Kondisi di dalam bus dari Flores sampai Mataram
Yang dimaksud bus di sini adalah canter engkel (roda empat, bukan roda enam) yang bisa dijejali 15 penumpang di dalam. Atapnya pasti bukan sekadar plat biasa karena ada juga penumpang di sana kalau terpaksa, duduk di rak bersama barang, mirip bus-bus di Kabanjahe yang terkenal lebih “brutal” karena tuntutan kontur dan medan jalan serta jam keberangkatan.
Tentu saja, duduk di atap dalam perjalanan dari Flores sampai Mataram itu lebih menantang daripada aksi debus. Kalau sampai mengantuk, mereka akan terjatuh dan masuk kabar duka di koran esok paginya.
Jalan satu jam, dua jam, bahkan hingga saya terkantuk-kantuk, saya bertahan melek. Prinsip saya masih sama, yaitu sudah bayar mahal, kok, malah mau tidur, kan mending di rumah kalau cuman mau merem. Tidak perlu beli kapsul penolak kantuk supaya mata tetap nyalang.
Goyangan pak sopir sudah membantu kita tetap awas. Tak ada lurus-lurusan. Semua trek dari Flores sampai Mataram adalah tikungan. “Yang lurus,” kata Irfan Si Limbong, “hanyalah rambut, itu saja jika sudah di-rebonding.” Bayangkan saja, sejauh 250 kilometer atau selama 8 jam lebih kita dipontang-panting, ke kanan dan ke kiri, sorong ke depan-belakang.
Andai saja para penumpang dari Larantuka ini adalah barisan tepung, kuning telur, fermipan, soda kue, dan gula. Sampai Maumere, pasti sudah jadi adonan terang bulan. Kalau sampai ke Ende, pasti sudah jadi adonan apem karena terlalu lama difermentasi di dalam kabinnya.
Di ruas jalan tertentu, tikungan di sana sangat tajam, ada yang menekuk, seperti paha dan betis yang terlipat saat bersila, ada model “V”, pokoknya tanjakan dan tikungan semua. Secara hiperbolis, kita sebut saja kalau tanjakan adsense Sitinjau Lauik atau Nagreg, di sini, diobral 1.000 tiga. Cuman, ya, itu. Setajam apapun tikungannya, tetap tak setajam nasib cinta saat ditikung teman sendiri.
Bermalam di Numba
Bus lanjutan ke Ruteng dan Labuan Bajo, yang saya pesan di Ende adalah Gunung Mas. Saya dapat kursi bontot, paling belakang. Saya menebus tiketnya sambil menggerutu. “IPM paling rendah, teknologi lambat, indeks GDP paling bawah, masa iya tempat duduk saya juga harus dapat posisi terbelakang? Betapa apesnya!” Lalu saya pasrah saja, takut asam lambung sampai ikutan naik.
Dalam perjalanan dari Flores sampai Mataram ini saya bermalam di Numba. Pak Anwar menghanguskan tiket saya dan menggantinya dengan tiket Putra Manggarai dengan jaminan dapat kursi terdepan asalkan saya menginap semalam lagi. Baik, setuju!
Jadi, Pak Anwar ini adalah ayah Fajar. Fajar adalah sepupunya Sanusi. Sanusi sepupunya Irfan dan Irfan ini temannya Paox.
Baru nama terakhir inilah yang saya kenal karena menghubungkan saya dengan Irfan hingga ujungnya saya kenal Fajar dan nginap di Numba Besar, rumah dia, rumah mereka semua. Sebetulnya, ada sederet nama lain yang dikenalkan oleh teman saya, atau oleh teman dari temannya saya sehingga nyambung satu dan lainnya sepanjang perjalanan Flores sampai Mataram.
Intinya, kita harus menitipkan kesan dan sikap baik terhadap orang-orang yang baru kenal. Terutama di perjalanan yang jauh dari rumah. Sebab mana tahu, itu adalah pertemuan pertama dan terakhir bersama mereka.
Tidak ada bus besar
Di Ende sampai Bajawa, bahkan sampai Ruteng, bahkan mentok di Labuan Bajo, saya belum melihat penampakan bus besar. Bus medium (atau yang disebut tiga-per-empat) ada tampak batang bumpernya, sejenis DAMRI dan beberapa nama PO lainnya, tapi itu saja dapat dihitung dengan jari selama perjalanan Flores sampai Mataram.
Terjawab sudah teka-teki mengapa bus-bus dari Jakarta yang ke arah timur itu cuma mentok sampai Sape dan kini trayeknya mengerut hanya sampai Bima. Rupanya, jalannya yang tidak memungkinan, selatnya terlalu lebar, dan penduduknya tidak begitu banyak.
Rute paling yahud adalah trek Bajawa-Aimere. Kalau kamu cek di Google Maps, jalannya akan tampak seperti mi pangsit yang belum dimasukkan ke dalam mangkok. Bajawa ada di puncak, Aimere di tepi laut. Jaraknya 30-an kilometer, dan sejauh itu pula jalannya seperti otak koruptor yang ngembat dana raskin atau santunan untuk korban bencana. Nggak ada lurus-lurusnya sama sekali.
