MOJOK.CO – Menonton FTV SCTV bagi banyak orang ternyata memunculkan harapan atas nasib asmara yang jauh lebih baik.
Bagi saya, menonton acara televisi adalah aktivitas yang hanya sepintas lalu. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir ini, masa di mana saya bisa menonton apa saja di internet. Menonton televisi telah menjadi sekadar selingan yang benar-benar selingan. Maksud saya, saya tak butuh waktu yang lama dalam melakukannya. Paling hanya sepuluh atau dua puluh menit, untuk kemudian bosan, lalu pindah channel yang lain untuk menonton acara televisi yang lain, atau malah langsung mematikannya.
Namun, hal tersebut tampaknya tidak berlaku bagi saya untuk acara FTV, wabil khusus FTV SCTV. Dulu, sejak saya lulus SMA, saat saya masih punya semangat yang cukup besar untuk menonton televisi, FTV SCTV ini menjadi salah satu sebab kenapa semangat itu ada.
Saya memang orang yang cukup bisa menikmati acara FTV di SCTV. Bagi saya, acara tersebut memang layak tonton dan menghibur.
Lebih jauh, saya bahkan harus mengakui, bahwa saya pernah berada di fase sering menantikan acara FTV SCTV yang seingat saya tayang sehari tiga kali itu (pagi, siang, dan dini hari).
Tentu saya paham dan hafal betul, bahwa FTV SCTV adalah tipikal tontonan yang monoton. Kita hampir selalu bisa menebak bagaimana jalan ceritanya, siapa tokoh jahatnya, apa strategi tokoh utamanya, bahkan sampai bagaimana ending ceritanya. Namun entah kenapa, hal-hal tersebut tak pernah mengganggu saya dalam menikmati FTV.
Bagi saya, menonton FTV adalah hal yang cukup menyenangkan. Ibarat buku, ia adalah buku yang habis sekali duduk.
Belakangan baru saya tahu bahwa bukan hanya saya saja yang suka menonton FTV SCTV ini, melainkan juga kawan-kawan sepermainan saya. Beberapa kawan saya yang biasa main ke rumah sering meminta izin untuk menyetel televisi dan menonton FTV.
“Nyalain tivi ya, Gus, siapa tahu ada FTV,” kata kawan saya.
Bukan hanya kawan saya, dua adik saya pun ternyata juga menyukai FTV. Mereka bahkan sampai hafal beberapa cerita karena saking seringnya mereka menonton sehingga ada beberapa FTV yang mereka kebetulan pernah menontonnya sebelumnya —dan kemudian tetap mereka tonton.
Entah kenapa, ada semacam perasaan lega saat tahu bahwa bukan hanya saja yang suka nonton FTV. Maklum saja, kebiasaan menonton FTV memang bukan kebiasaan yang cukup bisa dibanggakan, bahkan boleh dibilang, itu adalah kebiasaan yang agak “malu-maluin”, setidaknya untuk lelaki yang sok progresif seperti saya.
Kelak, seturut dengan seringnya saya menonton FTV SCTV, saya sedikit banyak jadi paham kenapa saya suka menonton FTV.
Saya berkesimpulan bahwa daya tarik utama FTV di mata saya adalah mereka menawarkan harapan baru atas realitas kehidupan percintaan.
Begini, dulu, waktu masih jomblo, sebagai lelaki dengan nasib asmara yang tidak lancar-lancar amat dan dengan nasib ekonomi yang jauh lebih tidak lancar lagi, saya selalu membutuhkan benchmark kisah asmara yang mulus. Nah, hal tersebut bisa saya dapatkan melalui FTV SCTV.
FTV SCTV banyak menawarkan kisah-kisah lelaki desa yang pada akhirnya mampu menggaet hati perempuan cantik dan kaya.
Memang, dalam dunia nyata, lelaki-lelaki desa itu pasti mampu dapat pacar yang cakep kalau tampang mereka kayak aktor-aktor FTV seperti Ryan Delon, Ben Joshua, Fandy Christian, Rio Dewanto, atau Donny Alamsyah. Namun, di semesta FTV, tentu saja modal utama si tokoh lelaki bukan kegantengan itu, melainkan ketulusan dan kebaikan hati. Hal yang jauh lebih masuk akal untuk ditiru oleh pemuda desa, dan miskin. Sebab akan sangat merepotkan jika pemuda desa harus bermodal kekayaan yang melimpah.
Tentu saja saya sadar bahwa mustahil saya bakal bisa punya kisah yang mirip dengan FTV itu. Tak mungkin saya angon bebek, lalu tiba-tiba salah satu bebeknya ditabrak mobil Yaris, trus dari dalam mobil keluar cewek cakep sambil marah-marah, lalu saya pun marah balik, konflik berlanjut, lalu kelak saya bakal jatuh cinta pada cewek tersebut, dan dia juga suka dengan saya, lalu kami mulai dekat, lalu nyanyi lagu-nya D’Bagindas yang “Sebenarnya aku ingin mengungkapkan rasa…” itu, lalu akhirnya kami jadian.
Pastilah hidup tidak selucu itu. Itu adalah ketidakmungkinan belaka. Namun, kita semua paham, bahwa ketidakmungkinan kalau ditampilkan dan ditonton terus-menerus, niscaya ia akan memberikan efek psikologis bahwa ketidakmungkinan itu punya kesempatan untuk menjadi mungkin.
Mangkanya, walau saya sadar bahwa saya tidak secakep Ryan Delon dan sebangsanya itu, tetap saja cerita-cerita FTV yang, sebenarnya too good to be true itu, berhasil memunculkan semangat bagi saya untuk terus berjuang mencari pacar. Nggak perlu secakep Kadek Devi, Sharena Gunawan, atau Andrea Dian, tentu saja.
Belakangan, saat saya ceritakan hal ini kepada kawan-kawan saya yang juga doyan nonton FTV SCTV itu, ternyata hal itu pula yang membuat mereka suka menonton FTV SCTV. Ada semacam semangat dan harapan bagi mereka untuk bisa mendapatkan nasib asmara yang lebih cerah dan lebih baik seperti cerita di dalam episode-episode FTV tersebut.
Hanya dalam dunia FTV itulah, ada konsep bahwa hubungan itu memang bisa dibangun oleh cinta yang luar biasa, bukan oleh tampang yang cakep, atau kesuksesan karier, atau keluarga yang kaya, atau harta yang berlimpah.
Hanya dalam semesta FTV itulah, apa kata Yovie & Nuno itu terasa sangat masuk akal: “Aku memang manusia biasa, yang tak sempurna dan kadang salah, namun di hatiku hanya satu, cinta untukmu luar biasa…”
BACA JUGA Membeda Anatami Tayangan FTV ala SCTV yang Menggemaskan dan artikel AGUS MULYADI lainnya.