MOJOK.CO – Dengan lockdown, perlahan Wuhan bisa selamat dari penyakit menular nan mematikan corona. Telat beberapa hari saja ceritanya beda.
Sebelum Presiden Cina, Xi Jinping, pada 22 Januari 2020 menitahkan pembatasan secara ketat untuk orang-orang yang akan keluar/masuk Provinsi Hubei, saya baru sadar hal semacam ini belum pernah kejadian dalam sejarah Cina.
Kamu bisa merunut sampai lima ribu tahun ke belakang. Belum ada wabah yang sampai bikin pemimpin Cina sampai harus menutup (lockdown) wilayah yang menjadi episentrum pagebluknya.
SARS boleh beringas menjangkiti sedikitnya 5.300 penduduk Cina pada akhir tahun 2002 sampai Juli 2003, tapi Hu Jintao, Presiden Cina kala itu, tidak sampai memerintahkan penutupan Guangdong yang notabene provinsi di mana SARS mengacau.
Pes boleh memakan korban jiwa hingga 60 ribu lebih pada penghujung tahun 1910 hingga April 1911, tapi kaisar Dinasti Qing tidak sampai me-lockdown Manchuria di mana epidemi ini bermula.
Boleh dikata, tak ada yang bisa dijadikan rujukan oleh Presiden Xi Jinping terkait bagaimana sebaiknya pemerintahannya menangani COVID-19 yang menggila di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, mulai akhir tahun 2019 itu.
Persis seperti Deng Xiaoping yang coba-coba mengoplos paham sosialisme dengan kapitalisme untuk diterapkan di Cina pada akhir tahun 1978 guna mengentaskan negaranya dari keterpurukan akibat revolusi tak berkesudahan yang digelorakan Mao Zedong, Xi juga harus “menyeberangi sungai sambil meraba-raba batu” (mo zhe shitou guo he).
Akan tetapi, terbukti, baik Deng Xiaoping maupun Xi Jinping sama-sama berhasil mengentaskan krisis yang melanda Cina dengan caranya yang hora umuuum itu.
Deng, dengan sistem oplosannya yang kelak dinamai “sosialisme berkharakteristik Cina” (Zhongguo tese shehuizhuyi), berhasil menjadikan Cina keluar dari jurang kemiskinan dan menjadi semaju sekarang. Sedangkan Xi, dengan kebijakan lockdown-nya, perlahan berhasil mengeluarkan Cina, wabil khusus Wuhan, dari penyakit menular nan mematikan.
Buktinya, sejak kebijakan lockdown terhadap pusat corona itu diberlakukan, masyarakat Cina yang terkena corona terus menurun sedangkan yang sembuh terus meningkat. Andai kebijakan lockdown ini telat lima hari saja, jumlah penduduk Cina yang terjangkit corona akan tiga kali lipat lebih banyak dari yang ada saat ini.
Ahli pernafasanan yang memastikan corona bisa menular dari orang ke orang, dr. Zhong Nanshan, menyimpulkan begitu dalam penelitian berjudul Modified SEIR and AI prediction of the epidemics trend of COVID-19 in China under public health interventions yang dipublikasikan di Journal of Thoracic Disease belum lama ini.
Berita baiknya: pada 19 Maret kemarin, Pemerintah Cina mengumumkan tidak ada penambahan orang lokal yang terjangkit corona di seluruh 31 provinsinya. Ada 39 kasus baru, memang, pada hari itu. Tapi itu berasal dari luar negeri (imported case). Alias bukan dari Cina sendiri. Ini tentu patut diapresiasi.
Bukannya apa-apa. Keputusan untuk me-lockdown pusat corona ini sebenarnya datang secara tiba-tiba. Pemerintah Kota Wuhan mengumumkan penutupan kotanya pada tanggal 23 Januari sekitar pukul dua tengah malam ketika penduduknya mungkin sedang enak-enaknya kelonan.
“Mulai tanggal 23 Januari 2020 jam 10 siang, seluruh angkutan umum, metro, kapal feri, bus jarak jauh, berhenti operasi sementara. Kalau tidak ada keperluan khusus, warga jangan meninggalkan Wuhan. Bandara, stasiun kereta, jalan raya untuk keluar dari Wuhan ditutup sementara. Akan diumumkan lagi kapan kembali beroperasi sebagaimana sedia kala.”
Iya, seringkas itu saja pengumuman yang diunggah Pemkot Wuhan di laman website-nya. Sama sekali tak ada ketentuan muluk-muluk di sana.
Orang-orang di Wuhan mungkin tak pernah menyangka kalau Xi Jinping akan bertindak seradikal itu. Padahal, sehari sebelumnya, mereka hanya diberitahu untuk mengenakan masker jika hendak keluar rumah atau mau bepergian ke tempat-tempat umum.
Mereka yang tidak memakai masker akan dilarang masuk. Yang masih memaksa masuk akan dikenakan hukuman sesuai aturan yang berlaku.
Penduduk Wuhan sebenarnya santai-santai saja dengan pemberitahuan pemakaian masker itu.
“Halah, ngapain pakai masker? Kalau hantu mau mencarimu, emangnya kamu bisa kabur ke mana?” seloroh sopir taksi di Wuhan yang diwawancarai The Initium, portal berita berbasis riset mendalam yang berpusat di Hong Kong.
“Aku kasih tahu. Dulu, waktu gawat-gawatnya SARS, aku malah nyopir!” sesumbarnya.
Iya, di Cina tetap ada aja orang-orang kayak gini. Orang yang sama kayak mereka yang selalu bilang, “Ngapain takut corona? Kalau sudah takdirnya mati ya mati kok.”
Namun, begitu mendengar kotanya akan di-lockdown, masyarakat Wuhan mulai bingung dan panik. Apalagi pada 20 Januari malam, corona yang sejak awal oleh pemerintah daerah dibilang tidak menular dari orang ke orang justru dipastikan sebaliknya.
Pada tanggal 21 Januari saja, ada sebanyak 299.600 orang “kabur” dari Wuhan. Itu yang naik kereta. Belum termasuk yang naik bus, mobil, atau alat transportasi lainnya. Tagar #KaburDariWuhan pun menjadi salah satu trending topic di Weibo, media sosial Cina mirip Twitter, waktu itu.
Saya melihat ada semacam euforia yang ditunjukkan mereka lewat status-status yang diunggah di Weibo karena berhasil “kabur” dari pusat penyakit. Maklum, mereka mungkin tidak sadar kalau dirinya bisa menjadi pembawa virus di tempat tujuannya.
Maka tak heran kalau sebelum jam lockdown tiba, seorang pejabat Wuhan mengisahkan kalau di “jalan raya, tol, bandara, kereta cepat … dibanjiri oleh orang-orang. Terutama jalan raya dan tol, banyak sekali mobil. Dorongan di hati kami semua cuma satu saat itu: yang penting bisa keluar dulu dari Wuhan.” Meja-meja kasir swalayan pun dipenuhi antrian lantaran panic buying yang dilakukan masyarakat.
Untungnya pemandangan seperti itu tidak bertahan lama. Masyarakat Wuhan mungkin sadar betul bahwa, seperti dipetuahkan dalam kitab Wejangan Keluarga Konghucu (Kongzi Jia Yu), “liang yao ku kou li yu bing,” obat yang dapat menyembuhkan penyakit memang pahit rasanya.
Begitulah.
“Orang yang paling gampang diatur di dunia ini adalah orang Cina. Disuruh jangan keluar rumah, mereka benaran mendekam di rumahnya dengan anteng. Disuruh pakai masker, semuanya pakai masker. Aku pun sekarang jadi terbiasa memakai masker,” kata Gao Yuan, teman Cina saya.
Ia kini bekerja sebagai staf di salah satu pusat penelitian milik Pemerintah Cina, saat saya hubungi lewat Wechat.
Itu Cina, bagaimana dengan Indonesia?
BACA JUGA “Corona Series” dari NOVI BASUKI lainnya.
Penjelasan Sederhana Kenapa COVID-19 Sukses Serbu Cina (Bag. 1).
Watak Politik Cina dari SARS sampai ‘Lockdown’ Corona (Bag. 2).
‘Lockdown’ Wuhan Telat 5 Hari Aja, Korban Corona Bakal 3 Kali Lipat dari Sekarang (Bag. 3).
Cina Emang Bisa Bikin RS Saat ‘Lockdown’, tapi Indonesia Jago Bikin Ribuan Candi (Bag. 4).
Bagaimana Orang-orang Desa di Cina Melawan Corona? Apa Mirip dengan di Indonesia? (Bag. 5).
Alasan Simpel Kenapa Cina Akhirnya Bisa ‘Menang’ Lawan Corona (Bag. 6).