MOJOK.CO – Di masa ketika kampus ada di mana-mana, lulus kuliah seharusnya adalah hal yang biasa, baik orang miskin maupun kaya.
Sangat masuk akal rasanya jika Mahfud Ikhwan, sastrawan pilih tanding itu menyentil berita tentang anak petani karet yang berhasil lulus kuliah dengan status cumlaude di UGM.
“Sebagai anak petani yang sudah tak menanam karena tak bertanah yang lulus UGM, lubang hidung saya jadi gatel kalau baca berita macam ini. Apa anak petani memang sudah selangka itu di UGM, Jo?” Begitu komentarnya melalui dinding Facebooknya.
Saya pikir, kegelisahan, atau setidaknya, rasa tak habis pikir, atas aneka berita yang menceritakan tentang anak-anak miskin yang lulus kuliah dengan dengan atau tanpa status cumlaude juga dirasakan oleh banyak orang.
Entah kenapa, tiap tahun ajaran baru, selalu saja ada berita-berita macam itu. “Anak tukang becak lulus cumlaude di UGM”, “Buruh tani ini sanggup kuliahkan anaknya dua orang anaknya sampai lulus”, “Lulusan terbaik UI tahun ini ternyata anak penjual lotek”, dan aneka-aneka judul lainnya dengan konsep yang sama.
Awalnya, berita-berita macam itu memang terasa sebagai sebuah motivasi. Bahwa orang miskin bisa juga punya kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi dan mendapatkan peluang yang sama dengan orang-orang yang lebih makmur. Namun ketika hal itu terjadi terlalu sering, sensasi motivasi itu justru menjadi tergerus dan perlahan hilang.
Ia justru semakin menunjukkan bahwa orang miskin yang bisa lulus kuliah adalah hal yang sangat langka, dan saking langkanya, karena itulah ia kemudian layak untuk diberitakan.
Dalam konteks sentilan Mahfud Ikhwan yang menyentil berita tentang anak petani yang lulus cumlaude dari UGM, itu bisa menjadi semakin getir, sebab bagaimana pun, UGM adalah kampus yang dulu pernah dijuluki sebagai kampus rakyat. Kampus yang “seharusnya” memang lebih banyak diisi oleh rakyat kebanyakan.
Anak miskin, atau setidaknya anak dari orangtua yang pekerjaannya tidak mentereng, seharusnya memang lumrah jika lulus (utamanya cumlaude) dari UGM. Ha kampus rakyat, je.
Hal yang biasa, maka seharusnya juga ditanggapi biasa. Bukan malah sampai diberitakan. Ketika ia diberitakan, ia justru menjadi kasus yang luar biasa.
Benar bahwa orang-orang memang selalu menyukai kisah from zero to hero, bahwa kisah tentang orang-orang yang miskin, orang-orang yang tidak berada, orang-orang yang terpingirkan, namun berhasil meraih sesuatu, akan selalu menjadi kisah yang layak dijual. Namun kisah orang miskin yang lulus kuliah saya pikir memang terlalu overrated untuk dimasukkan sebagai kisah from hero to zero.
Dunia perkuliahan sekarang sudah tidak seperti masa 20-30 tahun lalu, di mana orang-orang yang bisa kuliah hanya mereka yang memang benar-benar kaya. Sekarang, kuliah sudah menjadi sesuatu yang amat biasa. Menjadi mahasiswa saat ini bukan lagi perjuangan yang berdarah-darah.
Kampus-kampus berdiri dengan jumlah yang amat banyak seperti jamur di musim penghujan. Dari yang seleksinya susah sampai yang masuknya bahkan perlu dipaksa karena saking sepinya peminat. Dari yang ngasih bonus kalender buat mahasiswa baru sampai yang ngasih bonus laptop. Dari yang rektornya rangkap jabatan sampai yang rektornya kayak nggak punya jabatan. Semuanya ada.
Dengan kondisi seperti itu, bukanlah hal yang istimewa ketika seseorang bisa kuliah dan lulus. Mau ia miskin atau tidak, mau ia cumlaude atau tidak.
Di media sosial, utamanya Twitter, kini sudah mulai terbaca jelas sentimen terhadap berita-berita macam itu. Banyak orang mulai alergi dengan berita-berita macam itu. Romantisasi kemiskinan dalam perspektif kesuksesan ini terasa semakin menyebalkan dan membosankan, untuk tidak menyebutnya norak. Dan saya tampaknya memang harus sepakat.
Saya pikir media-media juga kampus-kampus memang sudah tak perlu lagi mengglorifikasi anak miskin yang lulus dari kampus. Biarlah itu menjadi hal yang biasa saja, sebab hal itu memang sudah seharusnya menjadi biasa.
Jangan sampai hal yang biasa justru diluarbiasakan. Sebab itu bakal melahirkan standar biasa yang baru. Sama seperti slogan salah satu calon kepala daerah beberapa waktu lalu: Mboten korupsi mboten ngapusi.
Betapa menyedihkannya, ketika ada calon kepala daerah menjual status jujur dan tidak korupsi kepada calon pemilihnya, padahal jujur dan tidak korupsi adalah hal yang memang sudah seharusnya dimiliki oleh siapa pun yang menjadi kepala daerah.
Jujur dan tidak korupsi itu harusnya sebuah kewajiban yang biasa saja, bukan nilai tambah yang istimewa dan spesial.
Begitu pula orang miskin yang lulus kuliah.
BACA JUGA: Cara cepat Menjadi Kaya dan tulisan AGUS MULYADI lainnya.