MOJOK.CO – Enam kali Prabowo memberikan apresiasi kepada kinerja pemerintah di debat capres. Infrastruktur dua kali, lingkungan hidup tiga kali, dan ekonomi satu kali. Hm.
Kalau kamu sempat memerhatikan sebelum debat capres kedua 2019 dimulai, kedua timses sebenarnya sudah memaparkan kisi-kisi apa yang akan dilakukan di atas panggung masing-masing jagoannya.
Kubu Jokowi mengutarakan bahwa mereka hanya akan memakai strategi defensif. Sebagai petahana, memaparkan apa yang sudah dilakukan selama kurang lebih 4 tahun ke belakang rasanya bakal lebih efisien.
Sedangkan kubu Prabowo berniat akan lebih ofensif. Entah karena ini terkait balasan atas “serangan” dadakan kubu Jokowi saat debat capres pertama, atau memang hal ini dianggap mashook karena sebagai “kubu penantang” Prabowo harus menawarkan sesuatu yang tidak mampu dikerjakan Jokowi.
Sayangnya, sepanjang debat berlangsung Prabowo malah tidak terlihat ofensif sama sekali.
Bahkan dalam satu momen, Prabowo sempat menolak menanggapi pernyataan Jokowi ketika debat masuk pada tema kerusakan lingkungan akibat penambangan, “Saya kira sudah cukup ya masalah ini. Untuk apa bertele-tele lagi?”
“Masih ada, Pak, waktunya,” ujar moderator meminta Prabowo tetap mengomentari.
“Saya kira dalam hal ini kita sama, kita ingin memberantas pencemaran lingkungan, begitu, kan, Pak?” tanya Prabowo ke Jokowi yang cuma tersenyum mendengarnya. “Kalau tidak ada terlalu banyak perbedaan, untuk apa kita ribut lagi?” kata Prabowo lagi.
Padahal ketika BPN Prabowo-Sandi mengutarakan akan ofensif saat debat, Prabowo dalam bayangan saya akan bermain agresif macam Barcelona-nya Josep Guardiola melawan Jokowi yang akan memilih strategi “Park The Sumber Kencono Bus” ala Jose Mourinho.
Pada praktiknya di panggung debat capres, Prabowo malah kalem saja. Bahkan cenderung bodoamat saat bertanya ke Jokowi mengenai “unicorn yang online-online itu”.
Padahal kalau mau jeli ada banyak pernyataan dari Jokowi yang bisa dicatat plus dicacat sepanjang debat berlangsung. Pernyataan-pernyataan yang lumayan bisa jadi sandbag empuk untuk dimainkan.
Dari pernyataan “hampir tidak terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur kita” yang pada kenyataanya ada cukup banyak konflik yang terjadi. Dari kasus Kendeng sampai Bandara NYIA di Yogyakarta.
Belum lagi soal “dalam tiga tahun ini tidak terjadi kebakaran lahan, hutan, kebakaran lahan gambut” yang pada kenyataannya ada kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Barat sampai menewaskan 4 orang.
Itu baru kasus-kasus besar saja. Belum lagi kalau bicara soal impor jagung atau impor beras, ada sedikit luput data berupa angka yang sebenarnya bisa disasar. Tapi, Prabowo bukannya agresif sejak awal tapi malah keseringan memuji kinerja Jokowi.
Setidaknya ada enam kali Prabowo malah sempat memberikan apresiasi kepada kinerja pemerintah. Dari capaian Jokowi di bidang infrastruktur sebanyak dua kali, capaian pemerintah soal penindakan hukum di bidang lingkungan hidup sebanyak tiga kali, dan satu kali soal kemandirian ekonomi yang sedang diusahakan Pemerintah.
Ini beberapa contoh pernyataannya:
“Saya menghargai niat Pak Jokowi dalam memimpin pembangunan infrastuktur…”
“Saya tentunya selalu menghargai kalau ada tindakan-tindakan yang benar-benar melaksanakan fungsi pemerintah. Jadi saya dalam hal ini ya saya mengakui kalau demikian prestasi Bapak, ya kita hormti dan kita akui dan kita dukung…”
“Kita hargai usaha kalau pemerintah sudah mengejar dan memang itu yang harus kita lakukan.”
