MOJOK.CO – Menjadi primadona, sistem pembayaran COD menyimpan banyak masalah. Banyak kasus COD muncul dengan korban yang merata. Ya penjual, ya pembeli, ya kurir.
Masih ingat dengan kasus kurir paket yang dimaki-maki oleh ibu-ibu setengah baya pembeli barang via COD karena barangnya dianggap tidak sesuai dengan pesanan? Kasus yang videonya sempat viral beberapa waktu yang lalu tersebut kini menjadi semacam pemicu munculnya perbincangan yang menarik terkait sistem belanja online dengan metode pembayaran COD.
Kasus yang kemudian membuat ibu-ibu setengah baya mendapatkan gelar kolektif dari netizen sebagai “Duta goblok nasional” tersebut oleh banyak orang dianggap menjadi gambaran betapa masih buruknya pengetahuan masyarakat kita akan konsep belanja online dengan sistem COD.
Sistem COD alias Cash on Delivery alias bayar di tempat saat ini memang tengah menjadi salah satu metode pembayaran belanja online yang sangat digemari oleh para pembeli online, utamanya mereka yang tak punya akun rekening bank atau yang punya trauma pernah tertipu saat belanja online.
Banyak marketplace atau layanan pembelanjaan online yang mulai bekerja sama dengan perusahaan ekspedisi untuk bisa memberlakukan sistem COD ini, alasannya tentu saja jelas: permintaan akan pembelian dengan metode ini belakangan amat masif dan besar.
Namun, seiring berjalannya waktu, banyak kasus yang berkaitan dengan COD yang muncul. Jika kasus belanja online pada umumnya hanya merugikan pembeli, maka dalam kasus COD ini, yang menjadi korbannya benar-benar rata. Ya kurir, ya penjual, ya pembeli.
Kasus “Duta goblok nasional” di atas, contohnya. Di Twitter, sebagai respons atas kasus tidak mengenakkan yang menimpa kurir yang kena damprat pembeli itu, muncul curhatan-curhatan dari para kurir yang tidak terlalu sreg dengan sistem COD. Para kurir menceritakan betapa banyak sekali kiriman paket COD yang tidak bisa diantarkan.
Kiriman COD memang tak seperti kiriman paket biasa. Rasio keberhasilan kiriman COD tentu jauh di bawah kiriman paket biasa, sebab penerimanya harus benar-benar orang yang memesan dan bersedia membayarnya. Berbeda dengan kiriman paket non-COD yang bisa dititipkan ke anggota keluarga, satpam, atau tetangga depan rumah, misalnya.
COD juga mulai dipakai sebagai modus para penjual nakal yang memanfaatkan celah sistem ini. Mereka mengirimkan barang ke alamat orang yang sebenarnya tidak pernah membeli produk dari mereka. Target modus ini biasanya adalah orang-orang yang punya rekam jejak sering membeli barang secara online.
Saya sendiri pernah menjadi korban modus ini kira-kira dua bulan lalu. Saat itu, saya merasa tak pernah memesan apa-apa, namun tiba-tiba, ada kiriman paket yang datang. Sial, yang menerima paket itu adalah istri saya. Dia pun kemudian membayar paket tersebut (seingat saya, 100 ribu) karena mengira saya yang memesannya, sebab memang nama yang tertera di paket tersebut adalah nama saya.
Ketika istri saya bilang ke saya, tentu saja saya kaget bukan kepalang, saya merasa sedang tak pesan apa-apa. Dan kalaupun pesan, saya tak pernah pakai sistem COD.
Ketika saya buka, isinya ternyata mini wireles speaker yang sangat sangat tidak berfaedah, baik bagi saya, apalagi bagi istri saya. Saya tidak suka karaoke. Sedangkan istri saya, suaranya yang menggelegar itu bahkan sudah seperti suara speaker.
Nasib saya masih lebih baik, sebab beberapa kawan saya yang juga menjadi korban modus tersebut, ada yang kena dengan nominal yang jauh lebih besar dan dengan barang yang jauh lebih tidak berfaedah.
Seorang kawan kena 300 ribu dengan barang yang ternyata hanya tongsis. Beberapa lainnya jauh lebih apes, kena sampai ratusan ribu dan barang yang dikirimkan adalah alat bantu seks. Itu apesnya dobel, sudahlah kena duit, masih berisiko kena damprat dari pasangan yang mengira ia tidak bisa memberikan kepuasan seksual sehingga sampai perlu membeli alat bantu seks.
Menurut informasi dari beberapa sumber, para pedagang nakal itu mendapatkan data alamat kita melalui bungkus bekas paket yang alamatnya tidak kita hancurkan dan sudah kadung dibuang ke tempat sampah. Beberapa sumber mengatakan mereka mendapatkan data alamat dari kelakuan oknum pekerja ekspedisi yang kerap menjual database alamat pelanggan tetap.
Modus penjual-penjual nakal seperti ini tentu saja semakin lama memang semakin mengganggu. Ia bukan saja meresahkan orang-orang yang terpaksa harus membayar barang yang sebenarnya tidak pernah ia beli, lebih dari itu, ia juga bakal membikin repot para penjual jujur yang selama ini benar-benar memanfaatkan COD sebagai metodenya dalam berjualan.
Pada kasus lain dengan pola yang sama, selain kurir dan pembeli (yang sebenarnya tidak punya niat membeli), penjual juga kerap menjadi korban dalam sistem ini.
Di beberapa marketplace yang menerapkan sistem ini, banyak penjual yang apes karena mendapatkan pembeli COD yang tidak serius. Pembeli sudah checkout, namun ketika barang diantar, ia tak mau menerima. Biasanya karena ia tak punya uang saat kiriman paket datang, padahal saat checkout, ia merasa punya uang untuk membayar saat nanti barangnya datang.
Hasilnya, ia menolak kiriman paket tersebut dengan berpura-pura tidak pernah memesannya.
Banyak penjual yang sampai merasa harus mencantumkan peringatan agar pembeli benar-benar serius sebelum memutuskan untuk membeli, sebab barang yang ditolak oleh pembeli, butuh waktu setidaknya sampai satu bulan untuk diretur ke penjual. Bagi penjual yang keuntungannya tidak seberapa, hal tersebut tentu akan sangat berpengaruh pada perputaran modal jualan.
Sebagai upaya pencegahan, beberapa penyedia layanan COD memang sudah membuat aturan yang keras.
Shopee, marketplace yang iklan program COD dengan Tukul Arwana-nya terus menerus muncul di Youtube seperti Mars Perindo itu, membuat aturan yang mewajibkan pembeli melakukan pembayaran ke kurir sebelum menerima/membuka paket. Selain itu, pembeli yang melakukan penolakan pembayaran atau tidak ada di tempat saat kurir mengirim paket 2 kali dalam 60 hari akan diblokir dari sistem pembayaran COD.
Kendati demikian, tetap saja banyak kasus COD yang terus menerus bermunculan.
Usulan untuk menghapuskan sistem COD bukannya tak ada. Di media sosial, banyak korban yang menyuarakan agar sistem COD dihilangkan sebab ia dianggap merugikan.
Tentu saja usulan tersebut tidak bisa menjadi solusi tunggal untuk menghapus kasus-kasus yang melibatkan sistem COD. Salah satu upaya yang harus ada tentu saja adalah sosialisasi terkait sistem COD itu sendiri.
Masyarakat, baik sebagai penjual, pembeli, maupun kurir, harus sama-sama paham bagaimana mekanisme COD. Sebab kalau tidak, akan selalu ada orang-orang yang mengartikan COD sebagai Complain on Delivery alih-alih Cash on Delivery.
BACA JUGA Saya Terlalu Sering Membeli Barang-Barang Receh dari China di Shopee, dan Kini Saya Menyesalinya dan artikel AGUS MULYADI lainnya.