MOJOK.CO – Honda GL Max yang kekunoan ini bikin saya dikira ojek pegunungan. Bikin malu memang, tapi saya sudah kadung cinta sama motor ini.
Saat kita membicarakan sepeda motor lawas nan legendaris bernasab Honda, rasanya kurang adil kalau belum menyebut nama sepeda motor satu ini. Rasanya kurang adil dan bertentangan dengan butir kedua sila kelima Pancasila yang berbunyi “bersikap adil”.
Sepeda motor yang saya maksud adalah Honda GL Max 125. Sebelum saya kisahkan lebih jauh, kita sebaiknya paham terlebih dahulu kalau huruf G dan L itu merupakan singkatan dari Gin Linamoto. Blio adalah kakek moyang dari Soichiro Honda, sang pendiri perusahaan Honda. Penamaan tersebut dimaksudkan untuk mengenang jasa sang kakek yang konon katanya adalah seorang kesatria samurai pada era 1876-1877.
Sepeda motor Honda GL Max 125 keluaran tahun 2003 yang saya miliki adalah pemberian orang tua. Tahun 2003 hanya berselang dua tahun sebelum Honda menghentikan produksi GL Max hingga keturunannya terputus pada 2005. Bisa dikatakan kalau sepeda motor saya termasuk generasi terakhir dari trah GL Max yang mulai meramaikan jalanan Indonesia sejak 1985. Mesinnya sudah mengunakan Neo Tech, menyempurnakan para pendahulunya. Mulai dari GL Max Platina, GL Max CDI White engine, hingga GL Max Black Engine.
Banyak kisah yang saya alami bersama motor pejantan tangguh tersebut. Mulai dari kisah yang suram-memilukan, berat-melelahkan, hingga yang haru-membanggakan. Meskipun saya memilikinya sejak 2003, tapi petualangan kami yang sesungguhnya baru dimulai semenjak pertengahan 2004. Tepatnya, sejak saya mulai mencicipi bangku perkuliahan di kota kelahiran.
Pada awal kehadirannya, satu hal yang kurang sedap sudah mulai menyeruak tatkala salah satu teman saya–yang lumayan nggapleki–dengan sak enake udele dewe ngomong begini:
“Tuku montor kok koyok montore ojek nggunung ae.”
Parahnya, dia mengatakan itu ketika saya bonceng. Pengin sekali ngeplak ndiyase saat itu juga.
Meskipun tidak terlalu menyakitkan, mbok yao jangan bilang begitu. Kan bisa agak halusan. Misalnya:
“Sepeda motormu iki mesinnya kuat lho. Opo maneh yen dalane munggah mudun koyok nang gunung. Makane akeh ojek nggunung sing nggawe motor ngene iki.”
Kalau gitu terdengar lebih halus dan terkesan tidak sengak. Ya, nggak? Meskipun isinya sama-sama meledek, sih.
Nah, suatu sore dalam perjalanan ke kampus, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Saya tidak membawa jas hujan. Karena dekat terminal bus, tanpa pikir panjang, saja berteduh di salah satu sudut terminal.
Sebenarnya, saya merasa betah-betah saja berteduh di sana. Namun, kedatangan seorang ibu yang baru turun dari bus membuat saya ingin cepat-cepat pergi dari sana.
Ibu tadi menanyai saya:
“Mas, ngojek sampek Sawahan pinten? (Mas, kalau mau ngojek sampai Sawahan biayanya berapa?)
Karena tidak tahu menahu soal tarif ojek, saya menjawab dengan nada sesopan mungkin.
“Nyuwun pangapunten, Bu. Kula boten semerep.” (Maaf, Bu. Saya tidak tahu).
Bukannya pergi, si ibu tadi malah semakin ngeyel.
“Lho, kok mboten semerep pripun to, Mas? Lha, biasane pinten?” (Bagaimana kok bisa tidak tahu? Biasanya berapa?).
Seketika itu juga saya tersadar kalau ibu tadi mengira saya adalah tukang ojek berkat keberadaan Honda GL Max. Ya, tukang ojek pegunungan. Pengin misuh-misuh saat itu juga, tapi cuma bisa saya batin.
“Pangapunten, Bu. Kula sanes tukang ojek.” (Maaf, Bu. Saya bukan tukang ojek). Begitu mendengar jawaban saya, ibu tadi langsung pergi setelah meminta maaf.
Sontak saya kembali teringat kata-kata teman saya. Apa yang dia bilang ada benarnya. Aura Honda GL Max, yang sudah teramat lekat dengan motornya ojek gunung, terbukti mampu mengalahkan aura kemahasiswaan saya kala itu. Kurang asem apa, coba?
Meski begitu, saya tetap dengan setia –untuk tidak menyebutnya terpaksa–merawatnya hingga detik ini. Honda GL Max menjadi sesuatu yang melekat dengan keseharian saya.
Kisah petualangan kami berlanjut ketika saya melanjutkan studi di salah satu Universitas di Malang. Setidaknya, seminggu dua kali kami saling bahu-membahu menaklukkan lekukan, tanjakan, dan turunan yang terbentang di jalanan Nganjuk-Malang lewat Pujon dan juga sebaliknya.
