Rasanya tak ada yang lebih menyebalkan dan memuakkan saat membaca berita tentang Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke-14 masa sidang IV pada Selasa, 19 Maret 2019 lalu.
Rapat paripurna yang membahas beberapa agenda, termasuk agenda pembahasan RUU Pertembakauan, RUU Larangan Minuman Berakohol dan RUU Daerah Kepulauan tersebut menurut pantauan Tempo hanya dihadiri oleh 24 orang. Ya, 24 orang. Padahal jumlah anggota DPR kita 560. Sebuah angka kehadiran yang bahkan tidak menyentuh 5 persennya.
Hal tersebut tentu saja bukan yang pertama kalinya. Dalam rapat-rapat sebelumnya, kondisinya tak jauh berbeda.
Lihat, bahkan untuk sekadar datang, duduk, diam, tanpa harus menyimak isi rapat pun mereka nggak sanggup. Kurang bajingan bagaimana lagi mereka ini.
Soal kehadiran, mereka busuk. Soal kinerja? Tak kalah busuknya. Dari 50 UU yang ditargetkan untuk diselesaikan, mereka hanya bisa menyelesaikan 5 UU. Eh, kalau yang ini masih mendingan, ding, soalnya setidaknya bisa mencapai 10 persen dari target.
*Mendingan ndiasmu…
Yang paling bikin sedih adalah, orang-orang pemalas yang bahkan untuk sekadar duduk manis dan menghadiri rapat saja tak sanggup itu ternyata banyak yang mencalonkan diri lagi.
Data yang ada menyatakan bahwa 94 persen anggota DPR sekarang ini maju lagi di Pileg 2019 mendatang. Dan dengan pengalaman bertanding (bukan pengalaman bekerja) di pemilu pada masa sebelumnya, besar kemungkinan, banyak dari mereka akan terpilih lagi.
Sebagai rakyat yang secara politis punya hak untuk memilih namun secara kodrat politik hanya bisa manut dan pasrah, kita sejatinya memang punya (walau sedikit) opsi yang walaupun mungkin terdengar mustahil, tapi tetap layak untuk dicoba dalam memperbaiki kondisi parlemen kita.
Satu dari sekian opsi tersebut adalah memilih para caleg dari partai kecil yang besar kemungkinan tak akan lolos dalam ambang batas parlemen.
Parlemen kita dipenuhi oleh wakil-wakil legislatif dari partai-partai besar yang memang punya kultur turun-menurun. Mereka pula yang selama ini menurunkan budaya mbolos sidang dan budaya tak becus bekerja.
Hasil survei Litbang Kompas 22 Februari-5 Maret lalu menunjukkan tujuh partai politik peserta pemilu terancam tak lolos ke Senayan untuk mendapatkan kursi DPR RI.
Tujuh partai tersebut adalah Hanura, PBB, PKPI, Perindo, PSI, Berkarya, dan Garuda.
Beberapa partai kecil (baik partai baru maupun lama) yang diprediksi tak lolos ke senayan di atas boleh jadi memang tak menawarkan kebaruan. Namun setidaknya, pergantian dominasi tentu saja bisa memberikan sedikit penyegaran.
Kita butuh orang-orang baru yang belum sempat kebagian warisan budaya mbolos. Dan tentu saja orang-orang seperti itu bisa dengan mudah ditemukan di partai yang memang di periode sebelumnya tidak punya kursi di Parlemen.
Toh, punya kans yang kecil untuk lolos nyatanya malah bisa membuat beberapa partai kecil di atas kemudian menunjukkan sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh siapa saja yang bergelut di dalam politik: blak-blakan.
PSI, misalnya. Melalui ketua umumnya, Grace Natalie, PSI berkali-kali tanpa tedeng aling-aling menyatakan anti-poligami. Dalam kesempatan yang lain, ia juga dengan berani menyindir PDIP dan Golkar, sesama partai koalisi, dalam isu tentang maraknya peraturan daerah diskriminatif seperti perda-perda berbasis agama.
“Silakan baca The Politics of Shari’a Law yang ditulis Michael Buehler, Guru Besar Ilmu Politik Nothern Illinois University, yang dari penelitiannya menyimpulkan bahwa PDI Perjuangan dan Golkar terlibat aktif dalam merancang, mengesahkan, dan menerapkan 58 Perda Syariah di seluruh Indonesia. Penelitian Robin Bush juga menyimpulkan hal yang sama,”ucap Grace dalam sebuah pidato politik berjudul ‘Beda Kami, PSI dengan Partai Lain’ beberapa waktu yang lalu.
PBB pun demikian. Melalui ketua umumnya, Yusril Ihza Mahendra, PBB dengan blak-blakan mengatakan dengan jujur bahwa arah dukungannya kepada Jokowi adalah murni demi kepentingan partai.
Yusril, dalam sebuah wawancara bersama Medcom.id mengatakan bahwa PBB harus fokus di jalur Pileg, bukan Pilpres. Yusril dengan berani mengatakan partainya mendukung Jokowi karena itulah langkah yang paling memungkinkan untuk tetap bisa memperpanjang harapan partai, bukan karena merasa punya visi yang sama dengan Jokowi.
Dua contoh sikap tanpa tedeng aling-aling yang ditunjukkan oleh dua pemimpin partai kecil di atas rasanya bisa menjadi pertimbangan tersendiri, bahwa partai kecil seperti PSI dan juga PBB layak untuk diberi kesempatan.
Caleg calon koruptor yang hanya berniat untuk cari duit tentu akan lebih memilih mencalonkan diri melalui partai yang sudah mapan, partai yang tentu punya kans untuk lolos ke parlemen. Bukan melalui partai yang kemungkinan lolos ke Senayannya kecil.
Dari situ saja sudah bisa diihat, betapa menggunakan hak pilih untuk memilih caleg-caleg dari partai kecil adalah salah satu cara paling minimal untuk memperbaiki kondisi politik yang kotor dan menyebalkan.
Dan lagi, kalau partai-partai kecil nanti bisa lolos ke senayan, maka perjuangan untuk menurunkan ambang batas parlemen tentu akan semakin menguat. Hal tersebut kemungkinan akan berpengaruh juga pada perjuangan menurunkan presidential threshold. Jika presidential threshold bisa diturunkan, misal dari 20 persen ke 10 persen, maka nantinya akan ada banyak calon presiden yang bisa bertarung. Bukan hanya dua seperti sekarang ini sehingga polaritas politik akan menjadi semakin berkurang.
Nah, kalau ternyata nanti kita pilih caleg dari partai kecil, dan ternyata ia lolos, dan ternyata ia korupsi atau sering mbolos, gimana?
Itu urusan dia dengan Tuhan. Urusan kita sebagai rakyat hanyalah berusaha. Dan itu yang sudah kita lakukan. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.