MOJOK.CO – Sudah satu setengah bulan lebih kampanye Pilpres 2019 berjalan. Siapa yang lebih cerdas berkampanye? Jokowi atau Prabowo? Atau nggak ada?
KPU sudah menentukan yang namanya masa kampanye. Sebuah masa di mana masing-masing calon segencar mungkin memviralkan ide dan calon program mereka. Namun, karena batasan kampanye yang sering kabur, dengan berbagai cara, masing-masing pasangan calon, Jokowi dan Prabowo, bisa mendekati kepala calon pemilih. Kapan saja, di mana saja.
Ironisnya, kampanye untuk Pilpres 2019 tidak begitu menarik. Paparan ide hanya seperti tempelan mainan magnet di pintu kulkas. Isi “kulkas” yang ditawarkan adalah serangan-serangan terhadap kekurangan lawan, tanpa disertai unjuk kebolehan menyusun dan memaparkan ide. Menarik saja belum, apalagi cerdas.
Kebetulan, Dimam Abror, Wakil Direktur Media dan Komunikasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo dan Sandiaga, mengkritik pernyataan Ma’ruf Amin yang menyebut Jokowi sebagai santri. Dimam Abror menyebut seharusnya kita berkampanye secara cerdas. Hmm…memang secerdas apa sih kampanye Prabowo?
Supaya berimbang, mari kita lihat aksi dan pernyataan kubu Jokowi dan Prabowo. Kita lihat bersama-sama siapa yang lebih cerdas berkampanye. Sebagai parameter, kita lihat saja kampanye-kampanye keduanya yang membuat dahi mengernyit dan perut mulas. Biar kita bisa menilai siapa yang lebih cerdas berkampanye.
Kampanye “cerdas” kubu Jokowi
Mungkin, saking senangnya diajak masuk ke dalam “tim sukses” Jokowi, Farhat Abbas langsung membuat blunder. Farhat Abbas bilang bahwa mereka yang tidak memilih Jokowi di Pilpres 2019 akan masuk neraka. Sungguh kampanye yang menyentak akal sehat. Untung saja, pihak petahana cepat “memadamkan api” dengan memecat Farhat Abbas.
Kampanye “cerdas” kedua adalah ketika kubu petahana menyinggung berbagai kesalahan pihak Prabowo. Tepatnya, kubu Prabowo sudah tiga kali minta maaf ketika masa kampanye baru berjalan satu setengah bulan. Kesalahan yang disinggung adalah hoaks Ratna Sarumpaet, polemik tampang Boyolali, dan aksi Sandiaga Uno melangkahi makam Kiai Bisri Syansuri.
Mengapa aksi ini patut masuk ke dalam terminologi “kampanye cerdas”? karena Jokowi sendiri sendiri mengingatkan kalau kampanye jangan menimbulkan keresahan, menakut-nakuti rakyat. Lha ini menyindir-nyindir kesalahan lawan sama saja dengan terus mengingatkan bahwa ketakutan itu nyata. Kalau betul-betul “cerdas”, ya jangan dibahas terus-menerus. Biar rakyat yang menilai. Perkuat diskusi soal bidang-bidang strategis. Ya ekonomi, migas, dan lain-lain.
Kampanye “cerdas” ketiga adalah ketika Jokowi membuat istilah “politikus sontoloyo” dan “politik genderuwo”. Maksudnya sih keren. Ingin menunjukkan kalau ada politikus yang buruk dan cara-cara kampanye yang tidak mendidik. Namun, sayangnya, istilah itu bisa dengan mudah dimentalkan kubu Prabowo karena dari kubu petahana pun tak sedikit yang konyol. Sungguh jenius. Bikin istilah, tapi bisa dipantulkan dengan mudah.
