MOJOK.CO – Perempuan tidak suka dikomentari orang lain kalau badannya gendutan. Namun, ia justru melakukannya pada dirinya sendiri.
Hai perempuan-perempuan kesayangan saya. Saya yakin pasti diantara kamu-kamu sekalian, pernah mengomentari tubuhmu itu, gendutan! Misalnya dengan bilang,
“Aku kelihatan gendutan nggak sih, pakai baju ini?”
“Habis makan pancake ini, nanti aku pasti gendutan deh!”
Kalimat-kalimat semacam ini tidak hanya dikatakan oleh mereka yang memang benar-benar gendut. Namun banyak juga perempuan yang badannya sudah nyata kurus, tetap saja mengungkapkan hal serupa. Pernyataan sepele ini sepertinya sangat sering diungkapkan oleh perempuan. Setidaknya kepada dirinya sendiri, lebih jauh lagi kepada orang lain. Ngomong-ngomong, ini kenapa, sih?
Padahal, pada dasarnya, perempuan tidak suka jika dikomentari tentang anggota tubuhnya. Katanya itu namanya body shaming. Nah, tapi mengapa justru banyak perempuan yang melakukan hal tidak menyenangkan tersebut kepada dirinya sendiri?
Iya, saya memahami, bahwa sebenarnya pernyataan atau pertanyaan itu sering kali hanya keluhan belaka. Jika kemudian diungkapkan di depan orang lain, jawaban yang betul-betul dibutuhkan dari hati yang terdalam adalah: kamu nggak gendutan, kok.
Udah, ngaku aja. Kita butuh jawaban itu untuk melegakan kegalauan kita itu, kan? Pasalnya, pada dasarnya, kita hanya sedang mencari simpati dari orang sekitar, kan?
Komentar-komentar semacan itu memang menjadi wajar. Padahal, lebih jauh, hal ini dapat memberikan dampak negatif bagi kita. Seperti halnya body shaming yang nggak seharusnya kita lakukan pada orang lain, diri kita juga tidak berhak untuk mendapatkan pernyataan tersebut.
Jika hal semacam ini dilakukan secara terus-menerus, bukankah justru akan memunculkan ketidakpuasan dalam diri kita sendiri? Nah, kalau begini, lalu bagaimana caranya kita dapat berbahagia dengan paripurna?
Saya memiliki seorang teman yang menurut saya badannya itu nggak gendut. Hanya saja, pipinya memang terlahir chubby. Ketika itu kami bertemu, kemudian selfie dan mengambil foto beberapa kali. Setelah melihat hasil fotonya, ia bertanya kepada saya, “Aku gendutan, ya?”
Saya hanya terdiam menatapnya lekat-lekat. Pikiran saya berkecamuk, ingin saya katakan keras-keras di telinganya, “Woy, tulang tanganmu aja sudah hampir kelihatan gitu, kamu bilang gendutan? Itu memang dasarnya pipimu aja yang chubby dari lahir!!!111!!!”
Namun saya urungkan mengungkapkan demikian. Berusaha menjaga perasaan sesama perempuan. Saya memilih mengecek hape dan melihat hasil foto lainnya. Mengabaikan apa yang dia katakan. Takut, jika saya memaksa untuk berkomentar, dia akan katakan, “Kok aku kurus banget ya.” Terus sedih, merasa dirinya semakin tidak sempurna. Halah.
Pernyataan yang dianggap wajar itu, dapat memberikan dampak yang lebih parah. Jika sebenarnya, kita mengungkapkan hal tersebut hanya untuk mencari simpati. Eh, ternyata si orang yang bersangkutan ini nggak peka. Kemudian, beneran dijawab, “Iya kamu memang gendutan!”. Nah, kapok nggak tuh! Diiyain kalau kita emang gendutan, stres beneran kan jadinya! Eh.
Selain itu, yang semakin menjengkelkan dari hal ini, adalah mengatakannya di depan perempuan lain, yang jelas-jelas lebih gendut dibandingkan kita. Percayalah, sungguh itu sangat teramat menyakitkan.
