MOJOK.CO – Demi kemashlahatan bersama, ini saya coba kasih tiga kiat agar ketika ditunjuk jadi imam salat tarawih di rumah tidak jadi problem baru di tengah pandemi.
Sudah sejak sekitar dua minggu ke belakang ini, muncul beragam meme dari temen-temen saya tentang betapa sulitnya jadi imam tarawih di rumah masing-masing. Terutama dari bapak-bapak yang tiba-tiba harus jadi imam salat di rumah karena efek PSBB.
Ini kelihatan masalah kecil di luar sana, namun sebagai bapak-bapak juga, saya paham persoalan pelik soal imam salat tarawih ini. Wah, wah, ini bisa jadi perkara harga diri yang pelik. Bisa jadi pelik karena hafalan surat-surat pendeknya udah pada lupa urutannya, atau yang lebih parah…
“Anu, Kang, saya ini cuma hafal qulhu sama al-ikhlas aja.”
Hayaa itu sama, Duuuul.
Mungkin hal ini jadi salah satu sebab, beberapa orang merasa nggak terima ketika mereka dilarang bikin aktivitas tarawih berjamaah di masjid. Bisa aja alasannya sebenarnya sederhana: mereka ogah jadi imam salat di rumah masing-masing.
Ya gimana, soalnya berat, Buuung. Jadi imam salat itu berat. Hambok yakin.
Selain harus punya kapasitas bacaan yang fasih, jadi imam itu juga harus selalu konsentrasi, harus hati-hati bacaannya, nggak bakal lagi bisa nglaras santai. Nggak kayak jadi makmum yang bisa aja fisiknya salat tapi pikiran sedang melayang ke Mobile Legend atau warung kopi.
Masalahnya kalau jadi imam kan nggak mungkin bisa gitu. Jadi harus salat beneran. Segala konsentrasinya terpusat sama salat. Pikiran nggak bisa mblayang ke mana-mana. Soalnya lagi jadi kepala gerbong. Salah gerakan atau bacaan kan malunya bakal berlipat-lipat.
Nah untuk itu, demi kemashlahatan bersama, ini saya coba kasih 3 kiat agar ketika ditunjuk jadi imam salat tarawih di rumah tidak jadi problem di tengah pandemi. Yah seperti kredo yang selalu didengungkan Gus Baha’ kira-kira gini, “Ibadah itu jangan jadi problem.”
Bahkan kalau bisa, ibadah itu jadi solusi masalah sehari-hari.
Yok, kita mulai
Kiat pertama
Baca qulhu terus aja nggak apa-apa kok. Mau salat tarawihnya 8 kek, mau 20 kek, qulhu aja terooos. Masalahnya apa emang?
Sini ya, bapak-bapak, salah satu masalah paling besar soal salat tarawih di tengah pandemi adalah ini: gengsi.
Gengsi kalau jadi imam salat tarawih dari rokaat pertama sampai rokaat terakhir qulhu terooos. Ntar orang bisa mikir ini tahlilan opo piye kok qulhuuu ae ket mau?
Nah, pikiran nggak mau baca qulhu itu jelas urusan gengsi. Lagian jumlah rakaat salat tarawih itu sendiri udah sejak lama udah jadi urusan soal ini.
“Tarawih yang 8 apa yang 20 Kang?”
“Hayaaa saya yang 20 dooong.”
Dijawab sambil dada membusung, mata kedip-kedip, dan gestur yang seolah bilang sangar-kan-aku-sangar-kan-aku-sangar-kan-gimana-sangar-kan-aku.
Padahal lho, ada riwayat bahwa dulu ada Sahabat Nabi yang tiap salat cuma baca qulhu doang. Dari salat subuh, magrib, sampai isya. Masih mending kalau diseling antara rakaat pertama kedua, ini nggak, dari awal sampai akhir qulhu terus.
Sampai kemudian sahabat yang lain pada sambat ke Nabi. Intinya sedikit “protes”. Itu kenapa sih si Fulan kok yang dibaca qulhu terus? Padahal Nabi aja sepanjang salat nggak pernah ngajarin gitu.