Meski begitu, uraian yang terlihat menjadi penghargaan kepada Pemerintah dari Prabowo ini hanya premis awal saja. Di premis berikutnya, Prabowo selalu melayangkan kritik lalu memberikan tawaran baru.
Seperti kalimat, “… namun namanya demokrasi, saya menawarkan suatu strategi yang lebih cepat membawa kemakmuran dan keadilan bagi rakyat Indonesia.”
Harus diakui ada strategi baru yang ditawarkan oleh BPN Prabowo-Sandi dalam debat capres kedua kali ini. Meski masih bisa diperdebatkan apakah cara ini efisien atau tidak, tapi tampaknya Timses Prabowo berupaya memakai strategi berlandas pepatah Jawa, yakni “orang Jawa kalau dipangku, mati.”
Hm, ini sangat menarik.
Begini. Jokowi itu merupakan orang Jawa tulen tidak bisa diserang secara sembarangan. Harus ada strategi-strategi khusus.
Kita bisa berkaca saat debat capres perdana berlangsung, di mana Prabowo menyindir persoalan hukum ke Jokowi, lalu mendadak Jokowi langsung menikam dengan perkara Ratna Sarumpaet dari belakang.
Belajar dari hal itu, tampaknya BPN Prabowo-Sandi langsung berupaya menggunakan strategi-strategi berbeda. Dan itu terlihat jelas ketika Prabowo menggunakan strategi yang merupakan metafor dari aturan penggunaan aksara Jawa. Itu lho huruf mlungker-mlungker kayak aksara bahasa nasional Thailand yang “hap-hap” itu.
Nah, dalam aksara jawa ada satu huruf yang diberi nama “pangkon”. Fungsinya adalah mematikan fonem vokal pada aksara jawa.
Misal huruf “ba” jika ketemu pangkon maka hanya akan jadi “b” saja. Selain itu penggunaan aksara ini juga harus selalu di akhir kalimat (karena ada aksara lain untuk dipakai di tengah-tengah kalimat, yakni “pasangan”).
Penghilangan huruf vokal dari aksara pangkon inilah yang dimaksud dengan “mati”. Maksudnya hurufnya mati. Entah kebetulan atau tidak, kata pangkon ini juga mirip-mirip dengan kata “pangku”.
Lalu kesamaan ini sering dikaitkan jadi (kira-kira) begini, kalau huruf di-pangkon itu pasti mati kalau orang jawa dipangku juga mati. Maksud dari kata “mati” yang terakhir ini lalu dimaknai tunduk, takluk, manut, atau bahkan kalah.
Maksud dari “dipangku” ini bisa juga diartikan dipuji setinggi langit, dipuja-puja, diapresiasi, dihargai, yang tujuannya ada di belakang kalimat, yakni jebul mau “dimatikan”.
Cara inilah yang terlihat dipakai Prabowo untuk menyerang Jokowi pada debat capres semalam. Sebuah strategi yang terlihat betul sudah disiapkan terlebih dahulu karena nyatanya sampai muncul 6 kali dalam satu malam.
Nyatanya, debat capres kedua ini Jokowi jadi terlihat semakin kelewat percaya diri dan beberapa kali malah overclaim. Terutama soal prestasi-prestasi yang secara angka tidak terlalu tepat dan penggambaran seola-olah tidak ada permasalahan sama sekali di negeri ini.
Tentu soal hasilnya bagaimana ya tinggal cebong dan kampret saja yang menyimpulkan, apakah cara ini efektif atau justru tidak berpengaruh sama sekali? Sebab cuma dua spesies itu lah yang maha benar dengan segala kecerewetannya.
Paling tidak, selain diwarnai soal unicorn dan kepemilikan lahan yang besar untuk Prabowo, debat capres kedua ini juga diwarnai dengan pernyataan Jokowi yang sering keliru data. Baik soal kebakaran hutan maupun impor jagung.
Apakah ini ada kaitannya dengan cara Prabowo memangku Jokowi sejak debat dimulai? Hm, bisa jadi.