Saya sangat sering mengalami hal ini. Bisa-bisanya, teman perempuan saya yang jauh lebih kurus dibanding saya, merasa kalau tubuhnya itu gendut. Ya Allah, apa maksudmu, Mbak? Apa?!!! Kalau kamu aja nganggep badanmu itu gendut, terus aku apa, Mbak?!?!!!
Oleh karena hal ini, saya yang awalnya nggak merasa bermasalah dengan berat badan, jadi ikutan kepikiran. Ya mau gimana lagi, membicarakan kegendutan itu menular. Ketika perempuan bergerombol dan ada satu oknum yang membicarakan hal tersebut, secara tidak langsung akan menjadikan orang lain juga melihat dirinya sendiri. Menilai dirinya sendiri. Yang sebelumnya nggak terlalu mempedulikan berat badan, jadi ikutan memikirkan hal yang sama.
Ngomongin berat badan itu bikin emosi, Mbak. Dan emosi itu mudah menular. Mudah menular! Menular yang menyakitkan~
Apa? Pernyataan itu untuk mengawali ajakan berolahraga?
Hmmm, mending kita memulainya dengan kalimat lainnya aja, deh. Misalnya, “Badanku rasanya kaku, ya. Sepertinya aku kurang gerak. Maukah kita berolahraga bersama, supaya anggota badan kita tak lagi kaku dan menjadi lentur semacam pemain akrobat?”
Bukankah ini terdengar lebih nyaman di telinga?
Selain itu, akan lebih baik lagi, jika kita tidak menanyakan, “Sayang, aku gendutan ya?” ke Mas Pacar.
Mengapa? Begini loh, apa ya, kita nggak kasihan dengan Mas Pacar yang harus berpikir keras untuk menemukan jawaban yang jitu supaya tidak terjadi kesalahan dalam menjawab, yang dapat berujung pada pertengkaran nggak mutu?
Kalau dijawab ‘nggak’ plus bonus pujian tipis-tipis, dikiranya bohong dan mengada-ada. Tapi, kalau diiyain, Mas Pacar dianggap jahat dan kejam. Lah? Gimana, sih?
Kasihan mereka, Mbak. Mari hentikan pertanyaan penuh siksa tersebut untuk mengurangi beban hidupnya. Biarlah beban hidup terberatnya adalah bagaimana mendapatkan kalimat Winner Winner Chicken Dinner. Tolong, jangan ditambah lagi. Bukankan perempuan adalah makhluk yang memiliki empati tinggi? Maka, pahami juga beban para lelaki.
Untuk para Mas-mas Pacar, kalau tiba-tiba mbaknya menanyakan pertanyaan itu, sudahlah. Lebih baik pura-pura nggak denger, sok-sokan nerima telepon, atau lebih baik tiba-tiba kebelet pipis. Percayalah, dijawab dengan jawaban apa pun, yang penuh pujian sakti mandraguna sekalipun, tidak akan membantu. Ujung-ujungnya, dia pasti ngambek.
Ngomong-ngomong Mbak. Jangan lagi mau dibohongi sama iklan-iklan penurun berat badan yang tersebar di berbagai lini media sosial itu. Yang konon katanya, penampilan dambaan hanya bisa didapatkan dengan berat badan ideal. Percayalah, kita tetap dapat berbahagia dengan diri kita sendiri. Jangan terlalu percaya dengan mereka. Mereka jualan, Mbak. Mereka jualan!11!!
Lagian menjadi gendut juga nggak dosa, kok. Tidak masalah jika berat badan kita tidak sesuai kata mereka. Bukankah yang terpenting adalah menjadi sehat dan berbahagia? Serta inner beauty akan terpancar dengan sendirinya?
Eh bentar, apa sebetulnya, karena saking penginnya kurus, akhirnya Mbak memilih untuk membuat diri sendiri stres? Supaya badan dapat kurus dengan sendirinya? Tapi kalau ternyata Mbak adalah tipe orang yang kalau lagi stres, malah makan dengan tidak terkontrol? Gimana?