Terlebih lagi jika hari sudah gelap dan masih harus melewati area hutan perbukitan Ngantang-Kasembon dalam kondisi sedang hujan. Kondisi jalanan yang licin dan berkelok semakin terasa ngeri.
Dengan kapasitas mesin 125 cc dan suara knalpot yang nyaring nan menggelegar, Honda GL Max adalah tunggangan yang Tangguh sekaligus luwes. Dia mampu melenggang dengan anteng di aspal mulus, tetapi juga mampu meluncur dengan stabil di berbagai kondisi jalan. Baik jalanan mulus maupun jalanan yang rusak nan angker seperti tatapan mantan.
Sependek pengetahuan saya, salah satu rahasia kestabilan Honda GL Max terletak pada sistem suspensi. Bagian depan memakai suspensi teleskopik, sedangkan bagian belakang menggunakan swing arm double shock yang terasa “mentut-mentut”. Dilengkapi rem tromol pada roda belakang dan rem cakram double piston pada roda bagian depannya, sungguh perpaduan yang paripurna pada masanya.
Selain itu, posisi setang Honda GL Max yang lebih tinggi dari tangki bensin membuat posisi duduk pengendara sangat nyaman. Tidak cepat capek saat menempuh jarak jauh. Ditambah lagi mesinnya yang berada di atas dan tegak memungkinkannya untuk bisa melewati genangan air tanpa khawatir mesinnya mati.
Soal kegesitan dan kecepatan, Honda GL Max bisa disejajarkan dengan sepeda motor yang usianya jauh lebih muda. Kalau pengendaranya bernyali, jangankan sepeda motor, bus Sugeng Rahayu yang terkenal akan kelincahan dan kecepatannya pun bisa dengan mudah disalip. Apalagi ketika busnya sedang berhenti untuk menaikkan penumpang. Mak Wussshhh!
Berikutnya adalah salah satu hal yang sering menjadi pertimbangan utama sebelum memilih Honda GL Max, terutama bagi kamu yang masuk golongan “fakqir misqueen” seperti saya. Yang saya maksud tentu saja konsumsi bahan bakar. Jangan pernah meragukan kengiritan Honda GL Max.
Honda GL Max tergolong sangat irit. Bahkan, saking iritnya malah terkesan pelit. Amit-amit deh pokoknya! Bayangkan, dengan kapasitas bahan bakar 8 liter, saya hanya perlu mampir tiga kali di SPBU saat melakukan perjalanan dari Nganjuk ke Malang dan kembali lagi ke Nganjuk.
Katanya irit, kok mampir SPBU sampai tiga kali? Yang pertama memang untuk mengisi BBM jenis premium. Sedangkan dua lainnya hanya sekadar istirahat atau buang air kecil saja biar tidak ngompol di celana. Begitu.
Biar jelas, begini gambarannya. Malang berjarak kurang lebih 94 kilometer dari tempat tinggal saya. Sekali Honda GL Max full tank, saya bisa pergi ke Malang, muter-muter untuk keperluan ke kampus dan sebagainya, lalu balik lagi ke rumah tanpa perlu mengisi BBM lagi. Gimana? Uirit, kan?
Ada satu kabar bagus buat kamu yang miskin: biaya perawatannya tidak mahal. Selain bahan bakar, paling-paling saya cuma perlu mengganti olinya setiap tiga atau empat bulan tergantung pemakaian dan jarak tempuh. Selebihnya, semuanya awet-awet saja selama kita selalu menggunakan suku cadang asli Honda.
Namun demikian, yang namanya mesin buatan manusia tentu memiliki kekurangan. Beberapa di antaranya adalah bahwa desain Honda GL Max memang agak tidak cocok lagi untuk generasi sekarang.
Honda GL Max lebih cocok untuk seorang bapak yang kekunoan. Dan, kelemahan yang paling nyata dari Honda GL Max adalah setiap kali terkena paku atau benda tajam lainnya sering bannya langsung bocor. Sungguh aleman! Menjengkelkan sekaligus melelahkan, bukan?
Ada juga kisah dengan Honda GL Max yang membuat saya merasa haru nan bangga. Beberapa orang sempat tertarik untuk membeli dan langsung menyebut harga. Setidaknya ada tiga profesi berbeda yang pernah menawar: seorang pengusaha fotokopian, seorang polisi, dan juga seorang mekanik langganan saya.
Enak saja main tawar. Asal tahu saja ya, sudah banyak kisah yang kami lalui selama 17 tahun ini. Saya tidak akan menerima tawaran-tawaran itu dengan mudah. Kisah kami terlalu mahal untuk dibeli. Saya tidak akan sudi menukarnya hanya dengan uang, kecuali kalau jumlahnya banyak dan untuk membeli Yamaha Vixion 2020. Hehehe….
BACA JUGA Pengendara Honda Astrea Siap Saingi Vespa dalam Hal Persaudaraan atau kisah haru biru bersama tunggangan lainnya di rubrik OTOMOJOK.