Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Gerakan Anak STM Diremehkan, Padahal Perjuangan Pelajar Sudah Ada Sejak Dulu

Yamadipati Seno oleh Yamadipati Seno
26 September 2019
A A
Gerakan Anak STM Diremehkan, Padahal Perjuangan Pelajar Sudah Ada Sejak Dulu MOJOK.CO
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Aksi turun ke jalan anak STM dan pelajar diremehkan. Mereka dianggap tidak kompeten bersuara, bahkan gerakannya sudah ditunggani. Pelajar juga punya rasa!

“Apakah pelajar demo hanya fenomena zaman ini? Gak. Baca buku sejarah. Waktu Orba bahkan mrk pernah demo kenaikan SPP. Saat ‘98 bahkan biasa anak-anak SMA demo ikut mahasiswa,” kata Puthut EA, Kepala Suku Mojok lewat akun Twitter pribadinya.

“Pertanyaan paling aneh dari elite politik? Siapa yg menggerakkan anak-anak STM/SMA dan SMP demo? Menggerakkan orang segitu banyak? Dari berbagai titik? Dalam waktu singkat? Mungkin perlu baca sedikit soal spontanitas massa. Siapa tahu itu bisa menjawabnya. Siapa tahu…”

Hanya spontanitas massa yang bisa menggerakkan anak STM dan pelajar lainnya untuk turun ke jalan. Sepanjang pengalaman saya, memang sangat sulit mengumpulkan massa dalam waktu singkat. Hanya suporter sepak bola dan anak STM yang bisa melakukannya.

Lagian, tuduhan ditunggangi cuma semacam narasi untuk mengkerdilkan spontanitas anak STM dan pelajar ketika turun ke jalan. Tidak ada elite yang mau berpikir bahwa mereka punya “rasa”, hanya karena usia, lantas nggak pantas berjuang bersama mahasiswa.

Anak STM dan pelajar lainnya juga punya keresahannya sendiri. Sehari-hari, mereka dibuat resah oleh sistem pendidikan, budaya perundungan yang mengakar, kekerasan jalanan, keluarga dan lingkungan yang keras, kemiskinan, stigma negatif, dan lain sebagainya. Tawuran yang terjadi di setiap minggu merupakan pelarian dari keresahan yang menumpuk.

Jalanan menjadi ruang untuk berontak dari represi keresahan. Untuk sesaat, mereka merasakan kebebasan untuk berekspresi. Mereka tidak melulu bergerak karena isu besar yang tengah diperjuangkan. Mereka cenderung bodo amat. Pengalaman dan paparan arus informasi yang deras membentuk pola perjuangan mereka.

Di setiap zaman, di setiap gulir perjuangan pelajar, pengalaman dan represi sosial yang membentuk sebuah pemikiran akan perjuangan. Murni. Tanpa ditunggangi, mereka melawan.

Sebuah akun Twitter bernama @potretlawas menjelaskan kalau perjuangan anak STM dan pelajar sudah ada sejak zaman perjuangan. Di awal kemerdekaan, anak STM berjuang dengan nama Tentara Genie Pelajar (STM).

Sejak kemarin #STMmelawan. Anak sekolah teknik yang umum dilihat urakan gemar tawur turun ke jalan ikut demonstrasi. Macam² reaksi muncul.

Dalan masa sempit ini kami coba menguliti memori kolektif kita yang bias. Kembali ke rumah sejarah, melihat kembali perlawanan pelajar² STM.

— Potret Lawas (@potretlawas) September 26, 2019

Tugas-tugas mereka masih dekat dengan keseharian di sekolah. Misalnya, servis radio, merakit alat-alat elektronik, bikin peledak, membuat rancang bangun jembatan, hingga membuat pemetaan ranjau. Setelah perang, mereka kembali ke bangku sekolah.

“Pak, saya mau izin bolos.”

“Mau ke mana, kamu?”

“Mau pasang bom di bawah jembatan.”

Iklan

“Oya, nanti Bapak susul.”

Selain karena represi keadaan di zaman perjuangn, para pelajar juga sudah menyadari penderitaan yang diakibatkan oleh kolonialisme. Mohammad Hatta misalnya, sudah mulai merasa dirinya harus berjuang sejak usia 6 tahun. Saat itu, Bung Hatta menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika orang-orang Minang dirantai oleh Belanda menyusul kegagalan monopoli kopi.

