang punggung bagi keluarganya? Berapa banyak perempuan yang berhasil menciptakan sebuah penemuan baru dan berhasil memberikan manfaat bagi banyak orang? Apakah kalau seperti ini, njenengan masih menganggap bahwa kami adalah makanan?
Di akhir postingan, njenengan menuliskan kalimat semacam ini,
“Buat Muslimah, sekarang pilihan ada pada Anda, mau jadi pisang goreng atau lapis legit? Asal tahu saja, mereka yang punya selera, seperti saya, memilih lapis legit.”
Oke, saya suka sekali—sampai pengin ngeremes karena gemes—dengan kalimat ‘penekanan’, “…yang punya selera, seperti saya…” Sungguh, ini sebuah statemen yang jelas-jelas menganggap perempuan memang nggak perlu punya pikiran.
Lha mbok kira, kami harus hidup sesuai dengan selera njenengan? Memangnya situ betul-betul yakin kalau kami akan selalu ‘berselera’ pada orang-orang seperti njenengan? Mohon maaf nih, kami juga punya pikiran dan itu artinya kami juga punya kemampuan untuk menentukan selera kami sendiri. Kami bukan sekadar makhluk yang bisa dipilih-pilih, loh. Namun, kami juga punya otoritas untuk menentukan pilihan kami sendiri.
Ngomong-ngomong, Ustaz, daripada njenengan terus menerus membahas perempuan sebatas berhijab atau tidaknya dia, ataupun perkara pernah atau tidaknya ia berpacaran. Bukankah akan lebih baik njenengan membahas hal-hal lain yang betul-betul lebih berguna bagi kemaslahatan umat? Biarkan perkara tadi menjadi urusan masing-masing individunya. Njenengan tidak perlu capek-capek ikutan ngurusi.
Oh ya, perkara pisang goreng dan lapis legit tadi, tenang saja, saya bukan orang yang pendendam, kalau misalnya njenengan masih berkenan mengubah pengklasifikasian yang sangat sempit dan dangkal itu, tentu saja kami akan menyambutnya dengan baik.
Toh, rasa-rasanya contoh yang dangkal itu tidak sebanding dengan kedalaman ilmu njenengan. Saya masih berpikir, bahwa pengklasifikasian ini hanya karena njenengan sedang lelah soalnya nggak kebagian—literally—lapis legit dalam sebuah perjamuan.