Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Podium

Pariwisata Untuk Kesejahteraan Rakyat Gunungkidul? Kenapa Bukan Pertaniannya Dulu Sih?

Miris melihat eksploitasi yang dilakukan di Gunungkidul hari ini untuk mendukung pariwisata.

Kris Mheilda oleh Kris Mheilda
24 Desember 2022
A A
pariwisata gunungkidul mojok.co

Ilustrasi pariwisata Gunungkidul (Ega Fanshuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Suatu hari ada calon pemimpin muda di Gunungkidul berorasi “Kita harus memajukan desa kita menjadi desa wisata, mengembangkan potensi daerah menjadi kawasan ramah pariwisata supaya perekonomian desa kita meningkat” ujarnya dengan penuh semangat.

Saya yang melihat dari kejauhan hanya tersenyum, sambil mengunyah kacang bawang agak melempem sajian dari panitia. Orasi yang dilakukan calon pemimpin muda tersebut sebetulnya tidak ada yang salah. Ya memang hari ini pariwisata sedang digembor-gemborkan dengan sangat kencang, terutama di Gunungkidul. Hanya saja saya cukup muak dengan narasi-narasi ini. Bukan tentang benar atau salah, hanya sebuah perbedaan sudut pandang.

Hari ini hampir semua berlomba-lomba membuat desanya menjadi desa wisata. Mengada-adakan sesuatu yang sebetulnya tidak ada. Seperti membuat spot foto di sana-sini. Seakan-akan desa wisata hanya sebatas pada spot foto saja, membuat aktivitas yang tidak selaras dengan kesehariannya, dan membuat program musiman. Saya sendiri cukup heran, kenapa hari ini semua desa ingin jadi desa wisata, padahal banyak sekali desa wisata yang mangkrak. Plang-plang ‘desa wisata’ sudah mulai menjamur di mana-mana, namun ketika kita mencoba datang ke lokasi tidak ada apa-apa. Masyarakat masih banyak yang latah.

Cukup miris melihat eksploitasi yang dilakukan di Gunungkidul hari ini untuk mendukung pariwisata. Pembangunan masif dilakukan mulai dari pintu masuk Gunungkidul hingga pinggiran pantai selatan. Semua dipugar besar-besaran. Gunung-gunung dibelah untuk kebutuhan jalan, ladang-ladang dihilangkan, pohon-pohon ditebang habis-habisan. Tujuannya apa? Meningkatkan ekonomi dan mensejahterakan rakyat. Mendengar narasi ini saya auto ngakak.

Belum lama ini muncul wacana aneh dari Pemkab Gunungkidul. 1 November 2022 lalu Pemkab Gunungkidul melakukan rapat untuk meninjau ulang kawasan karst. Hasil rapat tersebut pemkab Gunungkidul mengusulkan pengurangan kawasan karst seluas 37.018,06 hektar, atau sekitar 48% dari total wilayah karst. Lagi-lagi tujuannya adalah kebutuhan pariwisata dan pembangunan infrastruktur untuk kesejahteraan rakyat.

Saya sering bertanya-tanya mengapa sektor pariwisata hari ini seakan menjadi satu-satunya cara untuk meningkatkan ekonomi di Gunungkidul? Mengapa bukan dari sektor pertanian, peternakan, atau perikanan dulu yang dikembangkan? Bukannya Gunungkidul memiliki potensi pertanian yang besar? Bahkan sistem pertanian Gunungkidul pun sangat menarik untuk terus dikembangkan. Mengapa malah pariwisatanya dulu yang utamakan?

Saya mau berbaik sangka dulu, mungkin Pemkab Gunungkidul masih belum tahu kalau Gunungkidul punya sistem pertanian dan pengolahan makanan yang keren. Saya akan mencoba memberi sedikit gambaran, seperti apa sistem pertanian di Gunungkidul.

Pertanian di lahan gersang

Gunungkidul memang terkenal akan tanahnya yang tandus dan kering. Hal itu terjadi karena memang kondisi geografis Gunungkidul mayoritas adalah batuan karst. Namun segala keterbatasan yang dialami oleh masyarakat Gunungkidul tidak membuat orang-orang di dalamnya lantas berpangku tangan dan menyerah. Keterbatasan justru melahirkan berbagai siasat bertahan hidup yang sangat kreatif.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Gunungkidul memiliki etos kerja yang bagus. Bukan tanpa sebab, etos kerja keras orang Gunungkidul terbentuk karena keterbatasan yang dimiliki. Terutama dalam hal bercocok tanam. Pertanian subsisten atau pertanian tadah hujan, adalah sistem pertanian yang dianut oleh masyarakat Gunungkidul. Bertani paling utama untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga baru surplusnya dijual ke pasar.

Karena hanya bisa menanam pada musim hujan orang Gunungkidul tetap punya cara untuk memaksimalkan hasil taninya. Menggunakan sistem bertani tumpang sari atau campur sari. Jadi di dalam satu lahan akan ditanami beragam jenis tanaman. Mulai dari padi, jagung, singkong, kacang panjang, kacang gude, orok-orok, dan masih banyak lagi. Sistem tumpang sari ini sudah digunakan selama puluhan tahun oleh orang Gunungkidul.

Sistem pengawetan makanan dan lumbung pangan

Mengingat hanya bisa bertani di musim penghujan, siasat lain seperti pengawetan bahan makanan juga dilakukan oleh masyarakat Gunungkidul. Salah satunya mengawetkan makanan dengan cara pengeringan.

