Kafe tak bisa meniru angkringan
Saya pikir, memisahkan Jogja dan angkringan itu sulit, sekalipun sekarang kawula muda lebih suka menghabiskan uangnya di kafe.
Begini. Apa yang dibawa ke kafe, itu dulunya ada di angkringan. Tapi meski sudah ada tempat baru, tak berarti tempat itu sepi dan baiknya mati. Tidak. Di Jogja, tidak semua kultur yang ditinggalkan itu mati. Ia akan dirawat oleh orang-orang gila yang akan membelanya seakan-akan itu agama.
Dan ingat, Jogja itu tak hanya milik orang-orang muda dan berduit saja. Kota Istimewa juga tempatnya orang-orang agak tua berdompet tipis, tapi ingin mendapat interaksi hangat tanpa memedulikan status. Angkringan, tetap jadi tempat yang tepat untuk hal ini.
Saya kira inilah yang menurut saya sulit direplikasi kafe dari angkringan: interaksi genuine yang begitu dekat antarmanusia di dalamnya. Bahwa kafe sudah banyak yang seperti itu, seperti Klinik Kopi, yang lebih intim dan interaktif. Tapi, tetap saja bagi saya, kok sulit menemukan yang seperti di angkringan.
Jadi ya, bagaimanapun, angkringan Jogja tetaplah jadi daya tarik. Jadi alasan utama pun tak berlebihan, meski akan banyak yang menolak. Tapi bagi saya, rasanya tak lengkap kalau kalian ke Jogja dan nggak ngangkring, koyo enek sing kurang.
Tapi jangan berpikir kalau bakal murah ya. Ya, gimana ya, soalnya….
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jogja, Kota yang Keburukannya (Entah Kenapa) Selalu Dimaafkan dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.












