Singkatnya, satu hari sebelum acara, motor C70 itu sudah saya servis dan ganti oli. Setelah itu, saya menitipkan motor tersebut ke sebuah musala di kampung sebelah. Lalu, pada Jumat, 11 September 2015, sehabis salat Jumat, bapak mengantarkan saya menuju jalan raya untuk naik bus. Setelah menunggu bapak pergi, saya bergegas ke musala tempat saya menitipkan motor C70 tadi.
Berbekal jaket tebal dan helm Yamaha Mio, saya menuju ke Alun-Alun Temanggung yang menjadi titik kumpul keberangkatan. Sesampainya di sana, sudah ada dua orang kawan menunggu. Tak lama, rombongan berdatangan ke Alun-Alun. Beberapa kawan menjadikan saya bahan lelucon, lantaran saya mengenakan celana Pramuka untuk touring. Namun, saya bodo amat dengan semua celotehan mereka.
Intinya, saya mau ikut touring sampai Jatinangor. Titik!
Setelah semua rider terkumpul dan doa bersama, sekitar sore hari, pukul 15.30, kami berangkat dari Temanggung. Rata-rata anggota SICTER mengendarai motor sendiri, termasuk saya. Waktu itu, saya hanya mengantongi uang yang tidak lebih dari Rp400.000 untuk keperluan selama perjalanan.
Perjalanan ke Jatinangor, dipukul teman hingga lampu belakang jatuh
Jujur, selama di perjalanan berangkat ke Jatinangor, saya agak was-was. Ada sebuah ketakutan apa jadinya ketika orang rumah tahu motor C70 tidak ada. Hingga tiba di Banjarnegara, saya SMS ke ibu dan bilang, “Buk, nggak usah nyari motornya. Motornya lagi dipinjam teman.” Dengan segala persuasif yang saya berikan, ibu saya masih percaya-percaya saja.
Masih di Banjarnegara, salah seorang rekan menawarkan agar saya menitipkan motor ke salah satu temannya, lalu saya membonceng dia. Tapi saya justru bersikeras untuk berkendara sendirian.
Saya menjadi peserta rombongan jambore Jatinangor paling lambat. Maklum, motor peserta lain sudah menggunakan mesin 125 cc. Sementara itu, motor C70 saya menggunakan bahan Astrea Grand. Bahkan, saat di Purwokerto, saya mendapat pukulan keras dari salah seorang rekan. Pukulannya mengenai helm saya.
“Nyetir yang bener!” Begitu hardik rekan saya. Teman saya memukul lantaran memang saya mau menyalip mobil tapi malah tidak jadi. Padahal, di belakang saya ada dia yang langsung kaget lalu menghindari saya.
Bergeser ke sebuah wilayah dekat Cilacap, saya nggak sadar kalau lampu motor belakang lepas dan jatuh. “Ini, Mas. Tadi jatuh di jalan,” ujar teman saya yang sama-sama berangkat dari Temanggung, sambil menyodorkan lampu kotak berwarna merah itu. Memang, sudah sejak dari lama dudukan lampu C70 saya itu lepas. Hanya saya enggan untuk mengelas saja. Walhasil, di perjalanan yang berliku-liku itu, lampu tersebut lepas.
Kebodohan selama menempuh jalur Temanggung ke Jatinangor
Setelah itu, saya berusaha mengimbangi kecepatan peserta lainnya. Beberapa kali kami harus berhenti karena cuaca berubah-ubah. Hujan, reda, hujan, reda. Hingga tiba di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, tepatnya di rest area Cilacap, rombongan touring SICTER dari Temanggung memutuskan untuk beristirahat. Setelah beberapa jam beristirahat, sekitar pukul 04.30, kami melanjutkan perjalanan menuju Jatinangor.
Tibalah kami di Kabupaten Bandung pada pagi hari. Dengan bangga saya mencopot helm dan berlagak seperti pengendara paling keren di jalanan. Tapi, tiba-tiba saya melihat ada polisi yang seolah mengejar. Saya yang ketakutan tanpa sengaja menabrak ketua komunitas dari belakang. Plat nomornya bengkok. Untungnya, dia ketua yang tidak suka marah-marah. Jadi dia terlihat legowo setelah saya minta maaf.
Sampai di Jatinangor
Sekitar pukul 09.00 pagi, pada Sabtu, 12 September 2015, kami tiba di lokasi JAMNAS C70. Tempat itu berupa lapangan yang sangat luas. Muat untuk menampung banyak komunitas motor tua, khususnya motor bebek. Mereka berasal dari berbagai penjuru Indonesia.
