MOJOK.CO – Sebuah video buang sesajen sambil meneriakkan takbir di Lumajang viral. Tindakan ini jelas memicu berbagai reaksi dari netizen.
Berperilaku profetik itu bisa periodik. Anda bisa memilih tergantung pada riwayatnya, nabinya, zamannya, dan konteks sosialnya. Pilihan-pilihan itu semua akan menunjukkan bagaimana sifat asli dan bagaimana Anda memahami agama Anda.
Kalau Anda membaca kisah Nabi Musa yang memukul mandor Yahudi sampai koit pada zaman Firaun, lalu merefleksikan riwayat itu dalam kehidupan sehari-hari dan berperilaku serupa terhadap semua orang Yahudi tanpa kecuali (baik yang jahat maupun yang baik), ya itu artinya Anda tak beda jauh dengan NAZI.
Bedanya, kalau Adolf Hitler dan bolo-bolo-nya memakai ideologi partai, maka Anda pakai sedikit tafsir dalam agama Anda. Sama-sama ideologis juga sih jatuhnya. Keyakinan yang sudah sampai ulu hati.
Atau…
… kalau Anda percaya bahwa tindakan Nabi Ibrahim begitu heroik ketika menghancurkan berhala kaum Raja Namrud, lalu merefleksikannya secara membabi buta dengan menghancurkan sesembahan atau sesajen yang Anda temui di jalanan, di pegunungan, atau di Lumajang seperti video di bawah ini…
Masyarakat Sumbersari, Lumajang habis mengadakan acara sedekah desa dan ruwatan untuk memohon keselamatan dari bencana tapi diperlakukan seperti ini. pic.twitter.com/zvn44QTmt4
— Sam Setiawan (@Setiawan3833) January 8, 2022
…maka, Anda tak beda jauh dengan tindakan sahabat Nabi ketika mencela sesembahan kaum kafir Quraisy.
Tindakan yang lantas menjadi asbabul nuzul dari turunnya ayat walaa tasubbulladziina yad’uuna min duunillaahi (dan janganlah kamu memaki tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah). Ada di surat Al-An’am ayat 108.
Sejujurnya, ketika melihat postingan Habib Husein Ja’far di Twitter soal ayat itu—menanggapi video penghancuran sesajen di Lumajang itu, saya sempat merasa bahwa ayat ini cukup ampuh untuk meredam tindakan intoleransi seperti ini.
Pada kenyataannya, tidak jarang ada juga akun-akun yang malah mendukung perilaku menghancurkan sesajen warga di Lumajang seperti itu. Agak mengejutkan sih memang. Soalnya saya pikir, tidak bakal ada orang yang mendukung tindakan arogan seperti itu.
Beberapa pendukung aksi ini melandasi bahwa tindakan hancurin sesajen ini dilakukan bukan terhadap umat agama lain, tapi kepada sesama muslim yang telah melakukan tindakan musyrik.
Sejujurnya, ini poin yang mengkhawatirkan sebenarnya. Soalnya, tidak ada yang tahu betul siapa yang menaruh sesajen tersebut, apa agamanya—atau minimal—apa status agama di kolom KTP-nya. Ini tudingan yang sangat serius soal keyakinan orang lain lho btw.
Kedua, sekalipun—misalnya—orang yang menyiapkan sesajen tersebut di KTP-nya memang tertulis Islam, Anda juga harus ingat bahwa aturan negara kita hanya mengakui 6 agama saja di Indonesia. Jumlah yang sangat kecil kalau melihat berapa banyak jumlah agama di seluruh dunia
Kalau ada agama lain di Indonesia, seperti penghayat kepercayaan, yang tidak diakui secara administrasi oleh negara, itu bukan berarti agama itu tidak eksis di sini. Agama itu ada, dan ada pengikutnya.
Dan ketika ada pengikutnya, meski tidak diakui oleh negara, bukan berarti kita bisa sewenang-wenang menghancurkan cara ibadah atau sesajen mereka—lalu menggelari mereka dengan sebutan kaum musyrik. Toh, penganut agama yang tidak diakui negara ini juga berhak hidup dengan kepercayaannya.
Orang-orang seperti ini ada, dan saya pernah bertemu beberapa di antara mereka. Seperti misalnya, saya pernah bertegur sapa dengan umat agama Sikh Indonesia, dan mereka terpaksa harus dimasukkan ke kolom agama Hindu karena Sikh memang belum diakui sebagai agama sendiri di Indonesia. (Ini agak lucu sih, soalnya di Amerika sana, Sikh justru dianggap mirip dengan Islam).
Selain umat Sikh, saya juga pernah ngobrol dengan salah seorang penghayat kepercayaan, dan dalam kolom KTP-nya, ia terpaksa harus memilih kolom Islam demi bisa mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.
Dengan begitu, kolom agama di KTP sejatinya tidak menjamin keimanan dan kepercayaan seseorang terhadap suatu agama yang Anda kira. Lagipula, bukankah kita selama ini juga familiar dengan istilah “Islam KTP” atau “Kristen KTP” bukan?
Tapi taruhlah bahwa yang menaruh sesajen di Lumajang itu beneran Islam. Maksud saya, ia juga salat, bayar zakat, atau mungkin naik haji juga, apakah lantas perilaku menghancurkan sesajen yang dianggap sakral orang lain itu bisa membuatnya sadar agar tidak jadi musyrik seperti tudingan Anda?
Hm, kan ya tidak dong, Sulaiman. Menghancurkan sesajen seperti itu justru semakin membuat orang tersebut semakin meyakini apa yang dilakukannya benar.
Orang-orang yang sesajennya Anda hancurkan itu bisa jadi justru akan semakin jauh dari keyakinan Anda. Ya kali, siapa juga orang yang mau meyakini tafsir agama dari orang yang telah menghancurkan hatinya? Sakit hati banget lah itu orang yang kasih sesajen.
Hambok, sekali-sekali punya empati, Bosque. Gimana kalau misalnya tempat ibadah Anda atau cara ibadah Anda yang dibegitukan? Apa iya Anda nggak ngamuk-ngamuk? Hayaaa jelas ngamuk lah. Itu hal paling intim soal hubungan manusia dengan wujud Tuhan yang dia yakini jeh. Itu jeru, Bosque.
Menghancurkan sesajen secara sembrambangan dan bikin wibawa Islam sebagai agama turun itu tentu jadi kontraproduktif dengan rencana Nabi Muhammad sejak ayat pertama turun. Bahwa dakwah itu upaya utamanya soal mengajarkan saja, mengajak saja, bukan mencari musuh sebanyak-banyaknya dengan rese gasak sana-sini.
Nabi itu punya musuh bukan karena kepengin cari musuh, tapi ya karena dimusuhi. Itu dua hal yang berbeda. Pada awal penyebaran Islam, apa iya Nabi menyuruh berhala-berhala di Mekkah itu dihancurin? Kan ya tidak dong ya. Ada prosesnya itu, nggak yang ujug-ujug datang di tempat baru lalu main kafir-kafirin atau musyrik-musyrikin orang.
Nabi udah capek-capek menyebarkan Islam, eh sekarang umatnya malah ada yang berusaha keras membuat wajah Islam jadi entitas yang dijauhi orang-orang. Pitikih?
Oke deh, Anda boleh tidak peduli karena Anda merasa sudah yang paling benar dan mereka (atau saya deh) sebagai pihak salahnya, tapi apa iya Anda mikir, bahwa orang-orang yang sudah Anda sakiti kepercayaannya itu justru akan semakin menjauhi agama yang Anda dakwahkan?
Kalau sudah begitu, apa bedanya Anda dengan setan dalam kepercayaan Anda? Yang malah demen banget bikin jauh orang-orang dari Tuhannya.
BACA JUGA Teriak Bahaya Radikalisme, Ngurus Masjid di Kampung Sendiri Aja Nggak Mau atau tulisan POJOKAN lainnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi