MOJOK.CO – Katanya pengin nikah, tapi pas udah mau nikah, malah jadi bridezilla. Maunya apa, sih? Nikah atau nggak nikah, kok tetap aja ada cemasnya.
Saya punya teman, namanya Siti. Akhir-akhir ini, dia menjadi lebih mudah uring-uringan plus lebih sensitif dari biasanya. Disenggol dikit aja, bisa betul-betul marah-marah. Belum lagi dia suka ngerocooos terus, apa aja bisa jadi bahan omelannya. Intinya, saya merasa dia menjadi teman yang begitu annoying. Bikin saya nggak betah berlama-lama sama dia.
Meski dia begitu menyebalkan, saya bisa memahaminya. Pasalnya, saat ini Siti lagi mempersiapkan pernikahannya. Dari dia saya tahu, kalau ternyata untuk mempersiapkan sebuah pernikahan, begitu banyak hal yang harus diurusin.
Dari menentukan tanggal pernikahan yang ribetnya ngaudzubillah. Terus, menentukan siapa aja yang bakal diundang—siapa saja kerabat yang harus diprioritaskan. Atau memutuskan untuk mencantumkan gelar pendidikan atau tidak di dalam undangan. Sampai urusan printilan semacam mending masukin menu zuppa soup atau nggak dalam pestanya, bisa jadi pemicu perasaan tertekan.
Kecemasan ini juga muncul karena tekanan dari keluarga. Apalagi acara tersebut harus menggabungkan keinginan dua keluarga yang meski udah sama suku dan budayanya, tapi teteeepppp aja ada bedanya. Sampai si Siti bilang, perbedaan tentang hal-hal sepele bisa jadi sensitif. Lantas, itu memunculkan ketakutan yang baru baginya. Dia takut, kalau dia malah gagal nikah, karena ada satu pihak yang merasa tersinggung.
Belum lagi, Siti juga ikutan mikirin tentang bagaimana penilaian dari tamu undangannya nanti. Apakah mereka akan terpuaskan? Akan merasa terkagum-kagum? Atau justru pulang sambil misuh-misuh karena pas datang, makanan udah pada ludes—lantaran dia memperkirakan jumlah katering yang kurang tepat.
Selain itu, masalah ketersediaan dana juga menjadi sumber kecemasan yang lain. Apalagi ketika menyadari, begitu banyaknya hal yang diinginkan, eh njuk mentok di masalah pendanaan. Udah tahu banyak yang lagi dicemaskan. Eh, terus Siti malah bikin kecemasan lain dengan diet sampai berolahraga yang keterlaluan. Hanya untuk satu tujuan, supaya badannya jadi kelihatan slim, baju pengantin tetep muat, dan terlihat semlohay di hari besar tersebut.
Kecemasan si Siti ini semakin nggak karuan, ketika pasangannya mulai menghindar saat diajak diskusi perihal pernikahan. Lantas, pertengkaran-pertengkaran yang terjadi pun semakin mantap. Siti merasa calon suaminya ini udah nggak sayang sama dia. Padahal, mah, sebetulnya dia cuma capek saja. Plus bosen karena setiap ketemu yang dibahas tentang itu-itu aja. Menjadikan romantisme di antara mereka lenyap pelan-pelan. Jadi lupa rasanya mesrah.
Namun, semua kecemasan yang dirasakan oleh Siti, sebetulnya bermuara pada satu hal. Siti merasa begitu cemas, karena ia takut kalau segala yang dipersiapkan tersebut, hasilnya tidak memenuhi ekspektasinya sendiri. Apalagi pernikahan digadang-gadang sebagai sebuah ‘pagelaran’ sekali seumur hidup. Maka, pikiran yang melekat bahwa semuanya-harus-sempurna begitu dalam tertancap.
Seperti ungkapan makhluk Venus dan Mars, perempuan dan laki-laki memang memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Begitu pula, saat menghadapi persiapan pernikahan yang begitu rempong-nya. Pada perempuan, kecemasan berlebih dalam kondisi ini, biasa disebut dengan bridezilla.
Sebetulnya bridezilla ini bukan istilah psikologi. Sekadar istilah buat asyik-asyikan aja, biar gampang nyebutnya. Sesuai namanya, bridezilla ini merupakan gabungan dari dua kata, yakni bride dan godzilla. Seperti yang terjadi pada Siti, istilah bridezilla ini untuk menjelaskan tentang kelakuan pengantin perempuan menjelang pernikahan yang dianggap sebelas dua belas sama godzilla—yang rawr! Mudah marah, mudah kesal. Semua-muanya dikhawatirkan. Ataupun banyak cemas sedikit rindunya. Halah.
Perempuan menjadi lebih stress dalam mempersiapkan pernikahan, karena ada peran gender yang terlibat di dalamnya. Mempersiapkan pernikahan seolah menjadi tanggung jawab perempuan dibanding lelaki. Sehingga banyak persiapan yang akhirnya perempuan lakukan sendiri. Merasa lebih bertanggung jawab inilah yang akhirnya menimbulkan perasaan tertekan, cemas, hingga stres.
Nah, supaya perempuan-perempuan lain yang ngalamin kayak Siti ini, nggak makin tambah stres atau betul-betul berubah jadi bridezilla. Ada beberapa hal sederhana—yang nggak sederhana amat—yang bisa dilakukan.
Pertama, berusaha berbagi peran. Tidak perlu menjadi satu-satunya pihak yang harus mempertanggungjawabkan semuanya. Perlu disadari, bahwa kamu manusia dan tidak akan selalu sekuat itu. Kamu butuh mendelegasikan sebagiannya pada orang lain.
Kedua, nggak perlu membanding-bandingkan dengan pernikahan orang lain. Ini pesta untuk dirimu sendiri, bukan buat perlombaan. Tidak ada yang betul-betul terlaksana dengan sempurna. Namun kamu harus tetap mencintai pernikahanmu dengan seutuhnya. Seperti kamu mencintai dirimu sendiri~
Ketiga, jangan lupa kalau pesta ini untuk kamu dan pasangan, bukan untuk orang lain. Jangan terlalu sibuk mikirin kebahagiaan orang lain. Sampai kamu lupa untuk membahagiakan diri sendiri, di hari pernikahanmu.
Keempat, nggak perlu terlalu memforsir diri menyiapkan segalanya. Kamu nggak pengin, kan, justru nge-drop di hari pernikahanmu sendiri. Terus njuk malah suamimu berdiri sendiri di pelaminan tanpa pendamping. Kalau perlu, liburan aja dulu. Biar otak dan hatinya jadi lebih tenang dan fresh.
Kelima, nggak usah ngomongin tentang pernikahaaan muluk di berbagai kesempatan. Percayalah, Siti, saya sungguh bosen mendengarnya. Meskipun, saya tetap harus berterima kasih. Lantaran sikapmu yang menyebalkan ini, bisa dijadiin konten.
Emang ya, dasar manusia. Nggak segera ketemu sama jodoh, ngerasa cemas. Bosen diejekin jadi jomblo dan pengin segera ketemu pasangan. Eh, udah hampir disahin sama jodohnya, tetap aja cemas. Malah jadi bridezilla, dan penginnya langsung sah aja. Nanti, kalau udah sah, pasti masih aja ada cemasnya. Hadeeeh, jadi maunya apa, sih?