Rasa yang diunjukkan itu juga ada yang lahir dengan sendirinya. Kesadaran terbentuk. Bukan melulu ditunggangi seperti lanturan buzzer-buzzer istana macam Denny Siregar.

Pada 18 Desember 1948, di Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota negara, anak STM membanjiri jalanan. Mereka mendesak pemerintah untuk menjawab ultimatum dari Belanda. Ultimatum itulah yang kelak berubah menjadi agresi militer. Memang, kalau urusan gebuk-gebukan, mahasiswa mundur aja, anak STM yang maju.

Periode 1970 juga diwarnai oleh gerakan anak STM yang tergabung dalam Ikatan Peladjar STM. Mereka mogok sekolah, menuntut dibukanya kesempatan praktik. Luar biasa, demo bukan hanya untuk mencari ajang berkelahi, tetapi demi bisa belajar.

Pada tahun 1983, sekitar 100 anak STM Strada Jakarta menyertai 18 guru mereka yang mogok mengajar. Para guru ini menuntut perbaikan jam belajar, penambahan waktu praktik, dan gaji ke-13. Para pelajar yang ikut mogok kena skorsing. Namun, gerakan justru meluas dan mendapatkan dukungan dari orang tua murid.

Latar belakang gerakan tentu saja berbeda-beda. Anak STM zaman perjuangan berjuang melawan penjajah, pelajar zaman periode 1970 dan 1980an berjuang melawan sistem. Zaman sekarang, isu besar yang diperjuangkan lebih luas. Misalnya yang dilakukan Greta Thunberg, remaja berusia 16 tahun yang menginisiasi gerakan massal menghentikan kerusakan iklim.

Konsistensi Greta berhasil memotivasi remaja di negara lain. Dilansir BBC, pertengahan Maret lalu, ada 1,6 juta siswa dari 125 negara demo perubahan iklim. Mereka melakukan demonstrasi menuntut tindakan nyata. Ada 4 juta anak yang turut berpartisipasi di seluruh dunia.

Sama seperti gerakan anak STM, protes Greta juga dianggap “sudah ditunggangi”. Greta dianggap sebagai anak korban cuci otak oleh orang-orang kiri. Narasi Greta juga dianggap tidak murni dan hanya suara kampanya para ekstrimis lingkungan.

Hanya kerena bergerak di usia yang masih belia, mereka dianggap tidak kompeten bersuara. Tidak kompeten menentukan arah zaman. Mungkin para pecundang yang memandang rendah gerakan anak STM dan pelajar lainnya perlu membaca lagi sejarah lahirnya Sumpah Pemuda. Atau, jangan-jangan mereka bolos ketika pelajaran sejarah?

BACA JUGA Greta Dan Malala, Dua Remaja Perempuan Keras Kepala yang Berusaha Mengubah Dunia atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.

Terakhir diperbarui pada 26 September 2019 oleh

Tags: anak STMdemo STMdprGretapelajarSTMtawuranUU KPK
Yamadipati Seno

Yamadipati Seno

Redaktur Mojok. Koki di @arsenalskitchen.

Artikel Terkait

Jurusan Ilmu Politik di UHO mengecewakan. MOJOK.CO
Kampus

Nekat Kuliah Jurusan Ilmu Politik di Kampus Akreditasi B, Berujung Menyesal Tak Dengar Nasihat Ortu

3 Oktober 2025
UI kampus perjuangan tapi BEM-nya kini terbelah. MOJOK.CO
Catatan

UI sebagai Kampus Perjuangan Kini Terbelah dan Hilang Taringnya, Tak Saling Mendukung dan Searah

4 September 2025
Komentar seorang pedagang cendol lulusan SMK terhadap kenaikan gaji DPR. MOJOK.CO
Ragam

Rintihan Pedagang Cendol di Jakarta, Kerja Mati-matian Hanya Dapat Upah Kecil demi “Menggaji” DPR agar Hidup Sejahtera

28 Agustus 2025
Seandainya Punya Gaji Rp104 Juta seperti para DPR, Ini yang Akan Saya Lakukan Mojok.co
Pojokan

Seandainya Punya Gaji Rp104 Juta seperti para DPR, Ini yang Akan Saya Lakukan

23 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.