Kampanye “cerdas” nomor empat adalah ketika Jokowi dan menteri-menterinya tidak menemui guru honorer yang demo soal batasan usia diangkat PNS yaitu di bawah 35 tahun. Sikap acuh tak acuh ini menyiratkan keengganan pemerintah untuk menangani masalah menahun. Sikap ini adalah kampanye yang buruk karena bisa dihubungkan dengan tajuk “pemerintah tak peduli dengan isu-isu yang kurang bisa mendatangkan elektabilitas”. Maklum, jumlah guru honorer memang tidak banyak. Tidak sebanyak umat beragama. #ehh
Segitu saja contoh kampanye “cerdas” pihak petahana. Kalau banyak-banyak nanti saya dikira Kampret. Padahal, kan….buaya rawa!
Kampanye “cerdas” kubu Prabowo
Bagaimana dengan pihak Prabowo? Apakah kata-kata Dimam Abror itu menemukan kebenarannya dari kampanye-kampanye, yang pada level tertentu, bikin saya tidak bisa menahan tawa?
Kampanye “cerdas” pertama adalah Prabowo yang menggebu-gebu dan nampak susah payah menjelaskan bahwa Indonesia ini sedang krisis. Bahkan, pada tahun 2030 nanti, Indonesia akan bubar jalan. Padahal, sumber data yang beliau gunakan adalah sebuah buku fiksi.
Tapi intinya bukan itu. Suka-suka beliau lah. Tapi, suapan hal-hal pesimis itu tak pernah menarik di mata kami, orang yang punya akal sehat. Bilang krisis sih boleh saja, tapi barengi dengan solusi yang konkret. Kalau terus-menerus menjelekkan pemerintah, simpati rakyat bakal gagal terebut. Kami justru jenuh dengan kalimat-kalimat yang mengancam.
Kampanye “cerdas” kedua? Ya ketika Sandiaga Uno bilang Rp100 ribu tuh sekarang cuma bisa buat beli bawang dan cabai. Lha pernyataan itu saja sudah mengundang kegaduhan, sekarang Titik Soeharto menggunakan strategi yang sama, yaitu “Rp50 ribu dapat apa?” Ini kayak Manchester United yang suka main parkir bus, tapi masih kalahan, dan nggak mengubah strategi. Jangan-jangan Jose Mourinho itu pembisik rahasia kubu Prabowo. “The special one”, Sandiaga Uno. “One” dan “Uno” kok kayaknya deket banget. Kedengarannya akrab.
Yuk geser ke kampanye “cerdas” ketiga, ketika Prabowo menyebut saat ini 99 persen rakyat Indonesia itu hidup sangat susah. Mantan Danjen Kopassus itu mengklaim bahwa data yang ia dapat berasal dari Bank Dunia.
Pernyataan “hiperbola” itu langsung disleding Bank Dunia. Bank Dunia menegaskan tidak pernah merilis data seperti itu. Catatan Bank Dunia: 45 persen rakyat Indonesia masuk ke dalam golongan sparing middle class yang tidak miskin dan tidak rentan, 22 persen golongan kelas menengah, dan 9 persen golongan miskin.
Kampanye “cerdas” keempat? Ketika Sandiaga Uno disebut sebagai santri post Islamisme, bahkan ulama. Beberapa bulan kemudian, beliau melangkahi makam kiai besar. Sangat tidak santri, apalagi ulama. Jangan salah, klaim Jokowi adalah santri juga bukan pesan yang menarik. Citra itu penting, tapi mbok ya jangan maksa.
Kampanye “cerdas” apalagi ya? Kayaknya cukup sampai sini saja. Saya sudah nggak sanggup. Perut saya mulas.
Pada intinya, kedua kubu petarung Pilpres 2019 belum menunjukkan apa itu kampanye cerdas. Keduanya sibuk bermain lempar tangkap bola panas. Saling balas hinaan dan cercaan. Rakyat hanya penonton, diposisikan sebagai “konsumen” yang tidak bakal jenuh dan muak dengan tontonan politikus. Menonton kekonyolan.