“Thiwul dan Gatot” dua makanan yang sangat identik dengan Gunungkidul. Dua makanan ini adalah produk budaya, dari respon orang-orang Gunungkidul memaksimalkan apa yang ada di sekitarnya. Dari singkong basah yang ditanam secara tumpang sari bersama padi dan jagung, akan dikeringkan sampai betul-betul kering atau biasa disebut gaplek. Setelah dikeringkan akan ditumbuk atau digiling dibentuk menjadi tepung. Nah dari bentuk tepung ini nantinya yang akan disimpan di pesucen (sebutan lumbung pangan di rumah). Tepung gaplek bisa disimpan hingga satu tahun ke depan. Ketika mau membuat thiwul untuk bahan pangan, tinggal diambil secukupnya dan dimasak. Sudah menjadi bahan pangan mandiri, paling tidak untuk kebutuhan karbohidrat.

Tidak hanya singkong yang akhirnya bisa disimpan sebagai cadangan makanan. Padi juga diperlakukan serupa. Usai masa panen, padi akan digiling dan dijemur hingga kering berbentuk gabah. Gabah yang betul-betul kering bisa disimpan tahunan. Nah, ketika butuh nasi, gabah kering baru akan digiling sedikit demi sedikit sesuai kebutuhan.

Hal yang serupa juga dilakukan untuk komoditas lain seperti, jagung, gude, kacang ijo, jawut dan lain-lainnya. Dari bahan basah lalu dikeringkan dan disimpan di pesucen. Orang Gunungkidul pun tak perlu risau lagi terkait pangan walaupun hanya bisa menanam saat musim hujan saja.

Iklan

Menghidupi pekarangan

Kebutuhan pangan tentu saja tidak hanya karbohidrat. Perlu ada lauk pauk agar gizi tercukupi. Lagi-lagi orang Gunungkidul sudah punya cara untuk bisa terus hidup di tanahnya yang terkenal tandus. Jika diperhatikan, rata-rata setiap rumah di Gunungkidul punya pekarangan yang cukup luas. Di setiap pagarnya tumbuh berbagai tanaman, yang berjajar rapi. Entah turi, tayuman, atau mandhing.

Tanaman-tanaman ini tak hanya berfungsi sebagai tanaman pagar, namun juga sebagai cadangan bahan pangan. Aneka kebutuhan sayur-sayuran, biasanya akan dipenuhi dari pekarangan. Jika ladang akan dipenuhi tanaman karbohidrat dan kacang-kacangan. Di pekarangan biasanya akan ditanami tanaman sayur-sayuran dan empon-empon. Seperti cabai, pokak, jahe, laos, kunyit, mandhing, turi dan masih banyak lagi.

Tujuannya, tentu saja untuk memenuhi kebutuhan sayur mayur segar. Jika butuh bahan sayur-sayuran, tinggal memetik saja di pekarangan. Untuk itu muncul istilah ngramban (memetik dedaunan dari sekitar). Selain itu kebutuhan bumbu seperti empon-empon juga tinggal mengambil saja dari pekarangan.

Sebuah gambaran budaya Gunungkidul yang sudah ada turun-temurun sampai hari ini namun mulai berangsur menghilang. Sepertinya budaya bertani hingga pengolahan yang dilakukan oleh orang Gunungkidul, tidak dianggap sebagai suatu kekayaan oleh pemerintah. Bahkan mungkin berdaulat pangan ala orang Gunungkidul yang sejauh ini terjadi, tidak dinilai sejahtera tapi hanya suatu kekunoan dan primitif.

Sepertinya ukuran sejahtera versi pemerintah hari ini ketika bisa mendatangkan investor sebanyak-banyaknya. Membuka lahan seluas-luasnya, dan membangun hotel setinggi-tingginya. Berdaulat pangan tidak termasuk di dalamnya.

Jujurly, saya sendiri cukup dibuat bingung dengan ini. Bukankah biaya yang dikeluarkan untuk mengubah budaya masyarakat dari bertani ke pariwisata itu tidak murah?

Selain mahalnya biaya infrastruktur karena harus membangun jalan, membangun penginapan, belum lagi membangun manusia di dalamnya, perlu berapa kali pelatihan dan kebutuhan konsumsi yang diperlukan untuk memasukkan materi-materi pariwisata ke masyarakat Gunungkidul? Saya kira tidak akan cukup 10 kali. Atau jangan-jangan memang bukan untuk orang Gunungkidul? Lalu kesejahteraan yang digembor-gemborkan sejahtera untuk siapa?

Penulis: Kris Mheilda Setiawati
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Mengungkap Ketidakadilan Pada Perempuan di Industri Pariwisata

Terakhir diperbarui pada 24 Desember 2022 oleh

Tags: gunungkidulpariwisatapariwisata gunungkidulpariwisata jogjaPemilu 2024
Kris Mheilda

Kris Mheilda

Kadang Minggir, kadang Gunungkidul

Artikel Terkait

Pembukaan Pameran Gelar Olah Rupa dalam Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 di Gunungkidul MOJOK.CO
Kilas

“Kulonuwun Gunungkidul” Jadi Upaya Merawat Hubungan Sosial Lewat Olah Rupa, Bertamu Tak Sekadar Bertemu

11 Oktober 2025
Adoh Ratu Cedhak Watu jadi tema Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 di Gunungkidul MOJOK.CO
Kilas

Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025: Menyerap Etosa Budaya Gunungkidul dalam Adoh Ratu Cedhak Watu

4 Oktober 2025
Pantai Watu Kodok, Gunungkidul, Jogja. MOJOK.CO
Catatan

Jalan-jalan ke Pantai Watu Kodok Jogja Jadi Tak Menyenangkan karena “Orang yang Mencurigakan”

17 September 2025
jurusan pariwisata. mojok.co
Ragam

Kuliah di Jurusan Pariwisata Tak Semenyenangkan Kelihatannya, Niat Santai Malah Terbantai

3 Juli 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.