MOJOK.CO – Lini masa Twitter sungguh menyenangkan belakangan. Rasanya semua akun jadi peduli literasi. Tapi begini, kalau problemnya adalah memperdebatkan jasa merangkai kata yang dilakukan selebtwit sebaiknya jangan kaget, namanya juga usaha.
Seteru jasa merangkai kata dimulai dari tuduhan yang dialamatkan kepada selebtwit bahwa jasa membuat caption dan ucapan yang selama ini dilakukannya adalah bentuk kemiskinan dan kemalasan generasi. Wow, generasi lho. Tapi maaf ya tulisan ini no mention, Nga mau tubir, cape.
Tidak lama kemudian si selebtwit memberikan sebuah pembelaan yang disambut riuh oleh netizen haus keributan. Isinya adalah sepucuk surat manis soal rintisan bisnis merangkai kata dan sanggahan yang diakhiri dengan kalimat menohok. Ternyata selebtwit yang disalah-salahin juga beli bukunya si onoh…. Remuk!
Tapi kalau pembahasannya melebar ke literasi kayaknya kejauhan. Begini, saya akan memberikan contoh dari dua film yang juga mewakili dua generasi biar kita paham betul hakikat jualan kata-kata.
Film pertama, Before Sunrise (1995). Film ini menceritakan kegilaan dua orang tidak saling kenal yang bertemu di kereta lalu memutuskan jalan-jalan bareng saking randomnya. Saat menyusuri sungai di Wina, mereka bertemu seorang pengamen yang tidak membawa gitar, tapi menawarkan jasa pembuatan rangkaian kata-kata dalam puisi. Berkat puisi ini dua orang asing tersebut tersentuh dan memberikan recehan.
Apa yang pengamen ini lakukan? Menjual jasa merangkai kata.
Film kedua, Her (2013). Scene pembuka film ini sudah membuat orang-orang tercengang karena menggambarkan seperti apa bisnis jasa rangkai kata di masa depan. Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) adalah seorang karyawan yang bekerja untuk membuatkan sepucuk surat ucapan hari jadi yang dipesan oleh seorang istri dan ditujukan kepada suaminya. Berdasarkan riset dan informasi yang diberikan client, Theodore menghasilkan kata-kata yang menyentuh dan terasa begitu tulus, ini adalah bakat yang nggak semua orang punya.
Apa yang Theodore lakukan? Menjual jasa merangkai kata.
Bikin buku, bikin novel, antologi puisi pun, pada dasarnya menjual jasa merangkai kata. Termasuk apa yang sedang saya lakukan ini. Bahkan kalau kalian tinggal di Jogja, mungkin sudah tidak asing dengan Puisi Seketika yang mampu merangkaikan puisi spontan untukmu, untuk temanmu, untuk pacarmu, atau untuk mbak-mbak lucu yang kalian temukan di FKY. Mantap kan?
Tanpa perlu menyinggung era disrupsi, kata-kata memang sejak dulu sudah mengalami komodifikasi. Kemasannya saja yang berbeda. Ibarat mi dok-dok, bisa bikin sendiri tapi orang-orang lebih suka buatan aa burjo karena lebih enak. Jadi Mz dan Mb yang menyerang mohon santae aja, bosq.
Sebenarnya nggak ada andil perubahan zaman dalam kaget jamaah menyoal penjualan kata-kata. Karena contohnya sudah ada, dari film yang kebanyakan dinikmati boomer sampai film yang katanya romance sience fiction keduanya menganggap kata-kata layak dijual. Kalau mendebat karena ‘itu kan cuma film’, lama-lama saya kuliahin konsep representasi dan realitas film sekalian nih.
Perihal kedua pihak yang diserang dan menyerang sama-sama memanfaatkan ini sebagai panggung, ya monggo. Mungkin di era ini kita sedang menghadapi sebuah komodifikasi keributan di mana pertengkaran yang diperjualbelikan. Sorak sorai netizen semakin berharga, maka jangan berhenti berkicau, wahai saudara-saudariku.
BACA JUGA Menyebalkannya Book Snob yang Lebih Literasi dari Literasi Itu Sendiri atau artikel lainnya di POJOKAN.