Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Klitih Adalah Soal Kesenangan, Orang Tua Membosankan Mana Paham

Kini, klitih adalah sebuah “olahraga” bagi gerombolan brengsek. Korbannya random.

Yamadipati Seno oleh Yamadipati Seno
3 Januari 2022
A A
Klitih Adalah Sebuah Kesenangan, Orang Tua Membosankan Mana Paham MOJOK.CO

Ilustrasi klitih Jogja (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Mari berpikir seperti pelaku klitih. Berpikir dua arah. Jangan berpikir satu arah dan maunya menggurui. Kejahatan berkembang, kita masih terbelakang.

Senin (3/1) pagi, saya menemukan satu tulisan bagus soal klitih yang tayang di Kedaulatan Rakyat. Penulisnya adalah Bernardo J. Sujibto, seorang Dosen Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN-SUKA). Beliau memberi judul begini: “Yogyakarta Darurat Klitih?”

Tulisan Pak Bernardo enak sekali dibaca. Kalimatnya pendek-pendek. Paragrafnya pas. Isinya juga daging semua. Sangat cocok menggambarkan kondisi klitih di Yogyakarta yang memang semakin memprihatinkan. Terakhir, pelaku klitih tertangkap di dekat Tugu. Bayangkan, si pelaku hendak beraksi di sekitar daerah ramai. Warga dan polisi bertindak cepat mengamankan pelaku.

Untuk mencari akar dari sebuah aksi kejahatan ini, diperlukan sebuah pemahaman dari sisi pelaku. Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa klitih terjadi karena hal-hal negatif yang mengiringi. Pak Bernardo menulis seperti ini:

“Problem klitih memang tidak tunggal. Mereka adalah ‘produk’ dari sistem sosial yang makin terisolasi dan terfragmentasi di tengah kondisi urban Yogyakarta. Secara sosiologis, kondisi seperti ini bisa dibaca sebagai konsekuensi logis bagi masyarakat urban yang tidak mempersiapkan sistem integrasi sosial yang baik. Kehidupan sosial masyarakatnya semakin sporadik, mengalami anomali di banyak sisi, terutama karena faktor ekonomi dan kesejahteraan.”

Kalimat yang bagus sekali. Saya agak setuju dengan kalimat Pak Bernardo. Namun, di bagian kalimat terakhir, saya agak menggerutu. “Kok gitu, sih, Pak?”

Pak Bernardo melanjutkan, “Kita mungkin belum punya data secara profiling, dari keluarga apa mereka ini berasal? Tetapi, dari kecenderungan umum bisa ditangkap: lahir dari keluarga di mana nilai-nilai integrasi sosialnya lemah, karena faktor sejarah kekerasan, broken home, terkucil secara pendidikan, ekonomi, dan tentu saja agama.”

Kali ini bukan agak lagi, saya nggak setuju sama pendapat Pak Bernardo….

Pendapat Pak Bernardo bukannya salah. Masalahnya adalah, kalimat Pak Bernardo di atas sendiri sudah kontradiktif. Kalau memang belum ada data secara profiling, bagaimana bisa Pak Bernardo mengambil kesimpulan soal latar belakang keluarga? Bukankah itu prematur?

Saya mencoba memahami jalan pikiran Pak Bernardo. Mungkin saja, Bapak menggunakan data-data kenakalan remaja pada umumnya. Tentang broken home, keluarga miskin, tidak terpapar pendidikan, dan lemah soal agama itu bukan latar belakang klitih, sebagai fenomena yang mengalami pergeseran sifat.

Pak Bernardo, klitih adalah sebuah aksi kejahatan yang sudah bersalin muka. Dulu, korbannya targeted, laki-laki yang jalan sendiri di tengah jalan. Kalau random, masuknya ke begal. Pak Bernardo sudah menuliskan kondisi ini di dalam tulisan, kan….

Kini, klitih adalah sebuah “olahraga” bagi gerombolan brengsek. Korbannya random. Yang membedakan klitih dengan begal hanya tujuannya. Wujudnya sudah sama. Selain itu, mereka yang terlibat klitih tidak benar kalau berasal dari keluarga miskin dan broken home.

Pak Bernardo bisa menyimak pengakuan mantan pelaku klitih yang tayang di YouTube Mojok pada Senin (3/1) sore. Banyak anak orang kaya, sekolah di lingkungan bagus, keluarganya sejahtera dan bahagia.

Nah, sampai di sini, ada satu aspek yang sering dilupakan oleh masyarakat dan orang terpelajar yang mencoba menganalisis serba-serbi klitih. Aspek yang saya maksud, di samping faktor lingkungan, adalah aspek kesenangan. Klitih adalah sport yang menyenangkan bagi mereka.

Iklan

Remaja pelaku klitih mendapatkan semacam ekstasi dari perbuatan mereka. Rasa manis dan enak luar biasa yang tidak mereka dapatkan dari lingkungan sejahtera dan bahagia. Adrenalin rush itu candu, Pak dan Bu. Kenapa saya tahu? Karena adik sepupu saya adalah mantan tukang gebuk yang sudah mirip klitih zaman dulu.

Dia berasal dari keluarga yang cair, berkecukupan secara keuangan, dan sangat terbuka. Namun, dia terjebak di tengah lingkungan yang negatif. Sayangnya, dia mendapatkan kesenangan dari sana. Fun. Bebas menjadi seseorang yang diakui oleh banyak orang.