Kami langsung membaur dengan peserta jambore dari daerah lain. Ada juga sanjungan yang diberikan kepada saya lantaran berani motoran sendiri dari Temanggung ke Jatinangor naik C70. Saya sih bisanya cuma cengar-cengir saja.
Ngomong-ngomong, seperti touring pada umumnya, ada tradisi barter stiker. Tapi, berhubung tidak membuatnya, akhirnya saya meminta-minta stiker dari komunitas lain. Antara lain, komunitas Bebek Jadul Banyuwangi, Magelang, Lampung, dan lain sebagainya. Ya biar saya ada kenang-kenangan dan tempelan di helm.
Hari pertama, tepatnya Sabtu, dari pagi hingga sore memang tidak ada acara. Cuma buat ngobrol biasa dengan sesama anak touring dan jajan di lapak yang tersedia. Tiba-tiba, siang hari, ada SMS masuk dari ibu saya.
“Di mana?”
“Masih di sekolah, Buk. Saya pulangnya besok Minggu, ya. Soalnya mau nginep di rumah teman.”
Sialnya, dalih yang saya utarakan itu sama sekali tidak membuat ibu percaya. Entah bagaimana, ibu sudah tahu kalau saya ada di Jatinangor. Makanya, beliau langsung menyuruh saya pulang. Tapi, lantaran bingung, saya tidak merespons perintah ibu. Saya coba menenangkan diri dan salat dulu di GOR Kujang Kiara Payung.
Perasaan gelisah menguasai saya. Apalagi ini perintah ibu, yang mana saya sangat takut untuk membantah. Makanya, tanpa berpikir panjang, saya nekat untuk pulang ke Temanggung sendirian sehabis Ashar, sekitar pukul 15.30.
“Mas, saya pulang duluan, ya. Ada acara keluarga,” ucap saya dengan terburu-buru ke salah seorang anggota SICTER. Awalnya dia melarang, tapi saya tidak peduli dan langsung mencangklong tas ransel dan menyalakan motor C70 tua itu.
Nekat pulang sendirian ke Temanggung naik C70
Pikiran saya sangat kacau. Namun, saya sadar harus segera pulang ke Temanggung. Sudah pasti saya tidak hafal rute dari Jatinangor ke Temanggung. Yang saya ingat adalah saya harus melewati Sumedang, Tasikmalaya, Banjar Patroman, Cilacap, Purwokerto, Banjarnegara, Wonosobo. Saya memutuskan untuk tidak lewat Jalur Pantura karena memang di situ rawan dan banyak kendaraan berat.
Sepanjang perjalanan saya tidak berani menjawab puluhan SMS serta telpon dari teman-teman dan keluarga. Bahkan, beberapa puluh ribu pulsa masuk ke hape Nokia jadul tipe 1220 yang saya bawa. Waktu itu, pikiran saya hanya satu, yaitu bagaimana caranya saya harus sampai Temanggung dengan cepat dan selamat. Saya takut ibu akan marah besar dan kecewa. Mau menangis juga tidak bisa.
Saya masih ingat betul di area Sumedang ada razia pengendara. Beruntung, saya bisa “menempelkan” motor ke truk. Hasilnya, saya tidak kena razia. Padahal, kalau kena razia, saya bisa mampus. Sudah tak punya SIM, motor siluman (Astrea Grand menjadi C70), STNK telat, lampu belakang copot, dan sein depan nggak ada. Bisa-bisa saya kena pasal berlapis. Tapi syukurlah, nasib baik masih menyertai perjalanan pulang dari Jatinangor.
Untuk memastikan saya menempuh jalur yang tepat, saya cukup sering bertanya ke orang sekitar. Saya tanya arah ke Wonosobo. Asumsi saya waktu itu adalah Wonosobo lebih terkenal daripada Temanggung.
Menjelang petang, saya sampai di Tasikmalaya. Di sana, saya melihat ada orang yang berboncengan naik C70 juga. Saya tahu persis ini adalah orang yang juga pulang lebih awal dari acara JAMNAS. Saya membuntuti pengendara itu supaya aman, tapi ternyata dia cuma sampai Majenang.
Sialnya, beberapa kali saya harus membetulkan lampu sein yang mau lepas dengan obeng. Lantaran terjadi beberapa kali, saya malah emosi sendiri. Oleh sebab itu, selepas mengisi bensin di area Purwokerto, saya mencopot lampu sein sialan itu.
Kebaikan yang tak terduga
Bermodalkan lampu sein belakang kelap-kelip, saya tancap gas. Tak lama, saya melihat ada pengendara dengan plat H.
“Itu plat area Semarang,” gumam saya. Saya memutuskan untuk membuntuti motor itu dan berharap bisa mengiringi saya pulang, setidaknya sampai Magelang. Karena tidak puas hanya mengikutinya, saya memberanikan diri untuk menghentikan motor Vario plat H itu.
