Sejak kecil, saya selalu yakin bahwa organ tubuh saya yang paling sejahtera dan sentosa adalah barisan gigi-gigi saya yang tumbuh dengan begitu kokoh dan gagah, bahkan cenderung sporadis dan provokatif.
Gigi yang saya miliki ini selalu saya banggakan. Ia menjadi salah satu prgan tubuh saya yang paling kuat dan tahan banting. Kalaupun ia harus sakit, paling mentok sehari-dua pasti sudah sembuh. Itu pun mungkin semata agar gigi saya tetap menjadi gigi yang manusiawi. Gigi yang tetap punya jatah untuk sakit.
Namun, sekitar dua bulan kemarin, gigi saya akhirnya mengalami sakit parah pertamanya. Saking parahnya, penanganannya sampai harus membutuhkan tindakan operasi dengan ongkos yang tak sedikit.
Itu sakit gigi terparah yang pernah saya alami sepanjang hidup saya.
Keperkasaan dan kegagahan gigi saya yang selalu saya banggakan pada akhirnya tumbang juga oleh waktu.
Sebulan yang lalu, saya masuk rumah sakit karena jengkolan. Itu penyakit yang, sungguh, saya merasa sangat sakit hati saat saya diserang olehnya.
Betapa tidak, sedari kecil, saya sudah jadi pemangsa jengkol. Saya bahkan menempatkan jengkol sebagai daftar teratas sayur yang paling saya gemari, di atas tumis kangkung dan sayur kulit melinjo.
Saya sanggup tambah sampai tiga kali jika ibu saya memasak sayur jengkol. Dan selama ini, saya tak pernah kenapa-napa.
Tapi entah bagaimana ceritanya, bulan lalu, saya harus dilarikan ke rumah sakit karena jengkolan. Perut saya sakit luar biasa. Begitu pula dengan ujung penis saya.
Saya memang makan jengkol terlalu banyak bulan lalu, namun tentu saya tak menyangka jika saya akan kena jengkolan. Sebab saya pernah dan berkali-kali makan jengkol dalam porsi yang jauh lebih banyak ketimbang saat saya terkena jengkolan bulan kemarin.
Jangan-jangan, tubuh saya memang tak lagi kuat untuk bisa menahan racun jengkol.
Yang paling bikin saya merenung tentu saja adalah mata saya.
Saya merasa bahwa saya adalah lelaki dengan pandangan rajawali. Pandangan saya amat jernih. Tak pernah sekali pun saya terbayang bakal mengalami gangguan pada mata saya.
Namun, minggu kemarin, saya tak bisa lagi menyembunyikan kelemahan mata saya.
Pandangan saya semakin hari semakin kabur. Saya bahkan tak sanggup membaca dengan jelas tulisan nama klub sepakbola beserta skor pertandingan saat saya menonton siaran sepak bola di layar televisi yang jaraknya hanya beberapa meter.
Saya menyerah, saya akhirnya memeriksakan mata saya. Dan akhirnya, saya harus menerima kenyataan. Mata saya minus. Kecil sih tingkat minusnya, tapi bagaimana pun, ia tetaplah minus.
Saya mau tak mau harus pakai kacamata. Hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Mata saya yang sedari dulu saya anggap sebagai mata yang tajamnya ngaudubillah setan ini akhirnya harus dibantu dengan lensa hanya untuk bisa memandang dengan jelas.
Waktu pada akhirnya memberikan pelajaran penting pada saya. Bahwa tubuh saya memang tak akan selalu sehat. Ia pasti akan berkurang ketahanannya.
Sembari menulis ini, saya merenung, entah tubuh bagian mana lagi pada diri saya yang kelak bakal mengalami gangguan.
Siap tidak siap, saya harus menerima.
Saya hanya berharap, jika kelak tubuh saya mengalami gangguan, saya tidak terlalu menyusahkan orang-orang yang saya sayangi.