Jangan remehkan aspek kesenangan ini, ya….

Dengan merasa fun, anak muda akan lebih cepat menyerap sesuatu. Termasuk beragam rupa budaya. Kalau ngomongin budaya itu terlalu tinggi, kita ngomong soal aktivitas belajar, deh. Bukankah menyerap sebuah ilmu jauh lebih gampang kalau kita merasa fun? Sesederhana itu soal klitih.

Karena mendapatkan kesenangan ketika melakukannya, para anak muda ini lebih mudah menyerap budaya negatif itu. Apalagi mendapatkan apresiasi yang mungkin tidak mereka dapatkan dari keluarga yang (terlihat) harmonis.

Masalahnya adalah, budaya positif yang selalu coba dikampanyekan pemerintah atau pamong lingkungan itu sudah terlalu membosankan. Contohnya sederhana, yaitu budaya jam belajar. Pukul 07.00 sampai pukul 09.00 jadi semacam jam wajib bejalar. Belajar selama dua jam itu membosankan. Terlalu lama pula. Otak udah nggak bisa konek selepas 30 menit.

Contoh yang lebih kompleks adalah usaha menjaga budaya luhur lewat kesenian. Semuanya bersifat satu arah. Anak muda tidak lagi mendapatkan nilai seperti dulu dari sebuah kampanye membosankan. Zaman berubah, tapi pendekatan budaya masih gitu-gitu aja.

Anak-anak di bawah 15 tahun masih bisa diajak belajar joget tradisional. Keponakan saya antusiasi sekali. Namun, untuk usia krusial, antara 15 sampai 19 tahun, rasanya sangat kering. Mereka yang berada di usia ini mendapatkan kesenangan yang lebih nyata, lebih dekat, dan lebih mudah dipahami. Sayangnya, yang mereka serap adalah budaya klitih dan kekerasan jalanan.

Merangkul mereka bukan dengan hukuman keras dan aksi jalanan oleh masyarakat. Merangkul mereka harus dimulai dari lingkaran budaya paling kecil, yaitu keluarga dan lingkungan. Di sini, pemerintah harus tanggap menangkap napas zaman. Bukan dengan denial dan menyerahkan semuanya kepada polisi.

Bisa dibilang, polisi adalah eksekutor. Namun, yang akan menentukan nasib klitih adalah pemerintah sebagai konseptor. Harus sangat telaten melihat perkembangan dan pola pikir remaja saat ini. Lha wong bekerja keras saja belum tentu klitih bisa beres, apalagi dengan tidak bertindak.

Bikinlah konsep pengenalan budaya yang asyik. Lakukan secara masif dan konsisten karena pemerintah akan head to head dengan penyebaran budaya klitih yang sangat asyik dan terjadi hampir tiap jam itu.

Saat ini, segala dugaan dan analisis sebetulnya sangat prematur. Klitih sudah tidak lagi seperti dulu. Namun, kita masih berkutat di tesis lama; keluarga broken home, kemiskinan, pendidikan rendah, agama lemah, dan lain sebagainya.

Hal-hal di atas sudah nggak laku lagi buat anak muda. Mereka senang dengan hal-hal dinamis, hal baru, menantang, secara instan memberi pengakuan yang jarang diucapkan oleh orang tua khas Asia kepada anaknya, hingga memberi kesenangan dan dorongan adrenalin.

Mari berpikir seperti pelaku klitih. Berpikir dua arah. Jangan berpikir satu arah dan maunya menggurui. Kejahatan berkembang, kita masih terbelakang.

BACA JUGA Klitih Jogja, Ancaman untuk Citra Jogja yang Sebetulnya Sudah Koyak dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Terakhir diperbarui pada 3 Januari 2022 oleh

Tags: broken homejogja tidak amankenakalan remajaklitih adalahklitih jogjasebab klitih
Yamadipati Seno

Yamadipati Seno

Redaktur Mojok. Koki di @arsenalskitchen.

Artikel Terkait

Para pembicara di “Sarasehan” dengan tajuk Generasi Emas: Mengenal Akar Kenakalan Remaja dan Solusinya yang diadakan oleh Al Kahfi Cabang Surabaya 3. MOJOK.CO
Kilas

Miris Melihat Remaja Terjerumus dalam Jurang “Kegelapan”, Yayasan Al Kahfi Ajak Ratusan Pelajar SMA Surabaya Menemukan Jati Diri

13 Agustus 2025
Kenakalan remaja di Petemon Surabaya semakin marak. MOJOK.CO
Mendalam

Ironi Kenakalan Remaja di Surabaya, Haus akan Eksistensi Diri dan Mulai Meninggalkan “Petuah” Tuhan sebagai Kompas Hidup

12 Agustus 2025
Nestapa Perintis bukan bocil pewaris dari Keluarga Broken Home: Saat Sudah Besar dan Bisa Bangun Bisnis Sendiri, Masih Harus Jadi Generasi Sandwich. MOJOK.CO
Ragam

Nestapa Perintis dari Keluarga Broken Home: Jatuh Bangun Bikin Usaha dan Masih Harus Menanggung Keluarga

31 Juli 2025
game clash of champions ala ruangguru. MOJOK.CO
Mendalam

Rakyat Jelata Tak Bisa Gembira dengan Pertunjukkan Clash of Champions, Cuman bikin Kesal Anak Broken Home yang Suka Adu Nasib

10 Juli 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.