Setiap kali membaca koran, baik koran nasional maupun lokal, salah satu kolom halaman yang kerap menjadi perhatian saya adalah kolom halaman berita duka. Saya yakin Anda paham yang saya maksud.
Kolom halaman yang berisi pengumuman meninggalnya seseorang, biasanya lengkap dengan foto, usia saat meninggal, beserta seluruh anggota keluarga yang ditinggalkan. Dan ya, biasanya yang meninggal adalah orang tionghoa, orang keturunan China, atau apalah istilahnya.
Bagian yang paling sering saya lihat terlebih dahulu tentu saja adalah nama China-nya, kemudian nama alias Indonesia-nya, lalu kemudian usianya.
Kalau usianya lanjut, misal 90 tahun ke atas, saya biasanya membatin, “Yo ancen wis wayahe,” sedangkan kalau usianya masih muda, misalnya 40-an, saya membatin, “Woalah, isih enom, mesakke…”
Kalau kolomnya kecil, anggota keluarga yang dicantumkan biasanya hanya anak, istri, dan saudara-saudaranya, sedangkan kalau kolomnya besar, bisa sampai menantu, cucu, cicit, sampai saudara angkat.
Kunjungan saya ke kantor Jawa Pos beberapa waktu yang lalu memberikan banyak pengetahuan baru pada saya perihal kolom pengumuman kematian ini.
Seorang kawan yang bekerja sebagai redaktur di sana, sebut saja John Doe, bersedia bercerita banyak soal kolom pengumuman kematian ini pada saya.
Dari John Doe inilah, saya tahu betapa kolom pengumuman kematian, atau sebut saja iklan kematian adalah bisnis yang sangat menguntungkan. Pada satu sisi, ia menjadi salah satu alasan kenapa koran sampai sekarang masih bisa hidup di tengah gempuran media-media online yang semakin beringas.
“Iklan kematian itu besar sekali nilainya,” ujarnya.
John menyebut bahwa memang tarif memasang iklan kematian tersebut memang besar.
“Setengah halaman koran, nilainya 250 juta,” ujar John. Saya tentu saja terhenyak dengan nilai yang fantastis tersebut. Kalau nilai tersebut untuk slot sebuah iklan produk, tentu saya tak heran. Tapi untuk sebuah pengumuman kematian, 250 juta adalah angka yang susah untuk saya nalar.
“Kolom setengah halaman itu biasanya dipasang oleh anggota keluarga yang sangat kaya. Kalau yang kayanya sedengan, biasanya ya cuma seperempat halaman, atau seperlima, atau paling kolom kecil,” ujar John, “Namun ya tetap saja, sekecil apa pun kolomnya, nilainya tetap besar, setidaknya bisa belasan atau puluhan juta.”
Saya cuma bisa mantuk-mantuk mendengarkan penjelasan John.
“Kalau orang yang kaya banget, dia bisa ambil sampai satu halaman penuh untuk mengumumkan kematian anggota keluarganya. Bayangkan, itu artinya, dia bayar 500 juta. Yang kuat dan mau begini pastinya pengusaha kakap yang punya bisnis di mana-mana.”
Ketika saya tanya apakah mereka tidak sayang mengeluarkan uangnya sampai puluhan bahkan ratusan juta hanya untuk mengumumkan kematian salah satu anggota keluarganya, jawaban John semakin membuat sata terkaget-kaget sekaligus terkagum-kagum.
“Nggak. Orang Tionghoa memang punya budaya yang sangat mendalam untuk urusan menghormati orangtua. Jadi kalau ada bapak atau ibu mereka yang meninggal, mereka tak segan membikin upacara besar-besaran yang bisa menghabiskan uang puluhan sampai ratusan juta. Termasuk urusan mengumumkan kematiannya itu.”
John kemudian mengambil koran dan kemudian menunjukkan pada saya iklan-iklan kematian yang hari itu terbit.
“Ini yang pasang ya pengusaha-pengusaha,” ujarnya sembari menunjuk kolom-kolom iklan kematian. “Sebagai bentuk penghormatan pada orangtua.”
Saya masih tetap mantuk-mantuk.
“Selain itu,” kata John, “Iklan kematian ini sebenarnya juga penting untuk reputasi dan bisnis mereka.”
“Maksudnya?”
“Ya, semakin besar dan penting orang yang meninggal, maka semakin penting pula orang lain tahu siapa saja anggota keluarga dia, itulah kenapa semua anggota keluarganya dicantumkan, bahkan sampai cucu-cucunya. Itu punya implikasi yang besar pada bisnis yang dimiliki oleh anggota keluarga almarhum.”
Jawa Pos menjadi salah satu koran yang menggarap dengan serius ceruk iklan kematian ini. Bahkan mereka sampai punya desainer khusus yang menggarap tampilan iklan kematian itu. Belakangan saya ketahui bahwa Dahlan Iskan-lah yang konon menjadi sosok yang menyeriusi bisnis tersebut saat ia masih menjadi nakhoda Jawa Pos.
“Pak Dahlan yang dulu merintis. Pak Dahlan itu bahkan sampai bisa bahasa Cina, lho.”
Di Surabaya, dan kemungkinan juga daerah-daerah lain, iklan pengumuman kematian ini biasanya sudah sudah masuk paket dalam layanan kematian. Layanan ini bisanya digarap oleh perusahaan kijing atau peti mati.
Mereka menawarkan layanan lengkap kematian, dari mulai pembuatan nisan, kremasi, pemakaman, sampai di dalamnya adalah pemasangan iklan kematian di koran-koran. Singkatnya semacam EO kematian denga layanan One stop service.
“Kalau di Surabaya, yang terkenal ya ARIO, mereka menawarkan paket lengkap.”
Jujur, saya tak pernah menyangka bahwa iklan kematian yang selama ini saya anggap biasa ternyata punya banyak hal menarik di baliknya.
Tapi memang, pada titik tertentu, bisnis yang paling hidup justru adalah bisnis yang melibatkan kematian. Ini bukan soal untung-untungan belaka, sebab ceruknya memang luas.
Kalau dilihat dari kacamata segmentasi, bisnis kematian jelas adalah bisnis yang pasti. Target bisnisnya jelas: keluarga orang yang baru saja mati, dan itu adalah target yang melimpah, karena kita tahu, semua orang memang pasti akan mati.
Bisnis kematian menjadi bisnis yang segmentasinya sama luasnya dengan pengusaha warteg yang mengincar orang-orang lapar, yang mana kita tahu, semua orang (sewajarnya) pasti akan merasa lapar. Manusia dapat tenaga dari makan, bukan dari fotosintesis layaknya pohon trembesi.
Ah, semoga Mojok peka untuk melirik bisnis ini. Yah, siapa tahu, di masa depan, akan ada orang yang buka Mojok hanya untuk mengetahui siapa yang meninggal, bukan untuk baca esai-esainya.
“Hari ini siapa lagi yang meninggal ya? Buka Mojok, Ah”