MOJOK.CO – Dengan kerja keras kita memang bisa mendapatkan hal yang bikin bahagia. Namun dengan kerja keras juga, kita mendapatkan ketidakbahagiaan.
Bagi banyak orang, terlalu menenggelamkan diri dalam pekerjaan bukan dianggap sebagai masalah yang berarti. Dalam budaya kita, bekerja keras memang memiliki nilai yang besar. Mungkin ada skema dalam masyarakat yang menjadikan rutinitas semacam itu adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan, sebagai makhluk hidup yang bertanggung jawab akan masa depan.
Seolah-olah, tidak masalah jika kita bekerja setiap hari. Tidak mengenal waktu, tidak mengenal hari libur. Toh, bagaimana pun juga kita harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bukankah kita butuh uang untuk bertahan hidup? Namun, apakah betul peran uang ini sebegitu pentingnya untuk menentukan kebahagiaan kita? Apakah banyak uang memang betul-betul jaminan bahwa kita tidak akan merasakan hampa—karena bisa membeli apapun yang kita mau?
Lagian, bukankah segala kerja keras ini dilakukan juga untuk mendapatkan kenyamanan di masa tua nanti? Kerja keras ini adalah tabungan kita, supaya kita segera mencapai posisi yang nyaman tanpa perlu bekerja lagi. Pertanyaannya, pertama, kapan kita akan merasa cukup dan akan menemukan posisi nyaman yang kita harapkan? Kedua, apakah kita yakin hasil kerja keras tersebut juga kita sendiri yang bakal merasakannya?
Ya, mohon maaf nih, jangan sampai kita terlalu berambisi untuk menemukan sebuah kebahagiaan besar—untuk jangka waktu yang masih sangat jauuuuuh di depan. Namun kita lupa untuk menikmati kebahagiaan-kebahagiaan kecil dan sederhana yang harusnya juga kita rasakan dalam perjalanan panjang—dan tekadang melelahkan—tersebut.
Memang betul, dalam perjalanan hidup pada umumnya, kita harus bekerja keras di usia muda untuk dapat menikmatinya dengan khusyuk di masa tua nanti. Namun, bukankah setiap perjalanan seseorang tidak sama? Bagaimana jika kita terlalu bekerja keras dan tidak merasakan kebahagiaan apapun? Yang ada…
…justru kita perlahan sedang menimbun berbagai macam penyakit yang bisa mengancam kita, KAPAN SAJA. Ya, bagaimana tidak? Perasaan tidak bahagia menyebabkan kekebalan tubuh kita tidak bekerja dengan baik. Jadi, kalau—maaf naudzubillah—kerja keras kita lah yang ternyata diam-diam menggerogoti kesehatan kita dan membuat kita mati perlahan, bagaimana?
Begini, kita bangun dengan sebuah alarm yang berbunyi dengan keras. Membuat kaget dan terlunjak. Lalu memaksa kita cepat-cepat untuk mempersiapkan diri berangkat bekerja. Bekerja sehariaaaaaan. Tidak masalah jika pekerjaan tersebut adalah aktivitas yang kita cintai dan dapat memberikan rasa bahagia di dada. Namun, jika aktivitas tersebut adalah sebuah pekerjaan yang tidak kita suka dan malah menyiksa, bagaimana?
Apalagi kita tidak lagi merasakan nikmatnya bekerja, namun justru merasa kewalahan dan keteteran dengan pekerjaan yang semakin menumpuk dan tidak ada habisnya. Kita merasa selama ini bekerja dengan begitu kerasnya, hasilnya ya gitu-gitu aja. Nggak ada perkembangan apapun yang bisa bikin diri sendiri menjadi puas dan bahagia. Yang kita rasakan hanya mentok pada letih, lelah, lesu, lunglai, dan lemah. Oh, apakah kita sakit anemia?
Setelah seharian berkutat dengan aktivitas yang menjadi rutinitas tersebut, kita pengin langsung pulang, rebahan di kasur empuk, dan memejamkan mata. Apalagi jika sebelumnya memilih lembur, lembur, dan lembur untuk mendapatkan semakin banyak pundi-pundi tabungan. Tentu saja, aktivitas lain sekadar untuk bercengkrama dengan keluarga, teman, atau orang dekat, tidak ada dalam agenda. Kita malah merasa bersalah jika menggunakan waktu untuk untuk orang-orang tersayang ini.
Apalagi mengalokasikan waktu untuk melakukan aktivitas yang kita gemari. Atau pun memilih me time, ber-quality time dengan diri sendiri dengan perawatan diri atau sekadar maraton nonton film di akhir pekan. Sayangnya, pada hari libur pun kita masih saja kepikiran dengan pekerjaan-pekerjaan tidak menyenangkan yang belum selesai di minggu itu atau yang sedang menanti di awal minggu. Membuat kita tidak sanggup untuk: menikmati libur dengan tuma’ninah dan sepenuhnya.
Coba saja bayangkan, jika kondisi tubuh kita sudah diforsir habis-habisan dengan rutinitas tidak ada habisnya. Namun jiwa kita juga tidak mendapatkan asupan energi kebahagiaan? Apa yang kira-kira terjadi dengan kondisi semacam itu?
Sungguh, Sayang, ini semua sama saja mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Kita menjadi manusia yang sama sekali tidak memikirkan diri kita sendiri. Tidak menyayanginya dan memperlakukannya dengan semena-mena, seenaknya, dan ngawur.
Kita sangat butuh untuk membatasi diri untuk mengerjakan segala tuntutan. Kita tidak bisa melakukan semua daftar pekerjaan dan segala tanggung jawab yang dibebankan pada kita, hari itu juga! Kita harus bisa mengontrol diri kita sendiri, untuk memberi batasan diri. Bagaimana pun juga, memberikan batasan sangat berguna supaya kita bisa bekerja dengan lebih baik lagi. Lelah, hanya akan mengacaukan segalanya, Sayang….
Dipaksa macam apapun, kita tidak akan bisa membahagiakan semua orang. Kita tidak bisa selalu membahagiakan bos-bos si pemilik modal—bahkan ketika kita telah berusaha mengeluarkan segala daya upaya yang kita bisa. Oleh karena itu, kita lebih baik fokus saja untuk mencapai kebahagiaan diri kita terlebih dahulu.
Kita perlu egois dan tak peduli dengan aturan yang ada, karena itu adalah kebutuhan.