MOJOK.CO – Perundungan terhadap pasangan gay Thailand berlanjut. Seorang pengacara bahkan menyarankan wisatawan Indonesia tidak “diterima” di Thailand.
Saya sebenarnya cukup lelah untuk berteriak dan marah-marah ke netizen Indonesia. Kayaknya nggak ada satu pun hardikan yang berhasil. Kali ini, kaum-kaum yang serupa bensin karena mudah terbakar ini kembali jadi sorotan internasional karena merundung pasangan gay Thailand. Koar-koarnya sudah sejak beberapa hari yang lalu, pasangan tersebut diam, hingga akhirnya muntab dan meminta bantuan hukum.
Awalnya saya merasa nggak ingin tahu soal ini. Sudah jadi lagu lama ketika bacot netizen bisa menghabisi jagat raya. Sayangnya kali ini mau nggak mau saya, dan mungkin kamu, perlu menghela napas jauh lebih dalam sambil nabokin jidat jauh lebih keras. Batin pun nggak bisa diam dari gumaman, “Kok ngene banget ya dulur-dulurku.”
Kasus ini dimulai dari beredarnya berita dan foto pernikahan pasangan gay Thailand di internet. Ujungnya, banyak netizen nganggur yang mampir, mulai dari dakwah nggak nyambung, ngatain, sok-sokan ngasih azab padahal bukan Tuhan, hingga mengancam bakal membunuh. Hebat banget ya, kegoblokannya.
Selama berhari-hari, entah mengapa perhatian netizen tersedot pada pasangan tersebut. Thailand memang hingga hari ini belum mengesahkan pernikahan sesama jenis, namun hal tersebut tidak membendung niat pasangan gay di sana untuk menikah. Terlepas dari sah atau tidak sah pernikahan mereka di mata hukum, yang jelas ini kan soal hukum Thailand. Kamu mau sewa Hotman Paris dan Hotma Sitompul secara bersamaan pun, kamu sulit buat menuntut pasangan gay yang baru menikah itu. Lagian ngapain? Mending benerin profil LinkedIn sama Jobstreet biar agak faedah.
Sebaliknya, Suriya Koedsang, pasangan gay Thailand yang jadi korban, sah-sah saja meminta bantuan pengacara atas pengancaman yang dilakukan netizen Indonesia. Kasus ini minimal berimbas pada citra orang Indonesia di mata orang Thailand. Pengacara Suriya, Ronnarong Kaewpetch bahkan sampai emosi dan mengusulkan agar orang Indonesia ditangkap saat memasuki Thailand. Niat mau liburan, eh malah mendekam di tahanan. Bukan tidak mungkin sentimen kedua negara jadi makin tegang.
Ada juga isu yang beredar bahwa beberapa pekerja dan mahasiswa Indonesia di Thailand terkena imbas atas profesi mereka. Ada yang ngaku di-DO sampai dipecat dari kerjaan. Meskipun, jujur, saya sendiri juga masih meragukan informasi ini sih Jangan-jangan counter attack netizen Indonesia juga senorak ini, sengaja bikin hoaks biar pada heboh dan kedua negara makin gaduh? Haduuuh. Memang paling bener diem aja dan berharap hujan kerang ajaib.
Kasus perundungan terhadap pasangan gay Thailand adalah bukti keseribu lima ratus tujuh puluh delapan koma lima bahwa bacot netizen Indonesia memang ngawur. Cangkem, eh drijine ra ditoto. Sebelumnya netizen bikin gaduh soal GothamChess vs Dewa Kipas, aktris Korea Selatan dirundung cuma karena berperan jadi pelakor, salah serang wasit All England, baku hantam fans Reemar Martin yang bawa-bawa fans BTS, penyerbuan akun Microsoft hanya karena mereka menyampaikan kebenaran, catcalling pangeran Abdul Mateen, dan, haduh masih banyak lagi, sampai capek saya nyebutinnya. Ini baru kasus multinasional ya, belum juga kasus lokal!
Kalau kamu sebel sama Kim Jong-un hanya karena blio sembarangan uji coba nuklir, kayaknya sekarang perlu berpikir ulang. Bacot netizen Indonesia hampir semengerikan serangan rudal, radiasi yang ditinggalkannya pun nggak kalah sama nuklir, bisa meninggalkan luka mendalam dalam waktu yang lama. Kalau nggak segera dikontrol, netizen Indonesia adalah penyebab perang selanjutnya. Kurang seram apa?
Jangan mengira barbarnya netizen adalah kebanggan dan prestasi. Memang sih kita jadi “punya suara” dan lebih mudah didengar sama netizen seluruh dunia. Tapi, ketidakmanfaatannya sungguh jauh lebih banyak. Stigma buruk sudah melekat. Ujungnya, mereka yang nggak pernah ikut komen, yang awalnya nggak peduli kayak saya, kena imbas juga. Sebagai contoh, PDKT saya sama mas bule bisa terancam gitu.
Salah satu sepupu saya yang tinggal di Berlin pernah begitu malu mengaku sebagai orang Indonesia karena terkenal suka molor diajak janjian. Saya tebak, orang Jepang yang terkenal disiplin juga sebel sama tabiat orang-orang kita yang begini. Jadi, sudah cukuplah orang Indonesia menanggung malu dengan stigma ngaret ini. Jangan ditambah-tambahin buruk karena perundungan pasangan gay Thailand ini.
Saya sih cukup yakin menyarankan pendidikan media sosial buat masuk kurikulum sejak SD sampai SMA. Minimal PPKn ditambah bab tentang menggunakan internet dengan wajar. Kalau bisa sekalian dikasih gambaran logis dengan kasus-kasus yang belakangan terjadi. Kalau nggak gini, mindset barbar dan ngawurnya netizen Indonesia makin nggak terbendung. Lagian membendung ini semua dengan UU ITE malah jadi kocak.
BACA JUGA Netizen Beramai-Ramai Memprotes Gaya Komentator Valentino “Jebret” Simanjuntak yang Dianggap Terlalu Lebay melalui Tagar #GerakanMuteMassal dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.