MOJOK.CO – Dukungan Budiman Sudjatmiko untuk Prabowo Subianto adalah sebuah fenomena di dunia politik. Langkah ini menunjukkan adanya gejala meritokrasi kandidasi kepemimpinan yang terjadi di dunia demokrasi kita.
Definisi tentang meritokrasi datang dari Michael Dunlop Young pada tahun 1958. Istilah ini muncul dalam bukunya berjudul The Rise of Meritocracy. Young menjelaskan bahwa meritokrasi adalah bayangan sebuah sistem sosial masa depan di mana hasil-hasil seperti kekayaan, pekerjaan, dan kekuasaan didistribusikan kepada seseorang yang punya prestasi, seperti kecerdasan dan usaha. Dalam beberapa hal, penjelasan ini kemudian jadi lebih luas dengan cakupan kemampuan, pelatihan, dan pengalaman.
Dasar-dasar tersebut pada akhirnya dianggap sebagai prinsip keadilan yang ideal. Idealitas tersebut terjadi karena mempertimbangkan faktor-faktor yang relevan seperti kemampuan ketimbang etnis dan gender. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa meritokrasi merupakan penilaian bebas dari bias identitas yang dapat menciptakan mobilitas sosial.
Polemik dukungan Budiman
Gejala meritokrasi ini bisa kita lihat juga sebetulnya pada polemik yang terjadi antara Budiman Sudjatmiko, PDIP, dan Prabowo. Polemik bermula tatkala Budiman Sudjatmiko memilih untuk mendukung Prabowo yang merupakan Ketua Umum Gerindra. Padahal, Budiman telah lama kita kenal sebagai kader dan loyalis PDIP. Sehingga, langkah ini tentu menjadi kontroversi.
Apa yang Budiman Sudjatmiko lakukan tentu merupakan hal yang bertentangan dengan disiplin partai. Partai politik identik dengan organisasi yang terbentuk karena ideologi dan kepentingan tertentu. Keributan ini semakin menjadi-jadi tatkala Budiman Sudjatmiko menolak untuk meninggalkan PDIP meskipun mendukung Prabowo.
Namun ada yang bisa kita petik dari fenomena ini. Pada sisi lain sebetulnya, apa yang dilakukan Budiman Sudjatmiko merupakan breakthrough dari sistem demokrasi kita, khususnya dalam partai politik. Setidaknya ada dua hal. Pertama, semangat meritokrasi di dalam kandidasi kepemimpinan bergerak dari sekedar melihat afiliasi politik dan kepentingannya. Kini lebih mempertimbangkan faktor kemampuan, pengalaman, dan prestasi seseorang.
Kedua, kejadian tersebut mempertanyakan kredibilitas partai politik sebagai mesin kandidasi kepemimpinan. Partai politik yang seharusnya mampu menjadi embrio organisasi yang bisa menghasilkan pemimpin nasional tidak mampu menjaga keloyalan kadernya terhadap organisasi. Hal ini selaras dengan spirit partai politik yang semakin menguat kepada pragmatisme, bukan idealisme.
Dua poin ini setidaknya menggambarkan dua hal. Di satu sisi, menyiratkan adanya urgensi untuk membentuk kelembagaan dan manajemen baru di dalam melakukan kandidasi kepemimpinan yang berbasis meritokrasi. Bentuk lembaga dan tata kelola tersebut harus melalui konsensus sosial-politik, basis data keinginan, dan idealita seorang pemimpin dari masyarakat. Dengan demikian, seorang pemimpin tidak lagi heavy kepada “kepentingan” namun lebih kepada kemampuan.
Lalu, di sisi yang lain, fenomena ini juga menunjukkan adanya cara baru di dalam menelisik calon pemimpin. Metode baru tersebut adalah penilaian calon pemimpin yang tidak hanya berbasis background seseorang, namun juga track record yang dapat kita lihat melalui rekam jejak kinerja seseorang secara digital. Fenomena-fenomena inilah yang harus kita jawab sebagai bangsa jika tidak ingin adanya krisis kepemimpinan.
