MOJOK.CO – Anas Urbaningrum kini jadi nakhoda baru Partai PKN. Namun, apakah namanya bisa jadi faktor penentu eksistensi partai ini di Pemilu 2024?
Politisi senior yang baru saja bebas dari penjara, Anas Urbaningrum, resmi menjabat sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang baru.
Deklarasi itu berlangsung dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) PKN di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2023) pekan lalu.
“Munaslub telah memilih dan menetapkan saudara Anas Urbaningrum sebagai ketua umum pimpinan nasional PKN periode 2023-2028,” kata pimpinan saat rapat pleno.
Dalam pidato pengangkatannya, Anas menyebut bahwa partai baru, PKN, bakal menghadapi sejumlah tantangan ketika mengikuti Pemilu 2024 nanti.
“Saya tahu situasinya sulit, saya tahu tantangannya berat,” kata Anas, Selasa (18/7/2023).
Namun, ia menegaskan, bahwa PKN bakal menemukan cara dan strategi untuk bisa survive, berbicara banyak, atau malah memenangkan pesta politik lima tahunan tersebut.
“Dengan dukungan seluruh pengurus dan kader, dan dengan strategi dengan tepat pemenangan Pemilu 2024, Insya Allah PKN akan berprestasi dengan baik pada Pemilu 2024,” tegasnya.
Lantas, seperti apa peluang PKN pada Pemilu 2024 mendatang?
Peluang PKN “sukses” cukup kecil
Pakar politik UGM Arga Pribadi Imawan justru ragu bahwa PKN akan mampu berbicara banyak dalam Pemilu 2024 mendatang.
“Menurut saya, peluang bagi Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) untuk sukses di Pemilu 2024 kemungkinan akan cukup kecil,” ujarnya kepada Mojok, Senin (17/6/2023).
Arga menjelaskan, salah satu alasannya adalah pergeseran yang terjadi dalam tubuh partai politik dalam menarik simpati dan dukungan massa.
Menurutnya, pada masa Orde Baru parpol-parpol masih menekankan ideologi partai sebagai daya tarik dalam menarik dukungan konstituen. Sementara setelah Reformasi, partai-partai lebih banyak menonjolkan aspek “ketokohan”, baik itu anggota ataupun ketua umumnya, dalam menaikan popularitas.
“Jadi, sekarang ini yang dilihat para pemilih bukan lagi apa ideologi partai politik, tetapi siapa tokoh di balik partai politik itu,” jelasnya.
Misalnya, dalam temuan sejumlah survei, menyebut bahwa popularitas Jokowi berandil besar dalam kemenangan PDIP dalam dua pemilu terakhir; atau ketokohan Prabowo lah yang mampu mengangkat elektabilitas Partai Gerindra.
Ini juga yang menjelaskan mengapa banyak parpol kiwari lebih memilih mengusung artis, public figure, atau nama-nama besar yang lebih populer dari luar sebagai caleg mereka—ketimbang kader mereka sendiri.
Sementara jika berbicara PKN, kata Arga, ketokohan sang ketum, Anas Urbaningrum justru bisa menjadi bumerang. Di satu sisi, ia merupakan tokoh reformis pada tahun 1998—sekaligus aktivis HMI yang punga nama.
“Tetapi di sisi lain ia juga memiliki track record yang kurang baik sebagai pemimpin atau pejabat publik yang justru bikin publik antipati,” tegas Arga.
Anas Urbaningrum sendiri baru saja bebas dari penjara. Sebelumnya, ia berstatus sebagai terpidana kasus korupsi dan pencucian uang proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang dan proyek-proyek lainnya kurun waktu 2010-2012.
Bisa sukses, kok, asalkan…
Sementara itu, peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menyebut, bahwa masih ada peluang bagi Partai PKN untuk meraih kesuksesan di Pemilu 2024 nanti.
Kata Wasisto, jika mengacu pada perolehan suara pemilu dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, atau dua edisi terakhir, ada lima tolok ukur bagi parpol baru untuk jadi patokan menacapai kesuksesan.
“Yang pertama adalah ‘branding’ parpol yang memikat,” jelas Wasisto saat Mojok hubungi, Senin (17/6/2023) kemarin.
Penjenamaan alias branding parpol ini erat kaitannya pembentukkan identitas, image, maupun reputasi suatu parpol dalam menjaring maupun mempertahankan suara pemilih.
Misalnya, bagaimana partai lawas seperti PDIP berhasil membentuk identitas mereka sebagai “partai wong cilik”, sehingga banyak kelas menengah ke bawah mendukung. Atau, ada pula PKS yang konsisten dengan image “partai islami”, sehingga mereka berhasil mempertahankan suara kelompok pemilih muslim secara konsisten.
Selain branding, masih ada ada empat patokan lain. Antara lain, jelas Wasisto, ada jaringan massa pemilih yang potensial, peran elite parpol yang mampu berkampanye efektif dan efisien, kekuatan media yang intensif mempublikasikan parpol tersebut, serta kekuatan finansial dalam menopang kerja-kerja politik.
Contoh mutakhir parpol baru yang berhasil meraih kesuksesan adalah Gerindra. Sebab, dari semua tolok ukur ini, partai Prabowo Subianto itu berhasil memenuhinya.
“Tentunya kalau 3 atau 4 saja dari lima indikator tersebut mampu dipenuhi oleh PKN, maka mereka ini bisa kompetitif di pemilu mendatang,” pungkasnya.
Merapat ke koalisi pemerintah adalah kunci
Sebenarnya, PKN masih punya harapan untuk sukses di Pemilu 2024 mendatang, yakni dengan memanfaatkan suara pemilih muda. Sebab, populasi pemilu muda dan pemula pada pemilu nanti hampir 60 persen, yang tentu ini bisa jadi faktor krusial.
Namun, kata Arga, PKN bakal sulit meraihnya. Selain karena image Anas Urbaningrum yang kadung buruk, ia juga termasuk “sosok lama” alias politisi gaek.
“Padahal, sosok lama ini punya kecenderungan yang besar untuk tidak akan dipilih oleh pemilih muda ataupun pemilih pemula,” jelas Arga.
Kini, PKN pun tinggal bersandar ke kemungkinan merapat ke koalisi pemerintah. Itu pun kalau mereka “seminimal” mungkin bisa mencapai parliementary threshold ke Senayan. Sebab, merapat ke pemerintah bakal menjadi jalan instan untuk bikin popularitas partai stabil.
Harus diakui, memang faktor tersebut tak bisa dipukul rata ke semua partai. Karena nyatanya, tanpa harus merapat ke pemerintah, beberapa partai baru pun bisa establish dengan bermodal ketokohan, seperti misalnya Partai Gerindra.
“Namun, ada juga parpol baru yang ingin cepat naik dengan cara bergabung dengan koalisi pemerintah, misalnya NasDem. Karena dengan demikian, ini akan membuat partai baru lebih stabil, kuat, dan bisa juga populer. Setelahnya, mereka akan mencoba peruntungannya sendiri di kancah perpolitikan di Indonesia,” pungkas Arga.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi