MOJOK.CO – Anosmia menjadi gejala yang paling khas dari kasus positif corona.
Saya adalah tipikal orang yang agak benci untuk menyebut istilah-istilah medis. Bahwa ini hanya sebatas sugesti saja, bisa jadi sangat mungkin. Namun dengan tidak menyebut istilah-istilah medis, saya jadi merasa optimis bahwa saya bakal senantiasa dijauhkan dari gangguan-apa pun yang ada hubungannya dengan dunia medis.
Saya sering mengalami gangguan tidur, saya tak bisa menyangkal hal itu. Kendati demikian, saya kerap tak mau menggunakan istilah insomnia, istilah yang kerap sekali digunakan oleh kawan-kawan saya untuk menyebut ganggaun tidur. Penggunaan istilah insomnia bagi saya memang membuat gangguan tidur saya jadi terasa lebih gawat.
Ini sama simpelnya seperti penyakit gondongan yang terdengar jauh lebih gawat dan menakutkan ketika disebut sebagai radang kelenjar parotis.
Sial betul, di masa pandemi ini, saya mau tak mau harus menyebut istilah medis yang memang belakangan sering sekali diucapkan oleh orang: anosmia. Ia menjadi istilah yang sekarang sering sekali saya dengar setelah psikosomatis yang sudah ngetren duluan beberapa bulan sebelumnya.
Anosmia adalah istilah untuk menyebut hilangnya kemampuan seseorang untuk mengenali bau dan juga rasa. Singkatnya, melemahnya indera perasa dan penciuman. Anosmia ini kini sering dikaitkan dengan corona sebab ia disebut sebagai salah satu gejala khas seseorang yang terinfeksi virus corona.
Sudah banyak sekali cerita tentang kasus positif corona yang bermula dari gejala anosmia ini.
Di salah satu pondok pesantren tak jauh dari tempat tinggal saya, terjadi ledakan positif positif. Berdasarkan pernyataan resmi yang sudah beredar di media, jumlah santri yang dinyatakan positif corona jumlahnya sekitar 40 orang. Pengetesan besar-besaran di pesantren tersebut dilakukan setelah salah seorang santri dinyatakan positif setelah sebelumnya ia merasa tidak bisa merasakan makanan yang ia makan.
Di banyak tempat, kasus-kasus ledakan klaster baru juga kerap dimulai dengan gejala tidak bisa merasakan rasa makanan atau membaui aroma.
Gara-gara itu, kawan-kawan saya sekarang jadi sangat peduli dengan rasa dan bau-bauan. Kawan saya Iqbal Aji Daryono itu pernah mengaku bahwa salah satu yang paling ia nantikan di pagi hari adalah momen-momen sarapan. Tujuan utamanya bukan untuk memastikan perutnya kenyang, tapi untuk sekadar mengetes apakah lidahnya masih bisa bekerja dengan benar atau tidak.
Kawan saya yang lain, Ahmad Khadafi, menceritakan hal yang hampir sama dengan redaksi yang berbeda. Gara-gara berita tentang anosmia itu, sekarang istrinya jadi sering membikin sambal yang sangat pedas untuk memastikan lidah anggota keluarganya masih bisa merasakan pedas.
Kebiasaan-kebiasaan ganjil berkaitan dengan anosmia ini juga mulai bermunculan. Banyak orang yang sekarang begitu antusias saat masuk ke kamar mandi demi bisa mencium bau tahinya sendiri. Semakin bau, semakin lega dia. Banyak orang yang girang kalau ada bau busuk dan dia bisa menciumnya. Semakin busuk, semakin girang dia.
Saya tak menyangka, bahwa kelak, istri saya ternyata juga terserang kebiasaan ganjil ini.
Pagi hari, beberapa hari yang lewat, tepat di samping saya di atas kasur, ia tersenyum. Saya tahu bahwa ia pasti bahagia menjadi istri saya, namun saya tak menyangka ia sampai menunjukkannya dengan tersenyum di samping saya tepat saat saya bangun dari tidur.
“Kamu bahagia sekali ya bisa jadi istriku sampai senyum-senyum sendiri begitu?” tanya saya.
“Idih, ge-er amat.”
“Lah, trus ngapain kamu senyum begitu.”
“Aku senyum karena aku seneng, ternyata aku masih bisa merasakan bau iler Mas yang kecut itu. Itu artinya, aku masih normal, nggak kena anosmia.”
Mendengar jawabannya itu, saya ikut tersenyum. Tapi tentu saja dengan jenis senyum yang berbeda.
“Keparat!” batin saya.
BACA JUGA Kelihatannya Memang Bukan Lagi Corona yang Saya Takuti Saat Ini dan artikel Agus Mulyadi lainnya.