MOJOK.CO – Jika mau contoh terbaik dari golongan overthinking, maka tak ada contoh paripurna selain anggota DPR RI. Ada RUU susah dibahas? Tareeek aja, Mang.
Masalah di sekitar kita itu kayak hantu. Seram, nakutin, bikin kita nggak mau deket-deket, dan kadang-kadang baunya tengik.
Kayak kamu yang sedang diburu masa studi padahal bayangan belum punya judul skripsi. Pikiran melayang ke sana kemari. Lalu kamu mikir setengah mampus cari solusi sendiri, sedikit keceplosan curhat di medsos, disamber netijen. Bukannya kelar, malah jadi twitwar.
Itu salah satu yang terjadi dengan orang dengan kecenderungan overthinking. Suka mikir berlebihan, puyeng sendiri karena kelewat takut mau eksekusi.
Kalau kamu mau dapat contoh terbaik dari golongan overthinking, maka tak ada contoh paling paripurna selain anggota DPR RI. Ada RUU PKS yang susah dibahas? Ya udah deh, tarik aja. Nggak usah dibahas.
Studi di Universitas Michigan, Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian soal overthinking ini. Di sana disebutkan bahwa 7 dari 10 orang pada usia 25-35 tahun, punya kecenderungan overthinking. Membesar-besarkan masalah sepele atau emang punya masalah besar, tapi ogah diselesaikan karena ketakutan duluan.
Masih dari studi yang sama, overthinking jebul juga terjadi pada 6 dari 10 orang pada golongan usia 45-55 tahun.
Barangkali kamu bertanya, lah kalau gitu mereka yang digolongkan usia 17-24 tahun ke mana? Emang mereka nggak overthinking juga? Kan mereka lebih labil.
Oh, sayangnya, pada usia segitu kebanyakan remaja dan pemuda lebih spontan dalam bertindak. Jadi overthinking jarang ditemukan pada usia segitu. Yang ada ya justru action dan action. Kadang sampai nggak sempet mikir malah.
Sebentar, emang apa sih yang menyebabkan orang bisa overthinking?
Pertama, karena mikir risiko yang kelewat canggih. Mau usaha ternak lele misalnya, tapi takut dikecengin karena kebetulan kamu lulusan jurusan filsafat. Nggak jadi. Mikir skenario terburuk padahal belum kejadian. Lalu mikir. Depresi sendiri. Mutung.
Padahal kolam belum dibikin, bibit lele belum dibeli, pakan belum survei, bahkan kadang beli buku soal panduan budidaya lele pun belum, tapi pikiran sudah melayang kalau gagal panen gimana, kalau nggak ada yang beli gimana.
Hal-hal yang bisa dipelajari, tapi malah dipikir. Dipikirin doang tapi ya.
Kedua, bukannya terbayang risiko di depan, namun yang ada justru analysis paralysis. Memikirkan sesuatu secara berulang-ulang tanpa menemukan solusi. Sebenarnya ada solusi, tapi selalu cari yang paling enteng. Akhirnya? Macet mampus dan buang-buang energi.
Buat kamu yang merasa begitu, ini ada satu kredo yang lumayan bisa memancing untuk jadi orang yang nggak gampang overthinking, bahwa… “masalah itu dibayangkan semakin menakutkan, tapi kalau dikerjakan ya bakal selesai juga.”
Kayak kamu mencoba untuk kenalan ke seseorang yang kamu taksir. Takut, nggak percaya diri. Tapi kamu tahu, kalau kamu nggak memulai ya sama aja boong. Mau pacaran sama wacana apa gimana ceritanya? Mau kenalan aja sampai perlu terinspirasi penantian Liverpool juara liga. Keburu punya anak tiga, Cuuuk.
Padahal ketakutan itu muncul dari kita sendiri, dan perasaan ketakutan itu bisa berjalan sepanjang durasi kita enggan mengeksekusi. Bedanya, ketika kita mau mengeksekusi untuk mengerjakannya, ketakutannya emang memuncak, tapi cuma bentar doang lalu selesai. Sak ucrit.
Perkara akhirnya muncul masalah berikutnya (ditolak misalnya), ya paling tidak ketakutan itu sudah sirna dan berganti ke ketakutan yang lain. Fix jadi jomblo lagi, misalnya. Tapi kan yang penting ketakutan yang tadi udah ilang sepenuhnya.
Hal semacam ini emang terlihat sederhana tapi sangat tidak mudah. Soalnya, kalau kredo ini diartikan ke ranah ekstrem, jatuhnya bisa jadi sembrono. Artinya, “dikerjakan terus selesai” di sini ya tetep pakai perhitungan. Jadi jangan ditafsirkan juga sebagai pembenaran untuk aksi nekat.
Kalau mau contoh terbaik untuk menyederhanakan kredo ini, kita bisa berkaca dari status seorang senior, Mas Doktor Abdul Gaffar dengan penjelasannya soal sosialisme, kapitalisme, dan Pancasila yang sangat nggatheli.
“Mengapa kapitalisme unggul atas sosialisme?
Salah satu penyebabnya adalah: orang sibuk mengembangkan sosialisme sebagai DOKTRIN, saat kapitalisme berkembang di ranah PRAKTIK.
Pengembangan Pancasila selama ini lebih banyak mengikuti cara pertama.”
Dyar, bosque. Baru sadar ya, jebul kita ini udah overthinking sejak dari ideologi negara.
BACA JUGA Menghadapi Persoalan Hidup Dengan “Dipikir Karo Mlaku”, “Sing Penting Yakin”, dan “Mbuh Piye Carane” atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.