Honda Mobilio memang luar biasa. Dia bisa membangkitkan rasa cinta seketika pada bapak saya yang usianya sudah tidak muda lagi. Padahal bapak saya tidak pernah berkunjung ke ajang GIIAS, tidak pernah sama sekali baca-baca tabloid otomotif, pun tidak pernah ngepoin koleksi mobil juragan Edi AH Iyubenu.
Bapak saya hanya jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat mobil ini nangkring di salah satu lapak di sebuah mal. Begitu saja.
Dari segi desain dan tampilan, Mobilio sepantasnya diperuntukkan bagi segmen anak muda. Tampilannya yang semi-futuristik sudah hampir pasti bukan untuk generasi bapak saya. Bapak saya yang 68 tahun mengendarai mobil dengan spoiler belakang? Helaaawww.
Nggak heran saya sampai terheran-heran saat membaca pesan WA dari Ibu, “Bapakmu ganti mobil tuh. Mobilio.” Pesan terkirim lengkap dengan foto mobil baru tersebut dengan varian warna silver yang sudah terparkir rapi di garasi.
Berbagai spekulasi muncul di benak saya. Dari mulai berprasangka bahwa bapak saya sedang membongkar tabungannya yang sudah menumpuk berkat keputusannya berhenti merokok kretek cap 234 bertahun-tahun yang lalu, atau omzet dagangannya di Pasar Beringharjo sedang maju pesat, atau mungkin juga karena blio menang arisan ikatan orang Minang di Yogya.
Entahlah. Yang pasti ia berani membayar tunai untuk melunasi seluruh pembayaran mobil tersebut. Suatu hal yang hampir mustahil diterapkan oleh anaknya yang berpenghasilan-pas-pasan-beli-apa-pun-dengan-cicilan ini.
Keputusannya membeli mobil ini juga luput dari ibu saya yang sudah menemaninya selama hampir setengah abad. “Aku mau ganti mobil,” demikian penuturannya kepada ibu saya. Singkat, padat, jelas. Transaksi diawali dengan menjual mobil lamanya, Avanza 1.300 cc tipe lama. Petualangannya bersama si Avanza saat menyeberang Selat Sunda sampai pulang kampung ke Sumatra Barat tidak menyurutkan tekadnya untuk menjual kendaraan lamanya tersebut.
Yah, sebagai anak, saya selalu menghormati apa pun keputusan orang tua. Toh ini juga ada faedahnya buat saya pribadi. Di kala saya mudik ke Yogya tanpa membawa mobil pribadi, saya tidak perlu khawatir karena sudah tersedia Honda Mobilio RS yang nggak akan malu-maluin kalau saya bawa ke acara semacam reunian dengan teman-teman. Pengalaman mengendarai mobil ini juga berbeda dibanding kala mengendarai mobil pribadi kesayangan, Toyota Avanza Veloz.
Dalam posisi sopir, saya akan disuguhi pengalaman mengemudi selayaknya mengendarai mobil sedan. Apa pasal? Karena dalam posisi duduk, hampir pasti saya tidak bisa melongok melihat posisi bumper depan. Jadi yang berpengaruh di sini ya jelas insting berkendara. Ditambah lagi dengan fakta bahwa Mobilio RS ini memiliki dimensi yang lebih panjang dan lebih lebar dibanding Avanza. Selain itu saya tidak perlu beradaptasi banyak karena pilihan Bapak sama dengan saya, tipe transmisi manual. Namanya juga buah jatuh tak jauh dari pohonnya to? Vice versa, pohonnya pun di situ-situ juga, tak jauh dari buahnya.
Dengan harga sekitar 225 juta, Honda Mobilio RS manual juga memiliki beberapa fitur yang tidak saya jumpai di Veloz. Salah satunya fitur eco driving. Apabila lampu indikator Eco menyala, artinya kita sedang dalam mode berkendara yang ekonomis. Sebaiknya kita pertahankan mode ini, niscaya kita akan menghemat bahan bakar. Tak heran kalau pihak Honda mengklaim bahwa mobil ini mampu mencapai puncak konsumsi bahan bakar 20 kilometer per liter. Suatu angka yang tak mungkin saya capai dengan Veloz saat keluar kota. Paling mentok ya 13—14 km per liter.
