MOJOK.CO – Kemenangan Anthony Ginting di China Open membuat banyak publik yakin bahwa akan ada “penerus” jejak menawan legenda Taufik Hidayat.
Prestasi bulutangkis Indonesia di nomor tunggal putra memang tidak bagus-bagus amat usai Taufik Hidayat pensiun pada 2013. Bertahun-tahun Indonesia hanya bisa gigit jari ketika menyaksikan kelincahan Lee Chong Wei dan ketangguhan Lin Dan menguasai jagat bulutangkis selama bertahun-tahun.
Ibarat pertarungan Lionel Messi dengan Cristiano Ronaldo, Lin Dan maupun Lee Chong Wei menunjukkan dominasi yang tiada banding. Dari berbagai kejuaraan super series, keduanya memang tak melulu juara, tapi nama besar dan pertemuan kedua legenda ini selalu menarik untuk disaksikan karena jadi pertarungan teknik, taktik, sekaligus nama besar selalu tersaji.
Beberapa nama dalam persaingan keduanya, memang muncul mengganggu. Dari Chen Long di Olimpiade 2016 silam, sampai Viktor Axelsen dengan permainan bertenaga dan penuh teknik pada usia yang masih sangat muda.
Pada saat bersamaan, Indonesia masih punya Sony Dwi Kuncoro, Simon Santoso, atau Tommy Sugiarto sebenarnya. Akan tetapi penampilan yang kurang konsisten dari ketiganya bikin pecinta bulutangkis tanah air tak pernah berharap banyak. Bahkan ketika muncul nama Dionysius Hayom Rumbaka sekalipun, kita tak pernah mampu berharap lebih. Kalau menang ya syukur, kalah juga tidak apa-apa deh. Toh, lawan mereka juga banyak yang lebih jago.
Berbanding terbalik dengan prestasi di nomor ganda putra, tunggal putra memang punya PR besar ketika di saat yang bersamaan muncul nama-nama potensial dari negara-negara yang tidak punya sejarah di bulutangkis. Di India mendadak muncul nama dari Srikath Kidambi, Ajay Jayaram, sampai Kahsyap Parupalli. Di Taiwan muncul Chou Tien yang sempat mencuri perhatian. Dan tentu saja Jepang, ketika memunculkan Kento Momota dan sempat mengganggu dominasi Lee Chong Wei dan Lin Dan beberapa waktu ke belakang.
Praktis melihat peta persaingan di tunggal putra, pecinta bulu tangkis Indonesia semakin pesimis. Bahkan legenda Taufik Hidayat sempat menyampaikan beratnya persaingan di nomor ini sebelum Asian Games 2018 silam.
“Tunggal putra masih berat, untungnya Jonatan (Christie) dan (Anthony) Ginting bisa memanfaatkan status tuan rumah Asian Games. Mereka bisa mendapat banyak dukungan suporter,” kata Taufik.
Beruntung, Jonatan Christie saat itu berhasil menepis keraguan dengan kemenangan fenomenal di final tunggal putra Asian Games 2018 usai mengalahkan Chou Tien.
Meski begitu, kemenangan Jonatan masih dianggap belum bisa jadi pijakan bangkitnya tunggal putra Indonesia. Sebab, tak bisa ditampik, status tuan rumah sedikit “memudahkan” perjalanan Jonatan, meski perjuangannya juga tidak bisa dipandang remeh.
Justru kemenangan Anthony Ginting di China Open yang membuat banyak publik yakin bahwa akan ada “penerus” dari jejak menawan legenda Taufik Hidayat. Hal yang bisa dipahami karena dua hal. Pertama, Ginting berhasil mengalahkan semua nama besar di nomor tunggal putra—minus Lee Chong Wei.
Dari Lin Dan dengan pertarungan berat sepanjang tiga set di babak pertama, lalu Viktor Axelsen dengan permainan teknik berkelas, Chen Long yang jadi “lawan favorit” Ginting, balas dendam Chou Tien Chen untuk kekalahan di semifinal Asian Games 2018, dan terakhir Kento Momota.
Ginting memang tidak punya smash kencang seperti Liem Swie King, backhand smash brilian ala Taufik Hidayat, pertahanan kelas wahid ala Lin Dan, atau kelenturan menakjubkan ala Lee Chong Wei, tapi ada satu hal yang membuat publik akan selalu ingat akan cara bermain pemain kelahiran Cimahi, Jawa Barat ini.
Tidak seperti Christie yang sedikit diutungkan dengan tinggi badan mencapai 180 cm, Ginting yang hanya 171 cm sebenarnya tidak cukup proposional untuk bermain di tunggal. Kalau main di nomor ganda, mungkin tidak masalah, akan tetapi ketika harus mengejar bola dari satu sudut lapangan ke sudut lapangan lain sendirian, Ginting sering kerepotan karena jangkauan tangannya lebih pendek. Hanya saja, Ginting memaksimalkan kemampuan uniknya yang lain, yaitu: main net tipis-tipis.
Ada banyak kejadian Ginting menunjukkan kepiawaannya dalam permainan net dalam China Open, namun hanya ada satu momen paling brilian ketika aksi ini dilakukan saat menghadapi Viktor Axelsen. Pada pertarungan di set kedua ini, poin pertama Ginting diraih dengan cara yang ajaib.
Kelenturan pergelangan tangan dan langkah kaki yang rancak membantu Ginting melakukan trik ini. Saat Axelsen mencoba melakukan drop shot ke bibir net sebelah kanan, Ginting seolah akan ketinggalan meraih bola. Axelsen pun sudah bersiap akan berduel di depan net untuk menyambut bola pengembalian Ginting, lalu momen ajaib itu pun terjadi.
Alih-alih mengangkat bola tinggi di posisi yang terdesak, Ginting justru melakukan plesing ke sudut berlawanan ke sisi kiri. Bola melewati bibir net dengan lembut. Axelsen benar-benar mati alus. Langkahnya terhenti. Sesaat setelah “dikalahkan” dengan permainan net tersebut, Axelsen tanpa ragu memberi jempol untuk aksi Ginting. Bahkan setelahnya, tunggal putra Denmark ini masih geleng-geleng kepala tak percaya terhadap apa yang baru saja disaksikannya.
Selain itu, alasan kedua kenapa kemenangan Ginting di China Open begitu membanggakan publik Indonesia adalah, gelar ini menjawab keraguan banyak pihak bahwa pebulutangkis Indonesia hanya jago main kandang. Terutama untuk nomor tunggal putra.
Meski Jonatan Christie harus angkat koper lebih dulu usai takluk dari Ng Ka Long Angus dari Hongkong pada babak kedua, Ginting memberi salam kepada dunia. Bahwa setelah Axelsen dari Denmark dan Momota dari Jepang, dunia bulutangkis nomor tunggal putra harus mencatat namanya sebagai lawan yang berbahaya, karena baru saja Anthony Ginting jadi juara di negara “Brasil”-nya bulutangkis.