Saya tanya rute menuju ke Wonosobo. Singkatnya, dia menyarankan saya untuk melewati Kebumen dan membaca peta di pom bensin terdekat. Saya cuma bisa iya-iya saja karena sama sekali nggak hafal rute pulang dari Jatinangor. Yang tidak saya duga setelahnya adalah dia merogoh kantong dan mengeluarkan isi dompet yang sepenglihatan saya isinya uang biru dan merah.
“Ini, Mas, buat njenengan,” kata dia sambil menyodorkan uang Rp50.000.
Awalnya saya tidak mau menerima. Ada perasaan nggak enak. Tapi dia memaksa, apa boleh buat saya pun menerimanya. Lalu dia pergi. Hingga malam semakin larut kondisi jalanan nyaris sepi. Saya seperti sedang berada di antah berantah.
Ketakutan setelah membuat ibu kecewa
Syukur, waktu itu, saya sudah hampir sampai di Wonosobo. Artinya, Temanggung sudah dekat. Di sana, saya menanyakan arah ke Kledung, salah satu kecamatan yang menjadi perbatasan antara Temanggung dan Wonosobo. Setelah paham, saya langsung bergegas.
Sampai di gapura “Selamat Datang di Wonosobo Asri” barulah saya tidak ragu-ragu dalam melajukan motor C70 tua itu. Jujur, selama perjalanan dari Jatinangor ke Temanggung, tidak ada rasa takut akan “makhluk lain” di perjalanan. Saya justru paling takut di pohon beringin menuju ke kampung halaman. Karena memang orang sekitar bilang banyak makhluk lain yang bersarang di situ.
Namun, ketakutan itu tak seberapa dibanding rasa gelisah yang menyelimuti. Saya sampai di kampung saya pada Minggu, 12 September 2015 dini hari, sekitar pukul 01.00. Saya tidak memarkir motor di rumah, melainkan saya menitipkannya di halaman rumah teman yang masih satu kampung.
Kepercayaan yang telah saya hancurkan
Sampai di rumah, isak tangis ibu disertai pelukan keras mendekap tubuh saya. Bapak saya waktu itu cuma bisa geleng-geleng kepala setelah menyaksikan polah gila anaknya itu. Saya malah seolah tidak ada rasa bersalah sudah minggat ke Jatinangor tanpa pamit. Saya langsung mandi dan beres-beres, lalu tertidur lelap.
Keesokan harinya, ibu memanggil saya ke ruang tamu. Ibu kecewa betul karena saya sudah berbohong. Saya sudah menghancurkan kepercayaan yang ibu berikan. Terlebih lagi, perasaan ibu hancur sehancur-hancurnya karena saya telah melakukan kebohongan tapi tidak sedikit pun ada penyesalan atau permintaan maaf.
Melihat ibu saya yang begitu, baru saya sadar bahwa saya memang harus minta maaf. Saya langsung sungkem, menangis, dan meminta maaf setulus-tulusnya. Tapi yang jelas, hingga kini, kepercayaan ibu kepada saya telah hancur. Dia selalu khawatir ketika saya pergi. Bahkan hingga detik ini, di mana usia saya sudah mendekati 23 tahun.
Apalagi kalau saya pergi tapi tidak pamit, padahal cuma main ke rumah teman, yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah. Eh, tiba-tiba ada pesan masuk dari ibu saya, “Ke mana Atfi?” Sampai segitunya kepercayaan yang sudah tidak ada lagi. Oleh karenanya, setelah kejadian itu, pamit selalu menjadi nomor satu.
Kekuatan doa ibu yang saya rasakan di sepanjang jalur Jatinangor menuju Temanggung
Tapi yang jelas entah kalian mau dipercaya atau tidak, kekuatan doa ibu itu benar ada. Bahkan sangat mujarab. Di mana saya bisa selamat tanpa halangan saat perjalanan pulang ke Temanggung dari Jatinangor naik C70 tua. Padahal, kalau dipikir-pikir itu tidak masuk akal.
Hingga detik ini saya juga masih heran, kok bisa-bisanya saya melakukan itu. Mengikuti touring dari Temanggung ke Jatinangor sendirian di umur 14 tahun. Padahal, di umur 23 ini saya malah tidak mau dan tidak berani mengulanginya lagi. Takut ada apa-apa di jalan. Takut motor mogok, kena begal, dan lain-lain.
Itulah cerita yang tidak akan saya lupakan bahkan sampai malaikat maut datang menjemput.
Penulis: Khoirul Atfifudin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tubuh Sehat dan Bugar Berkat Si Pitung Honda C70 dan kisah menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.