Lalu datanglah Nabi ke sahabat ini. Oleh sahabat ini dijawab begini kira-kira…
…ya karena surat itu murni ngomongin Gusti Allah toktil. Nggak kecampuran hasrat manusia atau kecampuran kepinginan yang baca. Murni. Melebihi kemurnian Aqua.
Nabi lantas membolehkan perilaku sahabat tersebut. Bahkan bersabda kalau Gusti Allah menyukai perbuatan si sahabat.
Nah, lho. Sampai disukai Gusti Allah secara langsung lho! Jadi gimana? Berani baca qulhu doang 8-20 kali?
Makanya kalau besok ditanyain, “Kok qulhu teros, Pak?” tinggal ceritain kisah sahabat itu tadi.. wah, bisa jadi The New Abdul Somad dadakan ente tuh. Mayan kan?
Okelanjoot.
Kiat kedua
Kalau diminta jadi imam saat tarawih di rumah, ya bilang aja, “Kita salat sendiri-sendiri aja ya?”
Iya, nggak usah tarawih jamaah. Tarawih sendiri-sendiri aja.
Lho? Lho? Bukannya tarawih harus jamaah ya? Ente ngajarin bid’ah ya?
Hm. Gini. Sebenere justru yang bid’ah itu salat tarawih berjamaah. Dulu zaman kanjeng Nabi, salat tarawih itu dilakukan sendiri-sendiri. Kayak salat rawatib gitu.
Maka wajar banyak yang protes ketika sahabat nabi paling kreatif dalam urusan ibadah, Umar bin Khattab, punya ide untuk tarawih dibikin jamaah. Ide yang muncul usai beberapa tahun Nabi wafat.
Tentu saja ide ini banyak yang nentang. Bid’ah jelas itu. Jaman Nabi aja tarawih nggak jamaah kok, lah kok ini mau dibikin jamaah.
Kalau versi Gus Baha, riwayat ini adalah bukti kampanye “kembali ke sunah” itu sudah ada sejak zaman Khulafa’urrosyidin. Makanya nggak usah baper kalau kamu dibilang tukang bid’ah. Umar bin Khattab aja, yang jelas-jelas sahabat dan pembela Nabi aja pernah dibilang tukang bid’ah.
Umar bahkan malah membalas ketika dibilang sebagai tukang bid’ah, “Al-bid’atu hadihi,” alias, “Seapik-apike bid’ah kuwi yo iki og.”
Jadi kalau ada yang nanya…
“Kok tarawih sendiri? Nggak jamaah?”
Jawab aja, “Sedang kembali ke sunah Nabi, Kang.”
Mantep banget kan?
Kiat terakhir atau ketiga
Ya nggak usah tarawih. Simpel.
Salat sunah ini kok jadi masalah amat. Nggak salat juga nggak apa-apa, malah jadi gontok-gontokan lagi. Yang masalah itu justru ribut salat tarawih tapi malah nggak pernah salat isyak.
Nabi aja pernah sedikit menyesal karena kedapatan salat di dalam kakbah suatu kali. Ketika ditanya sahabat, Nabi cuma berpesan bahwa beliau takut kalau perbuatannya barusan bakal dianggap keutamaan oleh umatnya nanti.
Nah lho. Nabi jebul justru suka takut kalau umatnya mewajib-wajibkan perkara-perkara biasa aja.
Lagian, memangnya, karena mentang-mentang jumlah rakaat salat tarawih banyak terus jadi lebih utama gitu? Karena kelihatan begitu berat dijalaninya?
Ah, nggak juga.
Salat subuh lho, cuma dua rakaat. Tapi nyatanya jauh lebih sulit ketimbang salat duhur, asar, sama isya yang jumlah rakaatnya dua kali lipat. Kalau nggak jadi salat dubuh (di waktu duha tapi salat subuh) atau malah jadi salat qobliyah duhur—tapi yang ada qunutnya sekalian.
BACA JUGA Susahnya Salat di Indonesia atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.