Orang sana bilang “bok” untuk tikungan, tapi nasi kotak pun dibilang bok. Makanya, hati-hati ngomong kalau di rumah makan. Terutama dalam perjalanan dari Flores sampai Mataram.
Bus-bus ini mengangkut sepeda motor naik di punggung, barang di atas, acapkali juga ada penumpang yang ngotot ikut tapi tak dapat tempat duduk. Mengapa begitu? Karena rumah tidak banyak sehingga mobil harus penuh dulu baru berangkat.
Semakin ke timur, bus semakin kecil
Sama seperti di Larantuka, di Ende maupun Labuan, sampai Flores dan Mataram, yang disebut bus itu adalah engkel (berbasis truk roda empat) atau juga medium (berbasis truk roda enam). Kesimpulan saya, angkutan di Indonesia itu, makin ke timur maka kecil busnya, makin sempit pula jalannya, tapi ingat, makin indah panoramanya. Pokoknya, makin jauh dari ibu kota, alamnya pasti makin cantik tanpa kosmetik.
Labuan Bajo ke Sape nyeberangnya lama sekali, 7 jam atau lebih jika ada gelombang dan angin. Berangkatnya pukul 10.00 WITA, sekali setiap hari. Ongkosnya antara Rp80.000 sampai Rp120.000, tapi kopi dan mi instannya pasti mahal karena tidak ada warteg di tengah laut.
Sape adalah kota pelabuhan di ujung timur Pulau Sumbawa. Bus di sana lucu-lucu. Ada yang bertampang helikopter, ada yang bertampang lele. Di Bima, yang jaraknya cuma satu jam dari Sape, juga begitu. Tampang bus tiga-per-empatnya makin imajinatif. Ada yang moncongnya malah mirip panser, bumper depan kayak perahu. Tanpa tahu pasti seperti apa medan yang bakal dilalui oleh armada-armada itu, saya berfantasi kalau rutenya bakal melewati jalan rusak parah atau jalan kombinasi sungai dangkal.
Model kayak itu, dulu, di Jawa juga populer pada periode 90-an awal dan diterapkan pada bus besar. Saya kira, bus di Bima itu hanya produk jadul semata, ternyata tidak lama-lama banget. Terbukti sasisnya yang tidak lawasan, mungkin saja selera masyarakatnya begitu. Dan ternyata yang berikutnya, Surya Hantimbar, karoseri yang mendominasi, setelah saya korek informasinya, pabriknya malah ada di Sidoarjo, di Jawa Timur.
Etape terakhir dari Flores menuju Mataram
Adapun etape terakhir pada sesi ini, dari Bima ke Mataram, saya ikut bus PO Tiara Mas. Saya senang sekali karena keinginan naik bus itu terpendam nyaris 11 tahun, yaitu sejak tahun 2011. Sejak saya ngobrol dengan Pak Amir (kru Langsung Indah) di terminal Pulogadung dan tarifnya masih 450.000 untuk rute Jakarta-Sape (Nusa Tenggara Barat).
Adapun catatan penting dari perjalanan Flores menuju Mataram adalah pejuang aspal ini tidak bisa disejajarkan dengan Euroline atau bus Eropa jarak jauh. Armada mereka bagus dan jalannan di sana mulus, bahkan sangat memadai. Jalan di Eropa itu berbeda banget dengan jalanan kita di sini. Apalagi untuk menikmati jalan tol, yang kudu membayar. Padahal jalan tol itu tak lain adalah sejenis “jalan arteri yang istimewa hanya karena tidak ada sepeda motor dan pasar tumpah”.
Bus dari timur, seperti Septi Jaya, Dunia Mas, Titian Mas, Langsung Indah, dan Rasa Sayang adalah barisan dari timur yang jarak tempuhnya sangat jauh. Ujung timurnya di Bima (dulu bahkan ada yang sampai Sape), ujung baratnya Jakarta dengan jarak tempuh yang setara dengan rute dari Moskow (Rusia) ke Banská Bystrica (Slovakia).
Sementara untuk urusan jauh-jauhan, ALS masih memegang rekor (untuk rute Medan-Jember yang eksis sampai sekarang padahal dulu bahkan sampai tembus Denpasar). Itu jarak masih lebih jauh daripada jalan darat dari Amsterdam (Belanda) ke Istanbul (Turkey) yang harus melewati Jerman, Ceko, Hungaria, Serbia, dan Bulgaria. Juga lebih jauh dari Kuala Lumpur ke Hanoi.
Akan tetapi, bagi jomblo, jarak tersebut masih lebih pendek daripada jarak dari rumahnya ke Kantor Urusan Agama.
Penulis: M Faizi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pandangan Baru Dunia setelah 202 Jam Naik Bus Lintas Sumatra-Jawa dan catatan menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.