MOJOK.CO – Soal gaji fresh graduate alumni UI yang minta dibayar tinggi, ya suka-suka dia. Lha wong itu standar yang dia hargai sendiri. Jarang loh, orang sanggup menentukan standarnya!
Diminta untuk memperkirakan standar gaji sebagai fresh graduate, memang nggak selalu mudah bagi setiap orang. Pasalnya, dalam “situasi kira-kira” yang sungguh absurd ini, kita berada dalam sebuah dilema besar. Berapa angka yang harus disebutkan kepada sang pemberi pekerjaan, yang tampak paling realistis untuk kesepekatan dua belah pihak.
Ada rasa sungkan kalau angka yang disebutkan terlalu besar. Takutnya, nanti malah dikira jadi anak fresh graduate yang belagu. Akan tetapi, kalau mau meletakkan angka yang kecil, kitanya juga nggak mau. Apalagi kalau di belakang tahu fakta, orang lain memperoleh gaji berkali-kali lipat di atas kita. Mana enak kerja kalau dipenuhi iri dan dengki karena gaji? Jadi, berapa sih, gaji fresh graduate?
Berada dalam kondisi yang serba salah untuk meletakkan standar gaji fresh graduate yang nggak punya pengalaman apa-apa ini, sungguh tidak mudah adanya. Oleh karena itu, saya malah mengapresiasi orang-orang yang sudah tahu standar dan kapasitasnya seperti ini.
2beer! Kepada netijen dipersilakan pic.twitter.com/6pvoztN2UF
— TUBIRFESS (@tubirfess) July 23, 2019
Mungkin, seorang fresh graduate Universitas Indonesia ini memang betul-betul paham kapasitas dia. Khususnya sebagai sumber daya manusia yang akan dimanfaatkan “sebaik-baiknya” sama perusahaan yang sedang dia lamar. Jadi, sah-sah saja, kalau dia telah meletakkan target gaji di kepalanya—jika diterima di perusahaan tersebut.
Tentu saja, ini suka-suka dia, dong? Lha wong, dia sudah tahu caranya menghargai dirinya sendiri. Perlu diakui, ini kemampuan yang nggak dimiliki semua orang. Karena kebanyakan sih, pada sungkan kalau sudah ngomongin soal angka. Justru dengan kayak gini, dia menujukkan betul soal kepercayaan dirinya atas kemampuannya.
Mungkin angka 8 juta bagi kita-kita yang gajinya masih saja bertahan di atas UMR dikit ini, sudah cukup tinggi. Tapi bagi dia, bisa jadi itu angka yang biasa aja—dan bukan levelnya. Siapa tahu, angka segitu masih di bawah uang saku bulanan yang biasanya dia peroleh.
Ya mohon maaf, nih. Kan gaya hidup setiap orang itu beda-beda. Jadi, saya yakin, dia pasti sudah memperhitungkan betul pengeluaran setiap bulannya. Dari makan, tempat tinggal, transportasi, pulsa, dana sosial, hingga dana foya-foya. Sehingga, dia tahu berapa uang yang dia butuhkan.
Jadi, terserah dia juga mau menghargai dirinya sendiri berapa. Kalau memang dia ngerasa pantes digaji sesuai standar yang dia putuskan, ya nggak apa-apa. Tapi kalau perusahaan nggak bersedia untuk menggajinya sesuai dengan standarnya, ya juga nggak apa-apa. Lha wong ini kan proses negosiasi. Kalau nggak sepakat, ya nggak usah marah-marah. Apalagi sampai membanding-bandingkan dengan gaji fresh graduate kampus lain kayak gitu.
Kalau dia memang mangkel karena gaji fresh graduate yang ditawarkan cuma segitu doang, ngapain malah bawa-bawa kampus lain? Maksudnya gini, okelah dia memang sungguh membanggakan nama besar kampusnya dan menganggap almamaternya itu bisa memberikan kesempatan lebih baginya menjadi warga negara yang kaya raya. Tapi, nggak dengan cara membandingkan “kemampuan” fresh graduate kampus lain juga, kan?
Iya-iya, paham. Kalau situ lulusan sebuah kampus yang masuknya susah karena persaingan yang cukup ketat. Terus keluarnya juga susah lagi. Jadi rasanya pengin dianggap lebih, kan? Kayak merasa jadi bibit unggul yang harusnya memang betul-betul diunggulkan dan dieman-eman, gitu, kan? Pokoknya nggak bisalah disama-samain sama kampus lain apalagi soal besaran gaji fresh graduate nya.
Tapi ya, fyi aja. Yang namanya rezeki dan merasa cukup itu nggak selalu soal uang, loh. Lingkungan kerja yang nyaman, tuntutan kerja yang tidak terlalu menekan, dan teman-teman kerja yang nggak jahat di belakang—apalagi nggak beda-bedain pertemanan dari almamaternya, jadi suatu hal yang sering kali bukan prioritas. Tapi malah jadi investasi yang paripurna.