Pantas saja bapak saya menyambut dengan semangat ajakan saya untuk traveling bermobil ke Bali. Padahal baru genap sebulan sejak plat nomor resminya turun. Hal ini saya tawarkan mengingat orang tua saya belum pernah ke sana dan tentunya akan lebih hemat apabila kami sekeluarga besar menempuh perjalanan dengan mobil pribadi.
Lalu apakah betul Honda Mobilio ini betul-betul irit sesuai dengan klaim pabriknya? Sayangnya, di dashboard Mobilio bapak saya ini entah kenapa average fuel consumption-nya tak beranjak dari angka 14,2 km/liter. Saya lupa menanyakan ke Bapak apakah sudah dicek oleh teknisi bengkel saat servis rutin. Yang pasti dalam beberapa kesempatan, saya selalu mengajak masuk ke SPBU duluan saat mobil Bapak masih belum berkurang bensinnya. Kalaupun sama-sama masuk SPBU, saya masuk di antrean premium sedangkan Bapak langsung antre di jalur pertamax. Suatu hal yang sesekali saja diterapkan oleh anaknya yang berpenghasilan-pas-pasan-mau-cuti-aja-harus-pinter-rayu-atasan ini.
Bagaimana dengan interior? Yah, ternyata ada benarnya juga suara-suara mereka yang berisik di beberapa forum soal mobil ini. Kata sederhana adalah ungkapan yang pas kalau tak mau menggunakan kata “seadanya”. Karena memang interior mobil ini tidak segahar tampilan eksteriornya. Walaupun patut diakui bahwa space kokpit cukup lega, namun material bahan pelapis dinding dan dashboard kurang bagus dan sedikit kasar. Peredaman suara? Sepertinya masih mendingan Veloz. Saya masih bisa mendengar sayup-sayup alunan lagu Minang lengkap dengan bunyi saluang (seruling khas Sumatra) yang diputar dari halaman rumah tiap kali mereka berkunjung.
Untuk kaca film, Mobilio sudah menggunakan Huper Optik. Kalau ini saya akui lebih gelap dibanding Veloz saya yang kalau siang hari serasa menerawang ke dalam akuarium. Kaca yang cukup gelap ini lumayan membantu ketika beliau harus belanja banyak barang saat kulakan ke Pasar Tanah Abang. Mohon jangan ditilang bapak saya ini ya, Pak Polisi. Walaupun mobilnya tidak selevel dengan tunggangan Raffi Ahmad, dia rajin bayar pajak kok.
Oh ya, Mobilio tipe RS ini sudah dilengkapi dengan rear camera. Jadi sangat membantu saat harus parkir mundur. Fitur ini yang apabila dikombinasikan dengan transmisi matic plus power steering rasanya patut menjadi pertimbangan bagi wanita generasi milenial yang dinamis dan multitasking. Walaupun sepertinya kebanyakan dari mereka akan memilih saudara kandungnya yang lain, Honda Brio atau Jazz sebagai pilihan pertama.
Eh kenapa wanita generasi milennial itu dinamis dan multitasking? Coba bayangkan ini: Anda diajak pulang kantor bareng oleh kolega Anda, wanita yang bekerja di bagian yang sama, engineering. Lalu sepanjang perjalanan ia bercerita soal pengalamannya di Timur Tengah saat mengalkulasi ulang pompa produksi minyak yang sudah oversized sambil tangan kirinya membetulkan seat belt di kursi saya yang terbelit karena dimainkan oleh anaknya yang katanya memiliki indra keenam karena sering bilang bahwa di kursi belakang itu ada om-om berbadan hitam besar. Ia terus bercerita sambil mengeluhkan mobil di line sebelah kanan yang katanya terlalu mepet ke kiri. Ini terjadi saat mobilnya tanpa sadar sudah serong ke kanan dan tak menyalakan lampu sen.
Jadi, bagaimana kesan soal Mobilio ini? Ya statusnya tetap jadi mobil bapak saya yang akan saya gunakan sewaktu-waktu dibutuhkan saja. Datar saja, tidak kurang dan tidak lebih. Saya tidak akan menjadi seperti Agnes yang awalnya tertutup, acuh tak acuh, tapi akhirnya mau membuka diri kepada Gaspar-nya Mz Sabda Armandio.
Lalu, tertarik untuk ganti ke Mobilio nggak, Mz?
Nggak, mendingan ganti Xpander. Itu pun kalau dapet Mojok Award.