MOJOK.CO – Milenial kurang nasionalis kata Bamsoet. Ya maaf, kami jadi kurang nasionalis karena melihat petingkah politikus brengsek yang justru tidak nasionalis.
Bambang Soesatyo atau biasa disapa Bamsoet berpendapat bahwa kurangnya rasa nasionalis pada milenial bisa menjadi semacam “bom waktu” bagi Indonesia. Apakah beliau tidak berpikir bahwa milenial dan generasi Z sekarang itu lelah dengan petingkah politikus yang makin aneh?
Bamsoet ngomong begitu sebagai bentuk respons atas hasil survei CSIS yang mencatat bahwa ada sekitar 10 persen generasi milenial yang setuju mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Pada titik ini, saya setuju kalau hal ini bisa menjadi “bom waktu”. Menjadi masalah di masa depan.
Saya pribadi, sebagai milenial, nggak setuju Pancasila diganti. Namun, soal nasionalis, nanti dulu.
Saya rasa ini momentum bagus untuk menyampaikan kepada Bamsoet dan politikus-politikus lain perihal rasa muak yang dialami milenial. Saya juga curiga generasi Z juga merasakan rasa sumpek yang sama. Jika pendapat ini tidak didengar, bukan tidak mungkin angka golput dan rasa benci kepada politikus akan semakin memuncak.
Kenapa saya menganggap hal ini penting untuk didengar Bamsoet sebagai Ketua MPR dan politikus lain? Silakan simak obrolan netizen di media sosial ketika merespons berita yang mengatakan bahwa milenial kurang nasionalis.
Generasi kami sudah makin tidak peduli kepada mereka yang ingin mengubah Pancasila. Ketika isu ini naik ke permukaan, paling cuma sebentar jadi obrolan hangat. Toh petingkah politikus sendiri banyak yang tidak mencerminkan Pancasila itu sendiri. Mulai terlihat polanya, kan.
Yang generasi kami rekam secara utuh di dalam kepala adalah kekecewaan kepada pemerintah, yang berisi orang tua yang seakan-akan selalu menyalahkan anak muda. Kami semakin sadar bahwa “para orang tua” di pemerintahan sudah memberi contoh buruk.
Sampai titik ini, saya agak bersyukur Tuhan mendatangkan pandemi di dunia ini. Lewat pandemi, kami jadi bisa melihat betapa tidak kompetennya politikus dan orang tua berjas di kursi pemerintah. Kami jadi bisa melihat betapa “wakil rakyat” itu justru tidak punya empati dan akal sehat.
Mulai dari bagaimana anggota dewan hingga Presiden tidak segera bertindak ketika pandemi mulai merambat mendekati Indonesia. Tindakan meremehkan pandemi, membuat pandemi sebagai bahan candaan, tidak mendengarkan pendapat ahli kesehatan, dan menyalahkan rakyat ketika pandemi meluas hanya secuil contoh.
Ketika anggota dewan positif Covid-19, mereka meminta rumah sakit khusus. Bahkan mereka juga minta isoman di hotel berbintang. Ketika rakyat mati karena rumah sakit penuh, pesan apa yang ingin disampaikan lewat aksi tanpa empati itu?
Masih ditambah korupsi bansos yang berakhir manis untuk si penjahat. Bagaimana bisa Ketua KPK yang dengan gagah di awal menegaskan penjahat bansos bisa dihukum seumur hidup hingga hukuman mati malah cuma dihukum 11 tahun saja. Pesan macam apa yang ingin disampaikan kepada rakyat dengan sikap lunak seperti itu?
Lalu soal Pinangki. Dia sudah dihukum sejak Juni, tapi baru dipecat di Agustus. Itu saja karena beritanya ramai di media sosial dan membuat banyak orang marah. Pesan apa yang ingin disampaikan dari sebuah hukum yang baru berjalan ketika rakyat sudah kadung marah?
Pak Bamsoet yang terhormat, pemotongan hukuman untuk penjahat bansos, penyunatan hukuman untuk Pinangki, aksi teman-temanmu yang pengin isoman di hotel berbintang, dan sikap nir empati dari Mahfud MD itu apakah mencerminkan makna Pancasila? Sama sekali tidak. Itu yang bikin milenial muak dan makin tidak nasionalis.
Bukankah mereka yang bisa menentukan nasib Indoensia tapi tidak mencerminkan makna Pancasila itu yang sepatutnya disebut tidak nasionalis? Entah kebetulan atau tidak, mereka yang memberi contoh buruk itu malah gerombolan orang tua. Kenapa yang disudutkan malah milenial?
Ahh… belum lagi soal baliho Puan, Airlangga, dan politikus lainnya. Ketika hidup rakyat digencet oleh pandemi dan potensi jadi miskin, politikus sudah memikirkan kampanye. Mereka membantah dengan cepat, tapi pesan yang sudah kami rekam adalah sikap tidak punya hati nurani.
Nanti, mendekati 2024, milenial juga yang suaranya diburu. Mayoritas pemilih di 2024 adalah mereka yang masuk dalam kelas milenial. Apakah kami akan dibuai dengan janji-janji manis lagi? Saya yakin itu yang akan terjadi. Rakyat dibaik-baikin waktu suaranya dibutuhkan. Lalu dilupakan ketika Bapak dan Ibu wakil rakyat terhormat sudah duduk nyaman.
Oya, kalau tidak salah dengar, kantor Pak Bamsoet itu elok sekali. Ada “macan” di dalam kantor Ketua MPR. Ada dua hiasan gading yang gagah betul. Punya mobil Ferrari yang klasik dan keren sekali. Enak ya jadi wakil rakyat. Iya, mewakili rakyat untuk hidup nyaman. Baik sekali.
Saya sendiri mau menantang wakil rakyat untuk tidak digaji dan tidak mendapat tunjangan selama pandemi masih ada di Indonesia. Berani tidak? Yah, bukan apa-apa, siapa tahu dengan begitu, gerakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa dimulai dari mereka yang “begitu sayang sama suara rakyat”.
BACA JUGA Memblejeti Harta Kekayaan Bambang Soesatyo dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.