Lembaga talenta
Salah satu jawaban terkait sistem meritokrasi untuk menemukan calon pemimpin salah satunya bisa melalui pembentukan lembaga manajemen talenta Indonesia. Ide awal dari pembentukan lembaga ini adalah adanya kebutuhan manajemen talenta orang Indonesia agar memiliki daya saing global dan pembangunan. Meskipun memiliki tantangan untuk efisien dengan lembaga yang serupa, setidaknya inisiasi ini memberi secercah cahaya di dalam manajemen kepemimpinan. Sebab, fokus dari lembaga ini adalah peningkatan kualitas pendidikan, khususnya pada bidang vokasional training.
Konsentrasi pada bidang vokasional training sesuai dengan keilmuwan kepemimpinan, yang tidak hanya bicara soal ilmu menjadi pemimpin, namun juga bagaimana menerapkan kepemimpinan pada lingkungan yang tepat. Dua himpitan baik dari sisi konseptual maupun empirikal dapat memberikan pemahaman holistik kepada calon pemimpin. Sehingga, lembaga ini nantinya mampu menjadi jadi jembatan antara talenta terbaik calon pemimpin dengan partai politik.
Sederhananya, lembaga talenta bisa berfokus kepada meritokrasi di dalam kandidasi kepemimpinan sementara itu partai politik dapat fokus kepada aspek demokrasi. Pembagian tersebut menjadi konsekuensi logis mengingat saluran kelembagaan untuk menjadi pemimpin masih berpusat pada partai politik. Dengan pembagian ini, partai politik bisa memisahkan dirinya dari persoalan kapabilitas pemimpin dan berfokus kepada sisi keterpilihan seseorang.
Meritokrasi dan digitalisasi
Pembagian tugas kelembagaan tersebut tentu saja perlu mendapat dukungan digitalisasi. Dukungan tersebut mampu menguliti track record kemampuan calon-calon pemimpin melalui jejaring sosial medianya. Apalagi di tengah derasnya arus komunikasi digital saat ini, tentu hal ini menjadi sarana meritokrasi kandidasi kepemimpinan yang jitu.
Digitalisasi juga dapat mendekatkan pemilih dengan pemimpin di dalam menelisik jejaring sosial maupun kemampuan meritnya. Sehingga, jika seorang calon pemimpin melakukan kesalahan sosial maka penghakiman dapat langsung pemilih lakukan. Namun, arah penghakiman harus berbasis semangat konstruktif ketimbang destruktif, yaitu membangun dan mengkritisi hal-hal yang sifatnya positif.
Langkah-langkah ini dapat memberi dampak jangka panjang. Dalam skala yang lebih jauh, meritokrasi dapat membentuk perilaku pemilih yang rasional sebagai dampak dari transparansi informasi secara digital. Dengan perilaku pemilih yang lebih rasional, maka indeks kualitas demokrasi kita juga akan naik.
Dapat kita katakan bahwa meritokrasi tidak hanya bisa diterapkan pada birokrasi dan pelayanan publik, namun juga mengenai suksesi kepemimpinan. Meritokrasi bisa jadi sarana reformasi kelembagaan partai politik yang tadinya hanya berbasis ideologi menjadi basis pasar dan menjadikannya lembaga yang tidak hanya idealis atau pragmatis, namun strategis.
Meritokrasi juga dapat membentuk pemimpin yang lebih kredibel yang lahir dari semangat transparansi informasi yang diusung oleh digitalisasi. Pendidikan politik pemilih juga dapat dibentuk melalui meritokrasi kelembagaan dan tranparansi informasi. Pada tataran yang lebih luas, meritokrasi akan menaikkan indeks demokrasi kita.
Penulis: Satria Aji Imawan
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Saya Menemui Anak Muda yang Mengidolakan para Diktator, Ini Kata Mereka!
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News