Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Harga Makanan yang Mahal di Malioboro Tidak untuk Diwajarkan, Apalagi Diromantisasi

Yamadipati Seno oleh Yamadipati Seno
26 Mei 2021
A A
Kota Jogja. Mojok.co.

Kota Jogja. Mojok.co.

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Rasanya sungguh aneh ketika ada warga lokal Jogja yang mewajarkan mahalnya harga makanan di lesehan Malioboro. Aneh.

Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Itu dulu. Kini, Jogja terbuat dari klitih, kemacetan, gaji rendah, harga tanah yang makin tak terjangkau, dan segala kerumitan yang diwajarkan, bahkan malah diromantisasi. Termasuk harga makanan di Malioboro.

Saya masih ingat, saat itu 2017, ketika Pak Sultan, yang juga Gubernur DIY, mengancam akan mencopot Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Malioboro. Ancaman itu muncul setelah beberapa “oknum” menaikkan harga parkir dan makanan semaunya sendiri.

Saat itu, 2017, empat tahun yang lalu, lesehan Malioboro dianggap sebagai salah satu jujugan “makanan rakyat” dengan harga yang tak masuk akal. Kamu bisa dengan mudah menemukan banyak keluhan warga, baik lokal maupun pendatang, ketika merasa ditipu setelah makan di lesehan Malioboro.

Yang namanya “makanan rakyat”, seperti pecel lele, ayam goreng, hingga nasi goreng biasanya dibanderol antara Rp15 sampai Rp25 ribu. Namun, di lesehan Malioboro, banyak yang “ditutuk” oleh pedagang ketika mereka harus membayar hingga dua sampai tiga kali lipat.

Itu empat tahun yang lalu….

Kini, masalah yang sama nampaknya belum betul-betul selesai. Masih banyak “oknum” pedagang yang menaikkan harga seenak hatinya. Khususnya pendatang, merasa menyesal sudah makan di salah satu lokasi andalan wisata Jogja itu.

Tidak untuk diwajarkan

Ketika diunggah ke media sosial, mereka yang biasanya warga lokal, malah mewajarkan kejadian tersebut. Kalimat andalan netizen lokal adalah: “Yang namanya tempat wisata ya wajar kalau harga makanannya mahal” dan “Kalau mau makan ya jangan di Malioboro. Pasti mahal.”

Pewajaran akan peristiwa ini, saya rasa sudah sangat salah. Memang, harga makanan atau apa saja di tempat wisata bisa lebih mahal. Ada variabel sewa tempat yang juga perlu dipikirkan pedagang ketika menentukan harga. Namun, kalau harganya dinaikkan dengan tidak wajar, nama Jogja sendiri yang lama-lama jadi jelek.

Tidak ada kebanggaan dari sebuah status negatif Malioboro. Bisa jadi, kalau pewajaran itu berlanjut dan tidak ada penanganan dari UPT Malioboro, penjaja makanan lesehan itu akan ditinggal konsumen. Apa ya kalau ke Malioboro kudu bawa makanan sendiri? Indomie goreng yang dimasukkan tempat makan dan dimakan ketika sudah dingin tapi justru lebih nikmat itu?

Coba saja kamu klik kata kunci Malioboro di kolom trending Twitter. Kamu akan menemukan salah satu opini yang bunyinya seperti ini: “Travelhack 101: jangan pernah makan lesehan di Malioboro.”

Mereka yang mewajarkan mahalnya harga makanan di Malioboro mungkin tidak akan terdampak langsung. Namun, para pedagang lesehan yang jujur, sudah memasang papan berisi harga makanan, yang akan menanggung akibatnya dalam jangka panjang.

Romantisasi Jogja yang makin semu

Saya rasa, pewajaran di atas bisa jadi sebagai imbas dari kebiasaan “meromantisasi Jogja”. Orang bilang Jogja itu murah, padahal enggak juga. Pendapatan rendah tidak sebanding dengan mahalnya harga-harga kebutuhan. Ini belum ngomongin soal harga tanah, ya, di mana warga lokal semakin sulit untuk menjangkaunya.

Jogja itu aman dan damai. Enggak juga. Hampir setiap minggu kamu masih menemukan kejadian klitih, kok. Anehnya, fenomena ini sudah lama terjadi tetapi seperti tidak ada jalan keluarnya.

Iklan

Jogja itu sederhana dan ramah untuk pedagang kecil. Enggak juga. Sekarang ini Jogja isinya kafe dan warung sei sapi. Semakin lumrah ditemui kafe dengan harga minuman antara Rp25 sampai Rp40 ribu. Dan hebatnya, harga segitu masih dianggap wajar. Murah dengkulmu!

Jogja itu asri dan sejuk. Enggak juga. Coba kamu keliling daerah Condongcatur sampai Jalan Kaliurang atas. Luas sawah semakin sempit, ditindih urukan tanah untuk dibangun kafe atau kos-kosan.

Ada satu kawasan di Sleman, di mana sepetak sawah dikepung kafe. Konyolnya, sepetak sawah itu akan jadi salah satu andalan yang “dijual” oleh kafe-kafe tersebut. Mungkin dengan tagline berbunyi: menawarkan pemandangan asri sawah yang hijau (walau cuma sepetak aja). Lucu banget, asyu.

Ironisnya, hal-hal seperti di atas diwajarkan oleh banyak penduduk lokal. Gaji rendah, ya disuruh menerima tanpa protes. Protes harga tanah mahal, eh disuruh pergi dari Jogja. Berpetak-petak sawah hilang, eh diwajarkan karena dianggap sebagai bagian dari “perkembangan zaman modern”.

Sikap-sikap di atas yang membuat masalah mahalnya harga makanan di lesehan Malioboro dianggap sepele dan bisa diwajarkan. Sungguh kebiasaan yang bikin bingung. Hal yang salah kok diwajarkan, bahkan dianggap sebagai salah satu sumber kebanggaan.

Saat ini, saya, sebagai warga lokal, merasa tidak ada yang romantis dari Jogja. Tugu Jogja? Yang tiap tahun direnovasi dan semakin gersang? Malioboro yang semakin tidak sederhana? Takut keliling kota sampai tengah malam karena takut klitih? Mana yang romantis?

Romantis ndobos!

BACA JUGA Nggak Usah Terbeli oleh Romantisasi Jogja. Asline Biasa Wae, Lur dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Terakhir diperbarui pada 26 Mei 2021 oleh

Tags: angkringanJogjajogja terbuat dariklitihmalioboroumr jogja
Yamadipati Seno

Yamadipati Seno

Redaktur Mojok. Koki di @arsenalskitchen.

Artikel Terkait

Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO
Esai

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Ragam

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO
Liputan

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Peringatan Hari Monyet Ekor Panjang Sedunia di Jogja. MOJOK.CO
Bidikan

Pilu di Balik Atraksi Topeng Monyet Ekor Panjang, Hari-hari Diburu, Disiksa, hingga Terancam Punah

15 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur Mojok.co

Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur

17 Desember 2025
Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025
Bagian terberat orang tua baru saat hadapi anak pertama (new born) bukan bergadang, tapi perasaan tak tega MOJOK.CO

Katanya Bagian Terberat bagi Bapak Baru saat Hadapi New Born adalah Jam Tidur Tak Teratur. Ternyata Sepele, Yang Berat Itu Rasa Tak Tega

18 Desember 2025
Riset dan pengabdian masyarakat perguruan tinggi/universitas di Indonesia masih belum optimal MOJOK.CO

Universitas di Indonesia Ada 4.000 Lebih tapi Cuma 5% Berorientasi Riset, Pengabdian Masyarakat Mandek di Laporan

18 Desember 2025
Dalil Al-Qur'an dan Hadis agar manusia tak merusak alam, jawaban untuk tudingan wahabi lingkungan dari Gus Ulil ke orang-orang yang menjaga alam MOJOK.CO

Dalil Al-Qur’an-Hadis agar Tak Merusak Alam buat Gus Ulil, Menjaga Alam bukan Wahabi Lingkungan tapi Perintah Allah dan Rasulullah

12 Desember 2025

Video Terbaru

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025
Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

10 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.