Nggak masalah walaupun diktator
Baik Pras maupun Nanda, tak bersepakat dengan label Suharto adalah diktator. Bagi mereka, kata “diktator” itu sekadar ditempelkan saja ke Suharto untuk menghabisi citranya.
Pras, misalnya, yang menyebut seandainya “Reformasi 1998 tak ditunggangi PKI, Suharto tidak akan lengser”. Bahkan, Pras juga amat kesal kepada orang-orang yang menempatkan idolanya itu sebagai penjahat HAM.
“Apa-apa HAM. Ini HAM, itu HAM; 65 dibilang (kejahatan) HAM, petrus dibilang (kejahatan) HAM, aktivis hilang dibilang (kejahatan) HAM. Kalau ada yang mau ganggu pemerintah, yang memang harus disikat aja, kudu tegas,” kata Pras.
Saya kembali mengernyitkan dahi.
Sementara Nanda, mengaku Suharto memang seharusnya melakukan tindakan-tindakan yang diaggap menyalahi HAM itu. Baginya, “jika ada yang menyimpang, memang harus segera dibersihkan sebelum menjadi kekacauan di masyarakat”.
“Hitler berani membantai Yahudi. Pak Harto sikat habis pengkhianat PKI. Sekarang saya tanya, ada enggak presiden Indonesia yang berani gitu sekarang?” ujar Nanda.
Untuk kesekian kalinya, saya mengernyitkan dahi.
“Jadi keras itu memang penting buat memimpin negara. Setahu saya, cuman Pak Prabowo, Pak Andika (Perkasa), dan Pak Gatot (Nurmantyo) yang mendekati watak Pak Harto,” pungkasnya.
Yang muda, yang menyukai pemimpin diktator
Kecenderungan kembali naiknya pamor pemimpin diktator di hati anak muda memang sedang menjadi fenomena. Salah satunya, ini terlihat dengan elektabilitas Prabowo Subianto—eks perwira militer, orang dekat Suharto, dan dituding atas pelanggaran HAM di masa lalu—yang justru unggul di kalangan anak muda.
Saya pun menanyakan fenomena ini ke pakar politik UGM Mada Sukmajati. Kata dia, “ia bisa memahami mengapa profil pemimpin diktator lebih sreg di hati anak muda Indonesia hari ini,”.
Bahkan, ia tak menutup kemungkinan politisi yang punya atribut otoriter, misalnya Prabowo yang punya rekam jejak pelanggaran HAM di masa lalu, bakal tetap menang di kelompok pemilih muda.
“Anak muda itu ‘kan rasional-pragmatis,” jelas Mada.
“Artinya, mereka akan lebih mementingkan sosok pemimpin yang punya tawaran menarik untuk masa depan mereka, tanpa memandang itu diktator atau bukan,” sambungnya.
Menurut Mada, anak muda punya ketidakpastian ekonomi di masa depan. Seperti kemungkinan krisis, hingga kurangnya lapangan kerja.
Jadi, bagi Mada, kelompok pemilih ini akan cenderung memilih pemimpin yang bisa mengatasi problem itu daripada, katakanlah, menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di masa lalu.
“Mungkin sebagian juga nggak relate dengan problem HAM di masa lalu. Tapi memang yang harus diakui, kecenderungan pemilih muda itu ya seperti itu, orientasinya ‘siapa presiden yang punya daya tawar terbaik buat masa depan saya nanti, itu yang saya pilih’,” pungkasnya.
Pada mulanya, saya sempat berpikir bahwa anak-anak muda seperti Raden, Pras, dan Nanda, sekadar beromantisisasi dalam mengagumi diktator idola mereka tersebut. Namun, yang mulai saya sadari dan mungkin jadi sebuah keniscayaan, mereka bakal mencari profil lain yang memiliki kesamaan dengan tokoh idola mereka.
Dengan demikian, selama pemujaan atas diktator itu masih ada, maka kemungkinan terpilihnya pemimpin diktator (lagi) pun juga tetap terbuka lebar.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi