MOJOK.CO – Pada mulanya MacBook Retina 12 yang saya pakai itu ribet. Maklum, saya pengguna Windows. Tapi kalau udah kadung nyaman, duh.
Karena suatu hal, MacBook yang saya pakai harus dikembalikan ke kantor. Maklum lah, ini MacBook dinas, bukan punya saya. Artinya, saya harus berburu laptop baru lagi kalau masa dinas saya nanti kelar.
Masalahnya, saya pakai MacBook Retina 12 Inch. MacBook mungil yang kayak tablet bentuknya, tapi punya layar jernih (karena seri Retina sih) dan cukup asyik. Barang yang—baru saya sadari kemudian—ternyata cukup susah dicari.
Saya juga tidak tahu sebelumnya bahwa MacBook ini jarang banget yang jual. Ini pengalaman yang saya baru tahu ketika harus mencari seri MacBook yang sama sebagai pengganti laptop dinas untuk saya pakai pribadi nantinya.
Oke saya tahu, selain karena sudah tidak diproduksi lagi oleh pabrikan Apple, MacBook Retina 12 ini juga tidak banyak yang mau jual sekennya. Kalaupun ada, harganya masih lumayan mahal. Berkisar antara 10-12 juta. Padahal secara spek ini MacBook nggak wah-wah banget.
Sejujurnya ini rada-rada nggak masuk akal pada mulanya, namun ketika menggunakan MacBook Retina 12 Inch selama hampir 2 tahunan, saya jadi sadar kenapa jarang ada yang mau menjualnya kembali kalau bukan karena memang mau upgrade.
Saya kasih tahu bagian nggak masuk akalnya kenapa ini seri cukup jarang yang mau jual sekennya.
Gini deh, tahun produksi seri ini paling muda saja ada di tahun 2017. Itu udah 5 tahun yang lalu lho. Artinya, MacBook yang jauh lebih muda dan bagus lebih banyak dong, ya kan? Dengan harga yang sama, bahkan kamu bisa dapat seken yang spek sedikit lebih baik.
Boro-boro yang bikinan tahun 2017, yang produksi 2016 saja harga sekennya masih di kisaran 10-11 jutaan lho. Teman saya punya yang seri 2015 dan dia mau ngelepas di harga 7,5 juta. Wah, murah tuh. Waktu saya kejar dengan beringasan, teman saya malah mundur.
Mungkin dia sadar, “Kok ngebet banget pengen Mac-ku ya?”… lalu dia mikir kalau dia ngerasa ngejualnya terlalu murah untuk saya. Howalah, pancen kadal!
Padahal, MacBook seri ini bahkan hanya punya dua port doang. Satu untuk ngecas (dalam bentuk type-C) dan satu untuk colokan headset. Tanpa kipas dan tanpa lubang USB. Benar-benar minimalis banget.
Gara-gara itu, harus diakui MacBook Retina 12 Inch ini kalau dipakai sambil ngecas plus colokan headsetnya dipakai, cenderung cepet panas. Ya karena lubang ngeluarin panasnya ditutupin semua. Masuk akal sih, nggak ada kipas, compact, dan kecil banget barangnya.
Masalahnya, satu-satunya yang bikin saya kesemsem sama MacBook Retina 12 Inch (dan mungkin mereka-mereka yang punya) adalah dimensi barangnya! Ya itu. Ukurannya! Luar biasa nyaman!
Saya bahkan rela beli tas khusus untuk MacBook Retina 12 Inch. Tas yang bentuknya seperti tas pinggang. Jadi orang nggak bakal tahu kalau saya sedang bawa laptop. Ini enak banget sih, sumpah.
Secara ukuran, MacBook Retina 12 Inch itu sebenarnya hampir sama persis dengan seri MacBook Air yang 11 Inch. Hanya saja, karena udah Retina, frame empat sisi di monitor bisa dimaksimalkan sebagai layar.
Makanya, meski dimensi barangnya sama dengan seri MacBook Air 11 Inch, layar MacBook Retina 12 Inch terasa lebih lebar. Berasa nggak pakai laptop kecil gitu kalau lagi dioperasikan.
Sudah begitu, ketajamannya layarnya juga jauh di atas laptop-laptop dengan ukuran yang sama—bahkan dibanding MacBook 11 Inch. Makanya, wajar, dengan segala kekurangannya… MacBook Retina 12 Inch ini cukup jarang banget ada yang mau ngejual kembali. Peforma mesin memang standar (standar Mac lho ya), tapi bentuknya itu lho, yang bikin jatuh cinta.
Bahkan kalau misalnya saya keluar duit yang sama, saya bisa aja dapat MacBook Pro 2017 seken, meski dengan storage kecil atau MacBook Air yang lebih muda lagi. Jauh lebih perform malah. Sayangnya, ukuran itu penting jeh, terutama kalau kamu udah telanjur nyaman pakai yang kecil dan minimalis kayak MacBook 12 Inch ini.
Ada sih solusi dari itu semua, yakni balik ke Windows lagi. Balik ke habitat lama saya sebagai pengguna Lenovo, Asus, atau Acer. Cuma ada dua masalah besar dari solusi ini.
Pertama, harga laptop Windows itu juga nggak bisa dibilang murah belakangan ini. Konon karena ada kelangkaan bahan baku dan permintaan pasar yang lagi tinggi-tingginya (di masa pandemi semua rapat dan pertemuan jadi kayak harus pakai laptop kan?). Artinya, kalau mau yang spec biasa-biasa aja sih bisa aja.
Sayangnya, mengingat kebutuhan saya yang sangat-sangat tergantung sama laptop dengan kemampuan multitasking (butuh RAM besar) dan booting yang jangan lama-lama, maka pilihannya jatuh ke laptop seri Thinkpad. Sebuah laptop yang saya pikir berani diadu sama MacBook, cuma dengan pasar yang berbeda.
Problemnya, laptop ThinkPad harga termurahnya ada di kisaran 16 juta (barusan saya cek soalnya). Harga sekennya sih murah-murah. Sayangnya, karena ini laptop gampang banget dioprek, jaminan perangkatnya masih bagus patut dipertanyakan kalau beli seken.
Atau kalau mau, bisa sih nunggu kayak fenomena tahun lalu. Di mana ada kantor yang mau ganti perangkat laptop karyawannya, terus ngejual ribuan laptop ThinkPad dengan harga 3,6 jutaan doang di Indonesia. Cuma kan yang begitu-begitu nggak tiap hari ada.
Selain ThinkPad yang harganya nggak kalah mahal daripada MacBook, ada juga Asus yang tipe VivoBook. Cuma masalahnya, yang bagus itu ada di ukuran layar 15 inchi dan RAM-nya cuma 4 GB (bisa diupgrade juga sih sebenarnya). Layar segede layar bioskop gitu buat apaan coba? Orang saya justru cari yang imut-imut jeh.
Gara-gara kebimbangan itu, dan juga harga laptop OS Windows yang nggak lebih murah untuk performa yang setara dengan Mac, tentu bikin saya jadi harus terpaksa berburu MacBook lagi.
Nah, itu tadi problem pertama. Problem kedua, MacBook dengan OS-nya itu beneran kayak narkoba. Hambok yakin.
Pada mulanya kamu nggak akan suka, males untuk belajar lagi—terutama kalau kamu die hard Windows. Tapi begitu kamu udah kecemplung dan terbiasa menggunakannya… kamu bakal tak bisa lepas dari jeratan itu. Ya, saya akui, saya merasakan kenorakan itu.
Makanya saya percaya, Apple dan sindikasinya itu sebenarnya kartel sih. Gini amat bikin produk. Keluarga Steve Jobs nggak mau bikin yayasan panti rehabilitasi gitu apa gara-gara ini?
Saya “korban” lho ini.
BACA JUGA Culture Shock Pengguna Windows ke Macbook yang Bikin Kita Merasa Norak dan tulisan soal Gadget lainnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi